Perang Korupsi Arab Saudi

Pangeran Arab Saudi Muhammad bin Salman. Tokoh dibalik era keterbukaan kerajaan Saudi.
Sumber :
  • Reuters/Pavel Golovkin

VIVA – Di negara yang tengah dilanda krisis ekonomi besar seperti Arab Saudi, raihan dana sebesar Rp1.419 triliun jelas seperti guyuran air yang sangat segar. Angka sebesar itu dikumpulkan setelah operasi anti-korupsi besar-besaran digelar pemerintah.

Hotel Rtitz Carlton Arab Saudi jadi saksi ketika belasan pangeran, pengusaha kelas atas, menteri-menteri dan pejabat pemerintah menjadi penghuni sejak November 2017. Di dalam hotel mewah itu, mereka ditetapkan sebagai tahanan.

Hampir dua bulan mereka tak boleh keluar hotel sama sekali, meski seluruh fasilitas dan kemewahan tetap bisa dinikmati. Belasan orang-orang berpengaruh di Arab Saudi itu ditahan dalam operasi pemberantasan korupsi yang dikibarkan oleh Putera Mahkota Pangeran Muhammad bin Salman.
 
Krisis Berujung Kebangkrutan

Krisis di Arab Saudi bermula ketika harga minyak jatuh. Negara yang mengandalkan 90 persen pendapatannya dari penjualan minyak itu diambang bangkrut. Resesi ekonomi mulai terjadi hanya setahun setelah harga minyak terjun bebas di tahun 2014.

Oktober 2015, International Monetary Fund (IMF) meramalkan Saudi akan hancur dalam lima tahun mendatang jika mereka tak mampu melakukan perubahan radikal dalam urusan pendapatan negara. Saldo fiskal keseluruhan umum pemerintah Saudi pada tahun 2015 mengalami penurunan sebesar 21,6 persen. Dan di tahun 2016, angka negatif balance Arab Saudi adalah 19,4 persen, ini sudah meningkat dibanding tahun 2014 yang -3,4 persen.

Tahun 2015, Arab Saudi memiliki cadangan devisa sebesar US$654,5 miliar, namun uangnya diperkirakan cepat lenyap. Badan Moneter Arab Saudi telah menarik dana US$70 miliar yang dikelola oleh lembaga keuangan luar negeri. Negara itu juga telah kehilangan hampir US$73 miliar sejak harga minyak merosot, menurut Al-Jazeera.

Awal tahun 2014, kerajaan tersebut membagi-bagikan uang hingga US$32 miliar kepada publik, untuk merayakan penobatan Salman Bin Abdulaziz Al Saud sebagai Raja Saudi.

Pada tahun 2015 Arab Saudi juga melewati Rusia dengan mengambil alih posisi ketiga dalam pengeluaran belanja militer, dengan anggaran pertahanan sebesar US$80,8 miliar. Sementara perang di Yaman, dimana Saudi mengerahkan armada militernya secara masif, tidak menunjukkan tanda-tanda mereda.

***

Upaya Menahan Kebangkrutan

Memasuki tahun 2017, kebangkrutan Saudi mulai terasa. Cadangan devisa mereka terus menurun. Sementara pemasukan menurun drastis karena harga minyak tak juga mengalami peningkatan. Tak ada pilihan bagi Saudi kecuali melakukan reformasi dan bebenah diri.

Dipimpin oleh Putera Mahkota Pangeran Mohammed bin Salman, upaya reformasi dilakukan. Pangeran Salman mengibarkan semangat anti-korupsi dan menuding sejumlah pejabat dan keluarga kerajaan adalah bagian dari pelaku korupsi. Ia lalu membentuk Komite Anti-Korupsi melalui dekrit kerajaan yang langsung ia pimpin sendiri.

Dikutip dari Al Arabiya, Menurut putera mahkota Jumlah kerugian akibat korupsi di Saudi ditaksir mencapai Rp1.352 triliun. Jaksa Agung Arab Saudi Syekh Saud al-Mojeb mengatakan sedikitnya US$100 miliar atau sekitar Rp1.352 triliun itu disalahgunakan melalui korupsi dan penggelapan yang sistematis selama beberapa dekade. Aksi korupsi dilakukan dengan berbagai bentuk, mulai dari pencucian uang, penyuapan hingga pemerasan pejabat.

Lalu, sejumlah pejabat, pengusaha kelas atas, dan pangeran ditahan di hotel mewah Ritz Carlton pada November 2017. Selama dua bulan mereka tak diizinkan keluar hotel. Namun satu persatu akhirnya dibebaskan. Diberitakan oleh BBC, pemerintah Saudi mengklaim berhasil mengumpulkan aset dalam berbagai bentuk hingga mencapai Rp1.419 triliun.

Tak hanya pemberantasan korupsi, pemerintah Saudi juga berupaya melakukan berbagai pembenahan untuk memangkas anggaran. Mulai dari mengizinkan perempuan mengemudikan mobil sendiri untuk mengirit pengeluaran negara menggaji sopir bagi para janda, memotong gaji pejabat hingga 20 persen, mencabut pembayaran listrik dan air bagi anggota kerajaan, hingga mengizinkan dibukanya bioskop di negara konservatif tersebut agar biaya untuk menonton bioskop warga Saudi bisa ditarik pemerintah dan masuk kas negara.

Pemerintah Saudi juga memberlakukan aturan untuk membatasi WNA menjadi pekerja di negaranya. Angka pengangguran yang mencapai 12 persen membuat kerajaan harus berpikir keras dan memberi kesempatan bagi warganya untuk bekerja dan memperoleh penghasilan.

Tak berhenti disitu, pada Visi 2030, Pemerintah Saudi berencana untuk merevitalisasi dan mendiversifikasi ekonomi yang selama ini bergantung pada minyak. Pemerintah Arab Saudi mulai memperkenalkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang berlaku untuk berbagai komoditas, termasuk makanan, pakaian, hiburan, barang elektronik, dan tagihan utilitas.

Kini Saudi bebenah diri. Ancaman kebangkrutan memaksa negara yang kaya raya itu melakukan perubahan besar-besaran. Kerajaan tak sanggup lagi mensubsidi warganya dengan berbagai kemudahan dan kemewahan. Jika ingin bertahan, tak ada pilihan bagi Saudi kecuali berubah dan membuka diri.