Merenggut Kembali Muruah Jurnalisme
- ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma
VIVA – "Kebohongan telah menyebar ke seluruh dunia, sedangkan kebenaran baru bersiap-siap pakai celana," demikian sebuah pesan Bill Kovach dan Tom Rosentiel dalam buku ketiga mereka, Blur, yang diterbitkan pada 2012.
Ya, suka tidak suka kini kebohongan bak wabah. Ia menyebar dengan cepat, meluas dan bisa menjangkiti siapa pun. Tak terkecuali produk jurnalisme. Semua terdampak.
Orang-orang kini dibuat kebingungan mana fakta benar dan mana fakta yang dibangun dari kebohongan. Alhasil, kini semua bebal, hingga sampailah di era post truth atau pasca kebenaran.
Masa di mana orang-orang tak mempedulikan lagi fakta, namun lebih kepada keyakinan mereka atas suatu informasi.
Fase inilah yang kini membiak leluasa lewat media sosial. Ia bak menemu rumah nyaman dan bisa beranak pinak. "Situs hoax dan media sosial itu seperti vicious circle (lingkaran setan)," ujar Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara tahun lalu.
Merenggut Kembali
Tahun 2016, pemerintah Indonesia menyatakan perang terhadap hoaks. Salah satunya dengan memblokir setiap konten negatif di internet.
Laporan Kementerian Komunikasi, setidaknya hingga akhir Desember 2016, ada 773.339 situs yang diblokir. Namun demikian, hoaks faktanya tetap merebak.
Bahkan, pemerintah pun mengakui kewalahan. "Capek bos (blokir terus)," kata Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika Kemenkominfo, Semuel Abrijani Pangerapan.
Diakui, internet memang telah menjadi sebuah revolusi besar manusia. Ia merangsek masuk tanpa harus menunggu untuk mengucapkan kata siap.
Di Indonesia misalnya. Setidaknya hingga 2017, merujuk riset Tetra Pax Index, total pengguna internet sudah mencapai 132 juta orang. Dan uniknya, dari jumlah itu, 106 juta di antaranya adalah penggila media sosial.
Atas itu, sangat mahfum jika media sosial di Indonesia memang menjadi sarang paling baik untuk menebar kebohongan.
"Persentasenya (sebaran hoaks di media sosial) mencapai 92,40 persen," ujar Anindya Novyan Bakrie, Presiden Direktur VIVA Media Group dalam peringatan Hari Pers Nasional di Sumatera Barat, Kamis, 8 Februari 2018.
Atas itu, menekankan pentingnya pers nasional untuk meredam hal itu. Meski saat ini, kepercayaan publik terhadap pers masih berkisar 67 persen.
Namun baginya, itu menjadi tanggung jawab penting bagi pers untuk merenggut kembali apa yang kini telah dikacaukan oleh media sosial. "Media mainstream dituntut harus mampu menarik rasa kepercayaan para pemirsa atau pembaca," katanya.
Sejalan dengan Presiden Joko Widodo. Meski kini tak bisa ditampik lagi betapa melimpahnya informasi di publik lewat beragam saluran, khususnya di internet.
Jokowi tetap meyakini bahwa itu bukanlah hal yang harus ditakuti. Pers nasional lewat tangan media, tetap harus menjadi pilar penegak kebenaran, fakta, dan aspirasi.
"Justru pers makin diperlukan. Pers turut membangun narasi kebudayaan baru, memotret masyarakat yang bergerak begitu cepat," ujarnya.
Ya, seperti di awal, diakui memang media sosial kini telah merenggut apa pun, termasuk jurnalisme, yang kini mesti kehilangan otoritasnya dalam pendistribusian produk jurnalistik.
"Penerbit berita telah kehilangan kontrol atas distribusi beritanya. Semua disaring lewat algoritma dan platform yang tidak dapat diprediksi," ujar Emily Bell, Direktur Tow Center untuk Jurnalisme Digital di Universitas Columbia dalam pidatonya di Cambridge.
Melawan Hoaks
Apa pun itu, hoaks atau kebohongan memang mesti dilawan. Pers jelas memiliki peranan itu untuk mencerahkan.
Tanpa pers yang masih memegang tonggak verifikasi, maka kekacauan yang beranak pinak di media sosial dan sejumlah situs penebar kebohongan akan menjadi-jadi.
"Pers diharapkan bisa menjadi penyaring," ujar Ketua MPR Zulkifli Hasan.
Ya, siap atau tidak, meski kini pers memang tengah digulung sihir media sosial yang menelan jurnalisme, pencerahan untuk publik tetap menjadi misi pers yang harus dijalankan hingga kiamat.
Namun memang, pers kini mesti berbenah jauh lebih baik. Jika dahulu menjadi sumber informasi absah publik, maka kini mungkin tak berlaku lagi.
Pers mesti bertransformasi menjadi sebuah karya jurnalisme yang kekinian, dibekali jurnalis yang mumpuni dan piawai dalam segala kecanggihan teknologi.
Tak cuma itu, jika dahulu pers lah yang menjadi anjing penjaga, maka kini, semua termasuk pembaca, pendengar, penonton adalah juga penjaga. "Produk pers harus menjadi penuntun akal," ujar Kovach seperti dikutip dalam bukunya.
Ya, hoaks memang buruk buat siapa pun. Namun jurnalisme yang memproduksi hoaks jauh lebih berbahaya dari itu semua.