Komnas HAM Temukan Banyak Warga Sulsel Terancam Tak Ikuti Pemilu

Ilustrasi simulasi pengamanan tempat pemungutan suara (TPS) Pemilu
Sumber :
  • Antara/ Ari Bowo Sucipto

VIVA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengerahkan tim pemantau pemilu di Sulawesi Selatan. Berdasarkan temuannya, banyak masyarakat yang memenuhi syarat namun berpotensi tidak dapat memilih pada pemilu 2019. 

Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara mengatakan, temuan diperoleh dari hasil pantauan tim pada berbagai pihak yang berkaitan dengan pelaksanaan Pemilu di Sulsel. Di antaranya Bawaslu, Kepolisian Daerah, Pemerintah Provinsi, dan lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan di Kementerian Hukum dan HAM.

Potensi tidak dapat memilih dominan karena alasan administratif, yakni belum memiliki e-KTP atau belum melakukan perekaman data. Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Sulsel terdapat 6.159.379 pemilih yang tersebar di 26.348 tempat pemungutan suara.

“Sampai menjelang tahap pemilihan, persoalan tersebut masih menjadi sorotan utama di setiap pertemuan yang Komnas HAM lakukan,” kata Beka di Makassar, Kamis, 21 Maret 2019.

Pemantauan pemilu di sejumlah daerah, Sulsel, salah satunya, dipilih karena memiliki indeks kerawanan tinggi menurut Polri dan Bawaslu. Pemantauan juga digelar di daerah lain yang rawan, seperti Kalimantan Tengah, Banten, Jawa Timur, Aceh, dan Papua.

“Pemantuan dilakukan karena Pileg dan Pilpres merupakan peristiwa politik terpenting. Kita ingin hasilnya menjadi standar dalam upaya penegakan HAM berupa pemenuhan atas hak konstitusional seluruh warga negara,” katanya.

Berdasarkan aspek pemenuhan hak pilih, warga binaan pemasyarakatan di seluruh Lapas dan Rutan jadi salah satu perhatian utama. Komnas HAM menemukan pengabaian hak konstitusi karena warga binaan tidak terdaftar dalam DPT.

Di seluruh Sulsel, terdapat 10.634 warga binaan. Namun hanya 5.961 orang yang masuk DPT. Contoh lain di Rutan Pangkep. Dari 383 orang warga binaan, hanya 41 orang yang masuk DPT.

Rendahnya pemenuhan hak warga binaan disebabkan mereka rata-rata tidak mengantongi e-KTP. Mereka ingin datanya direkam, namun terkendala syarat kartu keluarga yang sulit dihadirkan.

“Lalu keterbatasan kewenangan Disdukcapil, yang hanya bersedia merekam data kalau berasal dari warga daerah setempat,” kata Beka.

Komnas HAM, katanya, menemukan bahwa pemenuhan hak pilih juga ditemui di sejumlah kelompok masyarakat. Misalnya, kelompok masyarakat adat dan terpencil. Di kelompok suku Kajang, Kabupaten Bulukumba, warga tidak punya e-KTP. Mereka menolak difoto tanpa ikat kepala dalam pembuatan e-KTP, sehingga tidak punya akses memilih.

Di kelompok disabilitas, terlihat kurangnya upaya penyelenggara maupun calon kandidat Pemilu 2019. Tidak ada kampanye dan sosialisasi khusus kepada kelompok ini, karena dianggap bukan prioritas. Kondisi serupa ditemukan di wilayah lokalisasi masyarakat kusta yang rentan dikucilkan karena stigma negatif.