Gerhana Bulan Langka, Ini Dampaknya bagi Indonesia

Gerhana Bulan
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Januari  2018 memang gegap gempita dalam dunia astronomi. Diawali Supermoon pada 1 dan 2 Januari, dan pada akhir bulan ini, 31 Januari 2018, bakal muncul fenomena langka bulan. Penghujung bulan ini akan terjadi Gerhana Bulan Total langka. 

Gerhana ini langka sebab terakhir kali terjadi 31 Maret 1866, atau 152 tahun lalu. Konfigurasi gerhana akhir Januari memang sangat khas, menghadirkan tiga kombinasi dalam satu fenomena alam, yang disebut Badan Antariksa Amerika Serikat sebagai, fenomena kosmik trifekta. 

Gerhana Bulan Total akhir Januari ini akan disertai dengan Supermoon dan Blue Moon. Bahkan gerhana ini disebut sebagai Blood Moon. 

Momentum Supermoon terjadi lantaran bulan pada 31 Januari 2018, bakal berjarak terdekat dengan bumi (perigee) yakni 358.993 kilometer dari bumi. Hal ini menjadikan penampakan purnama akan lebih besar dari normalnya purnama atau dikenal istilah Supermoon. 

Purnama pada 31 Januari ini akan menjadi yang kedua kalinya hadir selama Januari atau dikenal dengan istilah Blue Moon. Sedangkan istilah Blood Moon atau ‘bulan semerah darah’ muncul kala Gerhana Bulan total terjadi. Bulan akan berwarna kemerah-merahan.

Jadi pada 31 Januari nanti, terjadi fenomena purnama dan gerhana bulan, dan mengingat penamaan di atas, fenomena gerhana bulan total itu kadang disebut Super Blue Blood Moon atau Bulan Super Darah Biru. 

Bertajuk langka dan semerah darah, publik terkesima. Kurang lebih dua pekan terakhir, sudah bermunculan inisiatif untuk mengamati gerhana langka tersebut. 

Indonesia Antusias

***
Berbagai daerah di Indonesia antusias menyaksikan fenomena tersebut. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menggelar siaran langsung pengamatan dan tanya jawab gerhana bulan di Jam Gadang, Bukittinggi, Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN) menggelar pengamatan di beberapa kota yaitu Bandung, Garut, Sumedang, Pontianak, Pasuruan, Biak, sedangkan Pemprov DKI Jakarta menggelar nonton bareng gerhana di Monas dan Kawasan Kota Tua, Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi menggelar acara serupa di kantor di Jakarta.

Kantor Wilayah Kementerian Agama di Aceh, mengajak masyarakat untuk Salat Khusuf atau salat gerhana serta menyediakan fasilitas 10 teleskop untuk pengamatan.

Planetarium di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat juga menggelar pengamatan gerhana. Pusat sains ini menyiapkan 37 astronom untuk memandu pengamatan alam langka tersebut.

Gerhana langka ini tak hanya menarik perhatian kalangan pemerintahan, kalangan astronom amatir di Semarang juga menggelar pengamatan gerhana bulan akhir Januari ini. Bahkan disediakan 4-5 teleskop gratis untuk menarik antusias publik.

Gerhana tersebut juga dimanfaatkan untuk menggenjot pengunjung di titik wisata. Di Pantai Ancol Jakarta, Kepulauan Seribu, Museum Fatahillah, Setu Babakan Jakarta, Taman Mini Indonesia Indah dan Pantai Losari, Makassar juga digelar pengamatan gerhana. Semua pengamatan ini terbuka untuk publik.

Asyik untuk ditonton dan disaksikan, fenomena gerhana bulan ini di sisi lain memunculkan kewaspadaan, terutama di lingkungan perairan laut dan sekitar pantai. 

Fenomena gerhana bakal berpengaruh pada pasang air laut. Sebagaimana diketahui, siklus bulan saat purnama atau bulan baru berpengaruh pada dinamika pasang air laut. Hal ini disebabkan tarikan gravitasi antara bumi dan bulan. Semakin dekat jarak bulan dan bumi, maka semakin kuat tarikan gravitasinya.

Kepala LAPAN, Thomas Djamaluddin menuturkan, purnama dan bulan baru memang menyebabkan pasang maksimum air laut. Sebab saat purnama, gravitasi bulan diperkuat matahari. 

Dia menjelaskan pada saat gerhana, efek gravitasi bulan bertambah lantaran matahari, bumi dan bulan berada dalam satu garis. 

"Untuk 31 Januari efeknya lebih kuat lagi, karena selain gerhana, bulan juga pada posisi terdekat (Supermoon)," jelas Thomas kepada VIVA, Kamis malam 25 Januari 2018. 

BMKG meminta waspada fenomena pasang air laut maksimum untuk daerah pesisir. 

Kepala Bidang Observasi BMKG Wilayah IV Makassar, Ikhsan mengatakan, ketinggian pasang air laut maksimum 1,4 meter di Makassar, dampak gerhana tersebut. Di Jakarta Utara, BMKG memperkirakan pasang surut air laut kurang lebih 80 cm, lebih rendah dari dampak Supermoon 2-4 Januari 2018, yang mana pasang air laut maksimum di Jakarta Utara sekitar 90 cm. 

Soal pasang maksimum, BMKG memperkirakan, kemungkinan air laut pasang yang tertinggi terjadi di daerah Cilacap dengan pasang setinggi 160-170 cm. 

"Umumnya di pesisir selatan Jawa pasang naik lebih tinggi karena berhadapan dengan samudera luas. Demikian juga untuk daerah di sekitar Selat Karimata yang memiliki dasar laut lebih dalam dari pesisir Jawa. Umumnya pasang surutnya lebih tinggi," jelas Peneliti Cuaca dan Iklim Maritim BMKG, Siswanto.

Senada, Stasiun Klimatologi Klas I BMKG Kota Semarang mengingatkan masyarakat sekitar pesisir di Semarang mewaspadai potensi banjir rob yang mencapai 110 cm atau naik 10 cm dari normal.

Berdampak di Antariksa

***
Fenomena totalitas tersebut akan berdampak pula di antariksa. Saat gerhana bulan tersebut, dikutip dari laman Space, insinyur NASA akan mematikan instrumen yang ada pada wahana ‘pengintip’ bulan, Lunar Reconnaissance Orbiter (LRO). 

Peneliti utama LRO, Noah Petro menjelaskan, langkah itu dilakukan sebab wahana tidak akan mendapatkan sinar matahari yang terhalang oleh bumi. Padahal wahana LRO bekerja dengan daya sinar surya. Untuk itu, saat gerhana bulan nanti, peneliti akan mematikan instrumen pengamatan, dan akan mengalihkan LRO ke daya baterai. 

Namun, peneliti memastikan, LRO mengatakan wahana tetap akan aman. Sebab wahana tersebut sudah beberapa kali mengalami gerhana bulan tujuh kali sejak diluncurkan pada 2009. 

"Kami pembakaran kecil (mesin) untuk membuat kami dalam posisi seoptimal mungkin. Ini juga dilakukan untuk menjaga agar pesawat antariksa bisa 'hidup' selama mungkin," jelas Petro. 

Peneliti mengakui, fenomena gerhana akhir bulan ini memang langka dan belum pernah sekalipun wahana LRO melewatinya. Untuk itu, tim peneliti sengaja mematikan instrumen wahana tersebut. 

Langkah mematikan instrumen ini, jelas Petro, merupakan langkah antisipasi untuk memastikan wahana aman melewati gerhana bulan langka tersebut. Dalam gerhana-gerhana sebelumnya, LRO tetap beroperasi mengumpulkan data. 

Mengikis Mitos

***

Gerhana yang langka ini diharapkan menjadi media edukasi dan belajar sains. Hal ini penting sebab, masih saja ada hoax bermunculan mengiringi fenomena gerhana tersebut. 

Kepala Stasiun Geofisika Padang Panjang, Rahmat Triyono menginginkan masyarakat tidak hanya melihat gerhana dengan mata saja, namun juga mampu memahami tentang ilmu pengetahuan, khususnya tentang gerhana bulan ini.

"Jika masyarakat terutama para orang tua memahami, maka secara otomatis juga di rumah dapat memberikan pengetahuan kepada anak-anaknya. Ini kesempatan kita saling berbagi ilmu," ujar Rahmat.

Pemahaman berbasis sains itu setidaknya bisa menggerus dan mengurangi pola pikir yang tidak ilmiah. Misalnya munculnya gerhana langka ini beriringan dengan kejadian gempa berturut-turut pekan lalu.

Rahmat menegaskan, fenomena gerhana bulan ini sama sekali tidak berkaitan dengan fenomena gempa. Penjelasan ini menepis hoax yang banyak beredar di masyarakat bahwa gerhana bulan dikaitkan dengan gempa besar. Dia menuturkan, gerhana bulan 31 Januari sama sekali tak ada hubungannya dengan gempa. Untuk itulah pengamatan sekaligus tanya jawab yang diselenggarakan di Jam Gadang, bisa mengikis informasi tak valid tersebut.

Kala ilmu pengetahun belum sejamak saat ini, masyarakat kental dengan aroma mistis dalam menanggapi fenomena alam seperti gerhana bulan. 

Bisa dilihat, beredarnya mitos soal gerhana bulan dalam berbagai tradisi dan ironisnya masyarakat masa kini. Dikutip dari Time, misalnya pada gerhana ‘bulan merah darah’ 15 April 2014, diidentikkan dengan penderitaan. 

Nuansa ‘cocokologi’ sangat kental, ahli astrologi, Susan Miller mengatakan, istilah bulan merah darah pada 15 April 2014 dikaitkan dengan aksi kelompok militan Boko Haram menculik 276 belajar perempuan di Nigeria. Tanggal terjadinya gerhana bulan merah 4 tahun lalu itu juga dikaitkan dengan kecelakaan kapal feri Korea Selatan yang menewaskan 300 orang.

Ada juga kelompok keyakinan tertentu yang menanggapi gerhana bulan ‘merah darah’ akhir September 2015, sebagai tanda kiamat. Dilansir dari Telegraph, kelompok aliran minoritas di Amerika sebagai sebuah pertanda buruk. Mereka menyebutnya sebagai akhir dunia. Keyakinan itu untuk menanggapi terjadinya gerhana bulan keempat kali berturut-turut dalam jeda enam bulan, atau disebut gerhana tetrad.

Wajah Bulan sampai Planet Alien

***
Berbanding terbalik dengan masyarakat tanpa ilmu pengetahuan, ilmuwan merespons gerhana langka dengan penuh rasa penasaran dan keingintahuan. 

Fenomena itu juga bisa menjadi bahan kajian lebih lanjut bagi para peneliti. Mereka memiliki peluang untuk menemukan beberapa karakteristik misterius dari debu di bulan. Fenomena ini bisa menjadi mengungkapkan seberapa keropos dan halusnya permukaan satelit bumi tersebut.

Pada Gerhana Bulan Total, saat dan setelah bulan tertutupi sinar matahari, daratan di bumi akan berubah menjadi dingin. Perubahan temperatur ini juga akan terjadi pada bulan. 

"Saat Gerhana Bulan, temperatur akan berubah sangat drastis seperti bulan yang keluar dari oven dan berubah menjadi dingin hanya beberapa jam kemudian," ujar Deputi Proyek Ilmuwan Peninjauan Orbit Gerhana (LRO) NASA, Noah Petro dilansir dari Space, Minggu 28 Januari 2018. 

Peneliti NASA akan meneliti perubahan temperatur dari berbagai sisi permukaan bulan. Termasuk meneliti bagian bulan yang diselimuti debu sepanjang 60 km, atau area yang dikenal dengan sebutan Reiner Gamma. 

Seperti halnya bumi, bulan juga mengalami pergantian temperatur dari panas ke dingin secara teratur tergantung sisi mana yang terkena sinar matahari. 

Peneliti NASA telah meneliti mengenai hal ini sebelumnya dan menurut mereka informasi tersebut bisa membuktikan banyaknya bagian regolith atau wilayah berdebu pada bulan. Perubahan temperatur pada Gerhana Bulan bisa mengungkapkan karakteristik tentang material yang ada di regolith. 

"Saat mengobservasi menggunakan kamera termal pada gerhana bulan, karakter bulan berubah. Di bagian gelap, banyak kawah dan fitur lainnya tidak bisa terlihat dan normalnya beberapa area tak terdeskripsi mulai bersinar karena bagian tersebut masih hangat," ujar peneliti dari Laboratorium Atmosfer dan Ilmu Luar Angkasa di Universitas Colorado Boulder Amerika Serikat, Paul Hayne. 

Peneliti LAPAN, Rhorom Priyatikanto menuturkan, penurunan suhu permukaan bulan saat Gerhana Bulan Total nanti bisa dimanfaatkan peneliti untuk memetakan muka atau wajah bulan. 

"Penurunan suhu muka bulan saat gerhana yang berlangsung sejam, tidak terlalu ekstrem. Mungkin temperatur muka bulan hanya turun belasan derajat celsius, bergantung pada karakter tanahnya," jelas Rhorom kepada VIVA, Selasa 30 Januari 2018. 

Sebagai perbandingan, dia menuturkan, saat kondisi normal, temperatur permukaan bulan saat siang 100 derajat celsius dan pada malam hari -173 derajat celsius. Untuk siang dan malam di bulan berganti setiap 27,3 hari. 

Perubahan suhu pada muka bulan itu bisa dimanfaatkan untuk penelitian permukaan satelit bumi tersebut, misalnya meneliti detail wajah bulan. 

"Laju perubahan temperatur memang berkaitan dengan kapasitas kalori suatu material. Maka pengukuran temperatur dapat digunakan untuk karakterisasi muka bulan," katanya. 

Kajian perubahan temperatur di permukaan bulan nantinya bakal berharga saat manusia sudah mampu berkoloni di bulan. Dengan data perubahan suhu tersebut, menjadi bekal bagi koloni.

Bahkan, gerhana bulan akhir Januari ini, menurut profesor astrofisika dan Associate Director of Jodrell Bank Centre for Astrophysics, University of Manchester Inggris, Tim O'Brian potensial untuk jalan menemukan planet luar Tata Surya. 

Dalam tulisannya di laman The Conversation, O'Brian menuliskan bumi yang menghalangi sinar matahari ke bulan bisa membuat peneliti menemukan planet lain luar Tata Surya atau planet alien. 

Bumi, menurutnya, bisa menggantikan peran transit planet luar Tata Surya yang mengorbit bintang induknya. 

Dalam beberapa tahun terakhir ini, penemuan planet luar Tata Surya yang mengorbit bintang induk bisa dipelajari saat planet luar Tata Surya melewati wajah induknya. Pada momen ini, sebagian kecil cahaya bintang yang dikumpulkan akan melewati atmosfer planet yang mengorbit. Dengan pengukuran cahaya yang dipecah oleh panjang gelombang, selama masa transit itu, akan menentukan komposisi atmosfer planet. 

Momen ini juga bisa membuat peneliti atau astronom bisa menentukan komposisi penunjang kehidupan misalnya oksigen, metana sampai ozon, bahan yang memberikan peluang adanya kehidupan di luar bumi. 

"Gerhana bulan adalah kesempatan sempurna mempelajari detail efek yang sama dekat dengan sinar matahari yang dipantulkan kembali dari bulan, saat gerhana melewati atmosfer bumi. Ini berarti bumi menggantikan transit planet luar Tata Surya," jelas O'Brian. 

Menarik lagi, katanya, dengan adanya teleskop canggih yang sedang dipersiapkan yakni Teleskop James Webb Space dan Teleskop European Extremely Large, maka astronom punya potensi lebih mempelajari atmosfer planet mirip bumi. (ren)