Pedagang Kopi dan Eks Tukang Ojek Mengadu Nasib Menjadi Wakil Rakyat
- bbc
Seperti tahun 2014 lalu, panggung pemilu legislatif tahun ini kembali diramaikan sejumlah kandidat dari masyarakat ekonomi kurang mampu. Tanpa modal uang yang besar, para caleg ini menebar harapan kepada mereka yang senasib sepenanggungan.
Awi, panggilan akrab Abdul Wahid Ibrahim, kembali mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Kota Manado. Lima tahun lalu, kandidat petahana itu mengaku banyak yang meragukannya mengingat profesi sehari-harinya adalah tukang ojek pangkalan.
"Paradigma (cara) mereka berpikir itu bahwa tidak mungkin, impossible , kalau tukang ojek itu bisa jadi anggota DPR(D)," tutur Awi, dengan dialek Manadonya, mengingat kembali perjuangannya dulu.
Awi berhenti ngojek sejak terpilih menjadi anggota DPRD Kota Manado dalam Pileg 2014 melalui Partai Amanat Nasional. Kala itu, ia memperoleh 1.119 suara yang cukup mengantarkannya duduk di kursi anggota dewan.
"Dari pemetaan politik, target saya (tahun ini) 3.000 (suara)," ujarnya kepada Rivan Dwiastono, wartawan BBC Indonesia, usai bertatap muka dengan konstituennya di Bunaken Kepulauan, Sulawesi Utara, 22 Maret lalu.
Sementara itu, 3.400 kilometer barat daya Manado, tepatnya di kota Cilegon, Banten, Eha Soleha tengah menapaki jalan yang sama seperti yang dijejak Awi tahun 2014 lalu. Eha mantap menjadi caleg di tengah kesehariannya berjualan kopi keliling di pasar.
"Saya jadi caleg awalnya ditawari sama pelanggan tetap kopi saya," ungkap Eha di petak kontrakannya di desa Sukmajaya, Cilegon, 18 Maret silam.
Sang pelanggan merupakan anggota Partai Persatuan Pembangunan yang bertugas mencari kandidat caleg. Eha mengaku, pelanggannya tersebut tengah mencari sosok caleg perempuan.
"Dia itu sedang mencari caleg karena untuk memenuhi kuota, bahwa perempuan harus ada 30% di dewan," katanya.
Eha awalnya tak paham apa tugas seorang anggota dewan. Perlahan, ia mempelajari tugas dan tanggung jawab yang mesti diembannya jika terpilih nanti.
"Di DPR(D) itu kerjanya nanti rapat, membuat undang-undang, membuat anggaran, persetujuan anggaran, gitu. Jadi saya nih lagi belajar politik, lagi belajar tentang dewan," bebernya polos dan lantang.
Menjajakan kopi sambil `menjual diri`
Eha merapikan keranjang berisi dagangannya di salah satu sudut halaman Pasar Kranggot, Cilegon, Banten. Rentengan kopi sachet berbagai merek, setumpuk gelas plastik, dan sebundel kertas fotokopi bergambar wajahnya ia susun rapi di dalam keranjang itu.
"Yang asli habis, Pak, makanya difotokopi," jelas Eha sambil memperlihatkan kertas selebaran itu kepada BBC.
`Coblos Eha Soleha, caleg DPRD Kota Cilegon, nomor urut 6` terbaca dari tulisan tangan yang ia bubuhkan di bawah foto dirinya saat diwawancarai presenter kondang Najwa Shihab awal Maret lalu.
Jam masih menunjukkan pukul dua pagi. Meski gelap, aktivitas pasar sudah mulai ramai. Saatnya Eha menjajakan kopi.
Langkahnya cekatan, dengan keranjang di tangan kanan, serta termos air panas di tangan kiri. "Pak haji, ngopi?" sapa Eha kepada salah seorang pedagang sayur.
Tak semua orang yang ditawarinya membeli kopi. Titel caleg dan kertas selebaran kampanye baru akan ia sampaikan ketika ada pembeli.
"Bapak rumahnya di mana, Pak?" tanya Eha kepada seorang pedagang sayur lain yang meminta dibuatkan kopi. Pertanyaan itu agar tahu apakah orang tersebut berasal dari daerah pemilihannya atau tidak.
"Kramat," jawab pedagang itu singkat, sibuk menyusun barang dagangannya. Tidak masuk dapil , pikir Eha.
Ia lantas menjalankan rencana cadangan: mengajak si pedagang mencoblos partainya saja. "Pak, saya caleg PPP. Nanti (pemilu) milih PPP ya, Pak," balas Eha sambil tersenyum, disambut diam si pedagang.
Hal itu berulang kali ia lakukan saat menemui pembeli yang tidak berasal dari daerah pemilihannya. Hal berbeda dilakoni jika sang pembeli merupakan konstituennya, seperti kepada Roni, pemilik sebuah kios bumbu dapur.
"Nanti Bapak tolong pilih Eha Soleha ya, Pak. Ini kartu nama saya, Eha Soleha, caleg PPP nomor 6," ujar Eha sambil menyerahkan brosur kampanyenya.
Bagi Roni yang sehari-hari berdagang di pasar, kehadiran Eha sebagai caleg yang memiliki latar belakang serupa dengannya membawa harapan.
"Bu Eha kalau mau nyalon bagus sekali ya," ujarnya.
Meski hanya mengenal Eha sebagai pedagang kopi keliling, ia berharap Eha bisa membantu para pedagang kecil.
"Keluhan pembeli itu biasanya pada harga. Pengennya dimurahin lah harga semuanya bahan-bahan jualan kita," harap Roni kepada Eha.
Harapan yang sama dilontarkan Jariyah, pedagang sayur lainnya yang terkejut saat tahu Eha nyaleg .
"Ya Tuhan, betul nyaleg ? Nong nyaleg ?" ujarnya sembari memeluk Eha.
Jariyah tidak bisa mencoblos nama Eha di surat suara karena berbeda dapil. Namun ia senang ada pedagang kecil yang terjun dalam pileg.
"Ibu kan nggak bisa sukses, cuma kayak gini, cuma pedagang. Susah Ibu ini, kan cuma orang kecil," tuturnya dalam bahasa Jawa Banten. "Iya lah didukung aja, orang kecil sama kayak saya. "
Untuk memenuhi kuota 30% caleg perempuan
Berstatus pedagang kopi keliling, pendidikan yang dikenyam Eha tidak sembarangan.
Ia menuntaskan seluruh jenjang pendidikan dasar dan menengah, lantas melanjutkan studinya ke bangku perkuliahan dan menyelesaikan pendidikan D3 Bahasa Inggris di sebuah akademi bahasa asing pada 1999 di Jakarta Barat.
"Saya waktu itu cita-citanya pengen jadi guru agama, Pak. (Tapi) saya waktu itu nggak lulus di kuliah perguruan tinggi itu," tutur Eha di kontrakannya seusai berjualan kopi.
Selepas menyelesaikan gelar diplomanya, Eha bekerja sebagai guru honorer dari satu sekolah ke sekolah lain. Dengan status tersebut, setiap bulan Eha digaji Rp50 ribu.
"(Dulu) ngajar tiap hari, Pak," ungkapnya. "Saya memeriksa kelas-kelas, piket, nyapu , buang sampah, dan kalau ada guru PNS yang tidak datang, saya menggantikan."
Belakangan, Eha harus menanggung hidup tiga anggota keluarganya yang lain: sang ibu, anak perempuan tunggalnya, dan seorang adik laki-laki.
Sejak berpisah dari suaminya, penghasilan Eha sebagai guru honorer tak bisa menutupi biaya hidup sehari-hari.
Akhirnya, ia memutuskan untuk berhenti mengajar dan memilih menjadi pedagang kopi keliling tahun 2014 silam.
Setiap hari ia menjajakan kopi kepada para pedagang dan pengunjung Pasar Kranggot dari pukul satu dini hari hingga pukul delapan pagi. Penghasilannya dari berdagang kopi berkali lipat lebih besar dibandingkan penghasilannya sebagai guru honorer.
"Karena saya senang dagang, jadi setiap hari saya dapat uang itu, gampangnya mah , kadang angkanya Rp50 ribu (per hari), atau 40 atau 30," katanya.
Dari pekerjaan itu juga lah Eha akhirnya bertemu dengan Ahmad Hamdi, Panitia Anak Cabang PPP Kecamatan Cibeber, Kota Cilegon. Hamdi adalah pelanggan kopi Eha yang pada tahun lalu menawarinya untuk maju sebagai caleg dari PPP.
"Awalnya kita kesulitan mencari caleg perempuan untuk memenuhi kuota 30% suara perempuan. Kita musyawarah di kantor DPC untuk merekrut caleg-caleg perempuan, karena kader-kader kita kan banyak yang sudah nggak mau jadi kader lagi," jelas Hamdi saat ditemui BBC di kesempatan berbeda.
Menurutnya, Eha memiliki kualitas yang sepatutnya dimiliki seorang caleg. "Ibu Eha ini karena pejalan dan tidak pernah mengeluh. Wah, ini cocok untuk sosialisasinya, dia terobos ke mana aja di dapilnya nanti," tuturnya.
Hamdi juga menganggap Eha sebagai pribadi yang loyal dan ringan tangan.
"Saya serius bahwa kamu bukan jadi pelengkap, kamu jadi pelaku, kamu harus kerja keras supaya dapat suara banyak," tutur Hamdi menirukan ucapannya kepada Eha. "Jadi bukan hanya pemenuhan kuota 30%."
Hingga sebulan sebelum hari pencoblosan, Eha telah berkeliling untuk memperkenalkan diri ke hampir semua kelurahan yang terdapat di daerah pemilihannya.
Metode kampanye dari pintu ke pintu jadi andalan, mengingat terbatasnya modal finansial untuk membuat berbagai alat peraga kampanye.
"Kampanye itu, menurut saya, susah, Pak. Meyakinkan pemilih, konstituen, susah, Pak," ujar Eha.
"Susahnya, satu, mungkin mereka masih menganggap bahwa politik itu harus pakai uang. Kalau ada uang, mereka akan nyoblos , gitu," lanjutnya. "Satunya lagi, karena mereka ada tim sukses yang menyuruh bahwa `orang tuh harus milih ini`, gitu , jadi ada yang nyuruh gitu ."
Tak semua konstituen yang didatangi Eha juga menyambut positif kedatangannya. Hasim Zakaria salah satunya.
Warga Cikerai, kecamatan Cibeber, kota Cilegon, itu bersikap skeptis terhadap wakil rakyat. "Cari (caleg) yang amanah itu tidak ada. Susah (percaya)," ujarnya.
"Yang dulu-dulu, memberikan ini lah, itu lah. Memberikan janji-janji (palsu), makanya sekarang tidak ada yang (saya) percaya," lanjutnya.
Eha bukannya tak tahu tantangan yang harus dihadapinya saat nyaleg . Ia tahu betul bahwa ia harus bersaing dengan 105 caleg lain yang memiliki lebih banyak modal dan pengalaman di daerah pemilihannya.
Eha harus bisa memenangi setidaknya 3.000 suara pemilih agar bisa duduk di kursi anggota dewan.
"Waktu ditawarin itu saya juga nggak mau, Pak, karena saya nggak punya uang," ujar Eha.
Sejak mulai berkampanye September lalu, Eha mendapat bantuan dana kampanye dari sesama caleg PPP yang berlaga di tingkat provinsi sebagai `tandem`nya.
"Ketika semua caleg dimintai laporan (keuangan kampanye), ternyata itu biayanya Rp1,4 juta, Pak. (Uang itu) Dari Pak Haji Sibli," ungkap Eha, merujuk pada caleg tingkat provinsi yang mendanainya.
Selain itu, ia juga menerima dana tambahan dari partai sebesar Rp2 juta untuk membuat alat peraga kampanye. Eha sendiri hanya mengeluarkan uang seadanya untuk memfotokopi brosur-brosur kampanye.
Di luar, ia kerap mendengar selentingan yang mengatakan bahwa nasibnya akan berubah drastis jika terpilih menjadi anggota dewan.
"Saya juga bingung, Pak. Jadi (anggota) dewan itu, teman-teman bilang, kalau jadi (anggota) dewan itu gajinya besar, terus nanti naik mobil, nanti punya rumah, nanti keliling ke mana-mana," ujar Eha. "(Memang) sebesar itu ya (gajinya)?"
Meski demikian, Eha mengaku serius menjajaki peluang menjadi wakil rakyat. Ia ingin membantu sesama masyarakat kurang mampu untuk memiliki kehidupan yang layak.
"Ada yang curhat ke saya, jadi, supaya `coba Eha, nanti gimana nih, pedagang tolong dibantu masalah perdagangan kita, agar kita lebih maju, lebih laris. Terus bagaimana permodalan nih`," tuturnya.
Ia juga menaruh perhatian pada nasib pengangguran di kota Cilegon. Ia mengaku menerima aspirasi tersebut dari masyarakat di dapilnya, di Kecamatan Cibeber dan Cilegon, kota Cilegon.
"Mudah-mudahan Eha kepilih agar masyarakat kita, Cilegon, banyak yang bekerja, jangan banyak yang menganggur," harapnya jelang 17 April 2019.
Kisah mantan tukang ojek jadi wakil rakyat
Abdul Wahid Ibrahim alias Awi telah menjalani lika-liku yang dilakoni Eha, lima tahun lalu. Tahun 2014, ia memberanikan diri maju sebagai calon anggota legislatif melalui partai yang diikutinya sejak tahun 2010, Partai Amanat Nasional.
"Masih saya tukang ojek, sehingga di 2014 saya mencoba mencalonkan diri," tutur Awi, dengan dialek Manadonya yang kental, kepada BBC.
Awi menjadi pengendara ojek sejak tahun 2009. Saat itu, penghasilan rata-ratanya yang Rp150 ribu per hari digunakan untuk menghidupi istri dan ketiga anaknya yang tengah beranjak dewasa.
" Alhamdulillah wa syukurillah bahwa pendamping saya, istri saya itu, punya usaha tersendiri jual kue," ungkapnya. "Bahkan sampai sekarang saya sudah hampir lima tahun di DPR(D), jinjingan kue itu terus berjalan. Dari pertama menikah, (istri) sudah membantu itu."
Awi berasal dari keluarga yang hidup dengan kondisi kurang mampu. Ia sendiri merupakan lulusan sekolah menengah atas (SMA). Meski berprestasi selama mengenyam bangku sekolah, ia tak mampu melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi karena keterbatasan finansial keluarga.
Selepas sekolah, ia mengawali karir sebagai karyawan sebuah perusahaan perkebunan di Kabupaten Minahasa. Tak bertahan lama - karena bangkrut - Awi banting stir menjadi seorang tibo-tibo, pedagang ikan yang menjajakan ikan segar hasil tangkapan nelayan di laut kepada para pedagang eceran di pasar.
"Itu kurang lebih ada sekitar 15 tahun menjalani profesi itu (menjadi tibo-tibo )," ungkap Awi.
Sejak sempat jatuh sakit tahun 2009, Awi tak lagi mampu bekerja di industri jual-beli ikan yang sarat suhu dingin. Awi kembali beralih profesi, dan kali itu memutuskan menjadi seorang tukang ojek.
Di luar dugaan, ngojek justru menginspirasi dirinya untuk menjadi seorang anggota dewan.
"Di ojek itu banyak sekali kita mendapatkan aspirasi. Kadang-kadang, tanpa disadari oleh penumpang, kita juga sebagai driver ojek, ada keluhan dari batin dan dari hati para penumpang ojek ini," tuturnya.
"Ada mereka yang mengatakan `aduh, kita juga akan punya beban untuk membayar biaya sekolah, punya beban untuk masuk rumah sakit`," lanjut Awi.
Keputusannya maju dalam pemilihan legislatif 2014 diakuinya mendapat dukungan penuh masyarakat sekitar. "Saya bilang `kalau saya mau nyaleg gimana?`, sudah, `kita akan pilih`," ungkap Awi menirukan percakapannya dengan beberapa rekannya.
Keputusan itu juga tak lepas berkat keseharian Awi yang aktif berorganisasi. Ia merupakan ketua badan takmir masjid di lingkungan rumahnya, menjadi ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat setempat, hingga menjadi ketua Dewan Pimpinan Cabang PAN Kecamatan Tuminting.
Awi lantas nekat nyaleg dengan modal uang yang minim. Akan tetapi, dengan modal sosial yang dikantonginya, Awi berhasil menghimpun dana kampanye - yang ia sebut sebagai utang - hingga Rp49 juta dari para pendukungnya.
"Terkait pelaksanaan kampanye, tahapan-tahapan yang lain itu, termasuk tatap muka seperti ini, itu dibiayai oleh teman-teman, dibiayai oleh konstituen," kata Awi.
"Kantong saya pribadi itu tidak pernah terkumpul uang. Saya dapat hari ini kadang-kadang tinggal besok untuk makan, dapat hari ini persiapan untuk besok, kita tidak pernah merasakan ada (uang berjumlah) jutaan di kantong," paparnya.
Dengan modal tersebut, Awi mengetuk satu per satu pintu rumah warga di Kecamatan Tuminting, Bunaken, dan Bunaken Kepulauan, untuk memperkenalkan diri dan tujuannya nyaleg . Yang tak biasa, Awi mengaku tidak pernah menjanjikan apa pun kepada konstituennya.
"Sebetulnya janji-janji ini sebagian besar - menurut saya - yaitu adalah sebagian besar terjadi pembohongan. Oleh karena itu saya tidak pernah berjanji," ujarnya.
Hanya satu strategi Awi: berbicara untuk meyakinkan konstituen.
"Yang sangat diinginkan mereka itu melihat bahwa sosok yang mereka pilih, dia akan tampil berbicara di hadapan podium," ujarnya. "Mereka berpikir karena latar (belakang)nya tukang ojek, mampukah dia berbicara di depan panggung? mampukah dia berbicara di depan umum?"
Strategi itu akhirnya membawa Awi duduk di kursi parlemen Kota Manado.
Nyaleg untuk kedua kali
Pagi itu, 22 Maret 2019, Awi membawa serta ratusan warga di sekitar rumahnya di kecamatan Tuminting untuk ikut dengannya bertatap muka dengan warga Bunaken Kepulauan yang menjadi salah satu daerah pemilihannya.
"Awalnya saya minta 40 orang saja, tapi jadi hampir 200," ujar Awi kepada BBC dalam perjalanan laut dari daratan kota Manado ke lokasi tujuan.
Setibanya di sana, sebuah tenda berwarna hijau telah berdiri lengkap dengan panggung kecil dan sistem pengeras suara. Spanduk bergambar wajahnya ditempel di salah satu sisi panggung, sementara ratusan kursi plastik disusun berderet-deret untuk warga.
Awi kembali mencalonkan diri sebagai anggota legislatif DPRD Kota Manado periode 2019-2024. Ia mencoba melanjutkan jabatan yang diembannya kini.
"Jadi atau tidak jadi (terpilih), saya masih tetap anggota DPRD hingga 11 Agustus 2019," ucap Awi kepada warga dalam pidato pembukaannya.
"(Hari ini) saya akan mendengarkan kerinduan Bapak-Ibu, apa yang terlewati oleh pemerintah, apa yang kemudian yang diinginkan masyarakat yang hari ini tidak kesampaian," sambungnya.
Sesi tatap muka tersebut berlangsung selama dua jam, di mana dalam sesi tersebut, beberapa warga mengungkapkan keluhan dan harapan mereka kepadanya.
Seperti Syafrudin Adam, yang mengeluhkan jaringan listrik PLN yang tidak stabil di perkampungan yang dikenal sebagai destinasi wisata air itu.
"Kalau siang di sini sering mati lampu terus, sedangkan keperluan masyarakat sini waktu siang itu butuh sekali," ungkapnya.
Sementara warga lainnya, Yulfa Racib, berharap Awi benar-benar bisa menyalurkan aspirasi warga Bunaken Kepulauan kepada pemerintah. Ia kecewa dengan kinerja wakil rakyat lain yang pernah mampir ke desa tempatnya tinggal.
"Dari anggota DPR-DPR yang lalu-lalu sudah (berkunjung), sudah kami mintai tolong, tapi tidak ada balasan," ujarnya. "Insya Allah Pak Awi membawa amanah, sebab Pak Awi seperti kami dulu, jualan ikan di pasar."
Awi kini duduk di komisi yang mengurusi isu kesejahteraan rakyat di DPRD Kota Manado. Dalam kesempatan keduanya, jika kembali terpilih, ia ingin bisa mewakili kepentingan para pedagang.
"Memang harapan teman-teman, pertama, dari pedagang ikan. Teman-teman pendukung ini dari berbagai kalangan, ada dari pengusaha, ada dari toko pedagang, ataupun ikan," ujarnya.
`Caleg Awi` yang sekarang berbeda dengan `caleg Awi` tahun 2014 lalu. Kali ini, ia sudah memiliki modal sosial yang lebih besar, begitu pula dengan modal finansial yang memudahkan langkahnya berkampanye.
"Laporan kita ke panitia penyelenggara (pemilu) itu - baru kita menyediakan atribut partai saja, APK itu - yaitu kurang lebih ada Rp100 juta," beber Awi. "Kalau mau bilang dilipatgandakan ya mungkin ada kenaikan hampir 1.000 persen."
Tidak hanya dari segi politik, kehidupan pribadi keluarga Awi pun kini membaik.
Ia memutuskan untuk membeli rumah bekas yang lebih besar, tak jauh dari tempat tinggal lamanya, dengan alasan agar bisa menampung lebih banyak masyarakat yang ingin berkunjung untuk menyampaikan aspirasi.
"Rumah tua yang saya tempati hari ini - dengan harga waktu itu Rp250 juta - itu pun dibayar cicil," ungkap Awi. Tiga kesempatan kami mengunjungi rumahnya, tempat itu selalu ramai dikunjungi para tetangga.
Sementara sepeda motor yang dulu dipakainya untuk menarik ojek sudah ia jual. Kini ia menggantinya dengan motor lain.
"Motor masih kredit, diambil jangka waktunya itu 1,5 tahun," tuturnya.
Namun demikian, Awi mengklaim, pribadinya tidak pernah berubah. Ia masih ingin menuntaskan pekerjaannya sebagai anggota dewan yang dianggapnya belum tuntas.
"Kalau mau dipersentasekan itu baru di 40 persen (target yang selesai). Sampai lima tahun saya berjalan ini, keinginan masyarakat, hak-hak masyarakat untuk hidup layak, itu belum terpenuhi," pungkas Awi.
Bagaimana potensi para caleg cekak?
Kisah Eha dan Awi adalah cerminan sejumlah kisah caleg lain dengan latar belakang serupa. Di masa lampau, sebagian kisah itu berakhir sukses, sementara sisanya kandas, tak bersisa.
Modal minim yang dikantongi para caleg cekak di awal perjuangan mereka, menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, bukan menjadi faktor tunggal sukses-tidaknya kans masuk ke parlemen.
Menurut Titi, untuk memenangkan pertarungan antar-caleg di Indonesia, selain modal kapital, modal sosial juga memainkan peranan penting. Modal sosial yang dimaksud adalah jejaring dengan konstituen dan pendukung di daerah pemilihan terkait.
Bagi para caleg dari kelas ekonomi menengah ke bawah, menurut pandangan Titi, modal sosial dapat dijadikan instrumen utama yang bisa dikerahkan dalam upaya pemenangan suara konstituen. Namun, cakupan dapil dan durasi interaksi dengan para pemilik suara patut diperhitungkan.
"Mereka ini orang yang betul-betul berinteraksi dengan masyarakat kebanyakan. Apakah interaksi itu intervalnya cukup luas, cukup besar, untuk menjangkau suara yang sepadan dengan satu kursi?" paparnya.
Efektivitas kampanye dari pintu ke pintu yang cenderung dilakukan para caleg cekak juga harus dilakukan secara terukur. Aktivitas menjaga relasi perlu dilakukan sejak jauh-jauh hari.
"Kalau misalnya dia melakukan door to door campaign dan itu merupakan penguatan saja dari interaksi sosial yang sudah dia bangun sebelumnya, ya bisa saja dia tetap punya kans yang besar," jelas Titi.
Yang menjadi perhatian Titi adalah motivasi para calon wakil rakyat dari kalangan marginal tersebut.
Menurutnya, pertarungan pileg bukan sekadar untuk merebut kursi, tetapi juga pertarungan untuk memperjuangkan ideologi partai. Lebih besar lagi, pertarungan untuk memperjuangkan suara rakyat.
Sementara itu, yang menjadi kekhawatiran adalah proses rekrutmen para caleg oleh partai-partai pengusung. Dalam kasus Eha, pencalegannya oleh partai terkait untuk mengisi kuota 30?leg perempuan patut menjadi perhatian.
"Dari riset terhadap pemilih perempuan saja, memang kecenderungan untuk asal comot terhadap caleg perempuan untuk menggenapi 30% keterwakilan perempuan paling sedikit di daftar calon, itu juga berkontribusi terhadap fenomena caleg yang asal direkrut.
"Yang asal direkrut ini kan kadang-kadang paling mudah dari teman-teman yang ekonominya kurang, karena - misalnya - diiming-imingi," papar Titi.
Meski demikian, Titi berpendapat bahwa keberadaan caleg dari kalangan menengah ke bawah layak diperhitungkan.
"Dalam konteks ini, sangat mungkin merekalah yang paling bisa memahami persoalan-persoalan riil di masyarakat.
"Hanya saja, memang motivasi dan kemudian cara kerja mereka di dalam berkampanye harus ditempatkan di koridor yang tepat, sehingga kehadiran mereka di dunia pemilu kita betul-betul menjadi bagian dari upaya kita untuk memperkuat politik representasi di parlemen," tutupnya.