Ekonomi RI Menusuk Dunia
- VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi
VIVA – Dana Moneter Internasional (IMF) menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi global pada 2018 dan 2019 dari 3,7 persen menjadi masing-masing 3,9 persen. Salah satu pendorongnya adalah ekonomi Amerika Serikat yang diperkirakan meningkat pada tahun ini.
Kebijakan pemotongan pajak bagi pengusaha yang mulai diberlakukan di AS hingga 2022, dinilai bakal mendongkrak ekonomi negara tersebut. Namun, ketika kebijakan itu berakhir pada 2022, ekonomi AS pun diperkirakan melambat.
Sementara itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi dari raksasa ekonomi dunia lainnya, yaitu China, tidak berubah di angka 6,6 persen pada tahun ini. Namun, lebih rendah dari realisasi 2017 yang mencapai 6,9 persen. Pada 2019, ekonomi China diproyeksi tumbuh 6,4 persen.
Baca juga: IMF Naikkan Proyeksi Ekonomi Dunia 2018
Bagaimana untuk Indonesia? IMF memutuskan untuk tidak mengubah prospek ekonomi negara-negara berkembang dan mulai berkembang. Untuk Indonesia, pertumbuhan ekonomi 2018 diperkirakan mencapai 5,3 persen, artinya di bawah dari target asumsi makro APBN 2018 yang sebesar 5,4 persen.
Meskipun optimistis ekonomi dunia bakal tumbuh lebih kencang tahun ini, Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global lebih kecil dibanding IMF. Pada 2018, ekonomi global diproyeksi tumbuh 3,1 persen, atau lebih tinggi dari 2017 sebesar 3 persen.
Harga komoditas diperkirakan membaik tahun ini, sehingga lebih menggairahkan sektor perdagangan khususnya di negara berkembang. Namun, ada beberapa hal yang harus diantisipasi seperti penyesuaian pasar keuangan dan meningkatnya ketegangan geopolitik di beberapa negara.
Kemudian, terus tumbuhnya ekonomi negara-negara berkembang dengan pasar yang besar mulai berkontribusi mendongkrak pertumbuhan ekonomi global. Bahkan, kontribusinya sudah mulai menggeser negara-negara maju.
RI Diperhitungkan Dunia
Gejala bakal bergesernya motor ekonomi global sudah terasa sejak tahun lalu. Bahkan, berdasarkan data World Economic Forum yang dikutip VIVA, Rabu 23 Januari 2018, kontribusi AS mendorong ekonomi global tergerus oleh China.
Data tersebut menjabarkan, pada periode 2017-2019, sekitar 35 persen pertumbuhan riil ekonomi global disumbang dari China. Diikuti oleh AS sebesar 17,9 persen, India 8,6 persen, dan Zona Eropa 7,9 persen.
Indonesia pun tercatat masuk peringkat kelima penyumbang perekonomian dunia, dengan kontribusi 2,5 persen. Peringkat RI di atas Korea Selatan (2 persen), Australia (1,8 persen), Kanada (1,7 persen), bahkan negara maju seperti Inggris (1,6 persen) dan Jepang (1,5 persen).
Baca juga: 500 Ekonom Yakin Ekonomi Dunia Meroket Tahun Ini
Dalam periode tersebut, kontribusi Indonesia ke produk domestik bruto (PDB) secara nominal juga terus bertambah dari US$160 miliar menjadi US$941 miliar. Bank Dunia juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,3 persen pada tahun ini.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira kepada VIVA berpendapat, dengan mulai pulihnya kondisi ekonomi global dan merangkak naiknya harga komoditas saat ini, bukan hal yang mustahil kontribusi Indonesia sesuai dengan perhitungan Bank Dunia, bahkan bisa lebih besar.
"Seharusnya porsi PDB Indonesia di dunia bisa lebih dari 3 persen," ujarnya, Rabu 24 Januari 2018.
Namun dengan catatan, Indonesia bisa memanfaatkan sentimen positif ekonomi global tersebut. Minimal, RI harus bisa tumbuh sekitar 7 persen untuk memberi kontribusi lebih terhadap ekonomi global.
"Jika saat ini ekonomi hanya tumbuh 5,05 persen, artinya Indonesia belum optimal memanfaatkan tren pemulihan ekonomi global," katanya.
Tantangan dan Pekerjaan Rumah
Untuk lebih dalam menancapkan taring di perekonomian dunia, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan pemerintahan RI ke depannya. Catatan Indef, sedikitnya ada tiga hal yang masih harus digenjot kinerjanya.
"Investasi dan ekspor. Kemudian sektor industri manufaktur, pertumbuhannya harus di atas pertumbuhan ekonomi dan porsinya minimal 25 persen terhadap PDB (nasional)," tuturnya.
Terkait ekspor dan investasi, lanjut Bhima, saingan utama Indonesia saat ini adalah India. Kontribusi kedua sektor itu dalam pertumbuhan ekonomi nasional minimal harus mampu ditingkatkan menjadi masing-masing 10 dan 12 persen.
"Setidaknya ekspor perlu tumbuh rata rata 10 persen dan investasi 12 persen dalam 3 tahun ke depan untuk menyaingi posisi India," katanya.
Selain itu, menurutnya, RI harus lepas dari ekonomi berbasis konsumsi dan beralih ke sektor yang lebih produktif dan berdaya saing. Dalam hal ini kuncinya mendorong sektor industri, sehingga produk lokal menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
"Saat ini 56 persen porsi PDB didominasi oleh konsumsi rumah tangga. Ini yang membuat impor terus mengalami kenaikan," ungkapnya.
Meningkatnya kontribusi China dalam perekonomian dunia, kata Bhima, bisa dimanfaatkan untuk mendorong peningkatan ekspor Indonesia. Apalagi, konsumsi domestik China terus meningkat saat ini.
Catatan Indef, sepanjang 2017, total ekspor Indonesia ke China sebesar US$21,3 miliar atau naik 41 persen dibanding 2016. Sementara itu, porsi ekspor non minyak dan gas bumi ke China sebesar 13,9 persen dari total ekspor.
Dia berpendapat, fakta tersebut merupakan sinyal kuat bahwa masih ada ruang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor kedua negara. "Dengan perubahan arah kebijakan (China) tersebut maka ekspor Indonesia ke China pun makin besar," tambahnya.
Dengan beberapa strategi ekonomi tersebut, dia pun optimistis taring ekonomi Indonesia bisa tertancap lebih dalam menusuk perekonomian dunia di masa depan. (art)