Tingkat Sulfur Dioksida di Wuhan Indikasikan Kremasi Massal, Faktanya

Seorang pekerja dari PT Asia Pulp and Paper (APP) Sinar Mas menjelaskan tampilan gambar hasil foto satelit dan kamera termal untuk pemantau titik api di lahan perkebunan, Kamis (9/3/2017)
Sumber :
  • VIVA.co.id/Aji YK

VIVA – Beredar foto satelit dengan narasi 'I personally believe China is lying about infection numbers'. Dalam gambar yang sama juga dituliskan 'Sebuah foto satelit terbaru menujukkan tingkat sulfur dioksida (SO2) yang tinggi di sekitar Kota Wuhan, China’.

Dijelaskan juga, SO2 merupakan gas yang dilepaskan ketika bahan organik seperti tubuh manusia dibakar. Foto tersebut dituding sebagai tanda adanya kremasi massal korban corona virus atau Covid-19.

Bahkan diindikasikan ada lebih 50 ribu korban jiwa yang dibakar. Angka ini jauh lebih tinggi dari korban jiwa yang dilaporkan hanya 1.350 orang.

Verifikasi Fakta

Dikutip dari laman turnbackhoax.id, foto tersebut beredar di media sosial sejak 9 Februari 2020. Setelah ditelusuri, foto itu diambil dari situs Windy.com.

Laman organisasi cek fakta Inggris, Full Fact memastikan foto tersebut bukan foto satelit yang menunjukkan real time tingkat SO2. Tapi itu hanya foto perkiraan cuaca dan prediksi tingkat polutan seperti nitrogen dioksida dan SO2.

Dapat dipastikan foto tersebut hanya ramalan emisi SO2 di Wuhan selama tiga hari sejak 8 Februari 2020. Laman Windy.com menyebutkan perkiraan emisi SO2 menggunakan data sistem pemodelan atmosfer GEOS-5 NASA.

Ahli Meteorologi Kantor Pemodelan dan Asimilasi Global NASA, Arlindo M. da Silva, model SO2 GEOS-5 tidak mengasimilasi data satelit secara real time. Tapi hanya didasarkan pada bukti emisi masa lalu.

"Meskipun data satelit telah digunakan dalam pembangunan inventarisasi emisi, emisi ini tidak memperhitungkan variasi harian dalam emisi SO2 dan karenanya tidak dapat menjelaskan perubahan mendadak dalam aktivitas manusia," kata Silva.

Adapun variasi harian dalam SO2 disebabkan variasi dalam kondisi meteorologi khususnya angin. Menurut Full Fact, dapat dipastikan foto satelit dengan tingkat SO2 tinggi di Wuhan tak didasarkan pada pengamatan real time, tapi prediksi pola cuaca. Sehingga tak mungkin menunjukkan peristiwa tak terduga seperti kremasi massal.

Kemudian, lama Euro News menyebut perkiraan yang dibuat Windy.com dalam sistem pemodelan atmosfer GEOS-5 NASA kerap memberikan hasil jauh lebih tinggi dari pengamatan. Perkiraan tersebut juga didasarkan pada bukti emisi masa lalu dengan probabilitas tingkat polusi tinggi.

Sistem tersebut memperhitungkan sumber emisi di suatu wilayah seperti pabrik dan pembangkit listrik serta variabel meteorologi. Karena itu NASA harus memperkenalkan parameter pembakaran tubuh manusia dalam kremasi massal pada sistem pemodelan mereka.

Euro News mengakui tipe perkiraan ini menggunakan data satelit. Tapi satelit tak bisa mendeteksi sumber SO2 yang kecil seperti pabrik atau kremasi. Satelit dapat mengukur secara akurat fenomena yang lebih intens seperti letusan gunung api. Jika tak intens, aktivitas seperti kremasi tak akan bisa terlihat. 

Pengecekan emisi SO2 pun dilakukan di Wuhan sebelum Covid-19 mewabah dengan Earth Nullschool. Hasilnya, emisi SO2 yang diperoleh lebih tinggi dari foto yang beredar.

Para ahli yang diwawancara Euro News berpendapat cuaca di Wuhan sempat berada pada level 4-5 derajat. Sehingga kemungkinan banyak warga Wuhan menggunakan pemanas yang membuat konsentrasi SO2 meningkat.

Lalu, di timur Wuhan terdapat pembangkit listrik tenaga batu bara yang cukup besar. Pembangkit ini juga diidentifikasi menjadi sumber emisi SO2. Profesor kimia dari Italia menghitung soal jumlah SO2 dalam foto yang beredar dengan kemungkinan pembakaran mayat. Ia menyebut untuk mencapai SO2 level tersebut, Wuhan harus membakar sekitar 39 juta mayat. (ase)