Jangan Kaget, Ini Perbandingan Lalu Lintas Jakarta-Singapura
- Toyota
VIVA.co.id - Data yang dikeluarkan Korps Lalu Lintas Kepolisian Negara Republik Indonesia mencatat, jumlah kendaraan yang masih beroperasi di seluruh Indonesia pada 2013 mencapai 104,211 juta unit. Angka ini naik 11 persen dari 2012 yang cuma 94,299 juta unit.
Dari jumlah tersebut, kontribusi paling banyak disumbang sepeda motor dengan jumlah 86,253 juta unit di seluruh Indonesia. Jumlah terbesar kedua disumbang mobil penumpang (pribadi) dengan torehan 10,54 juta unit. Populasi mobil barang seperti truk, pikap, dan lainnya tercatat 5,156 juta unit.
Fakta ini tentu menunjukkan jika penjualan kendaraan pribadi lebih melesat ketimbang penjualan bus atau angkutan umum. Diketahui, pada 2013, jumlah bus hanya 1,962 juta unit. Dapat ditarik kesimpulan, jika jumlah ini mencerminkan lemahnya transportasi publik di Indonesia.
Salah satu kota di Indonesia yang menyumbang larisnya mobil kepemilikan pribadi ialah Jakarta. Padahal, pertumbuhan kendaraan di kota Metropolitan itu tidak sebanding dengan perkembangan jalan di Jakarta. Berdasarkan data dari Dinas Perhubungan DKI, setiap hari setidaknya ada lebih dari 1.000 kendaraan bermotor baru turun ke jalan di Jakarta.
Di Jakarta, banyak orang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi untuk mobilitas. Akibatnya, kemacetan panjang terjadi. Tak heran jika watak para pengendara kemudian berubah menjadi bengis, kala berebut jalan yang sempit di sudut-sudut jalan di ibu kota.
Hal ini jauh berbeda dengan Singapura yang memiliki banyak peraturan bagi warga yang ingin mempunyai kendaraan pribadi. Manajer Komunikasi Land Transport Authority (LTA), Khrisna, menjelaskan, di Singapura banyak aturan yang membuat warganya berpikir terlebih dahulu untuk memiliki kendaraan pribadi.
Selain kebijakan pajak yang tinggi bagi kendaraan pribadi, usia kepemilikan kendaraan di Singapura juga dibatasi hanya 10 tahun.
"Izin untuk memiliki kendaraan pribadi di Singapura memang tidak mudah. Ada yang namanya Vehicle Quota System dan juga Preferential Additional Registration Fee (PARF)," kata Khrisna.
Vehicle Quota System atau sistem kuota kendaraan ini, lanjutnya, mengatur pertumbuhan kendaraan di Singapura sejak tahun 1990. Berdasarkan kebijakan ini, jumlah kendaraan baru yang berhak melakukan registrasi izin didasarkan pada data pertumbuhan kendaraan dan jumlah kendaraan yang sudah habis masa berlakunya.
Sementara PARF ini sudah dilakukan pada tahun 1975 yang bertujuan mendorong para pemilik kendaraan pribadi untuk membuang atau menyudahi pemakaiannya sebelum masa berlaku 10 tahun habis.
Biaya untuk PARF ini hampir sama dengan biaya untuk memiliki kendaraan baru lagi, sehingga banyak penduduk Singapura yang memilih untuk menyudahi pemakaian dan kemudian membeli baru.
"Jadi kendaraan yang di Singapura sebagian besar memang kendaraan baru, sehingga keamanan kendaraannya terjamin dan bebas polusi emisi gas buang," ujar Khrisna.
Tidak hanya itu, kebijakan electronic road pricing (ERP) juga membuat penduduk Singapura mempertimbangkan keputusannya untuk memiliki kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat.
Ditambah lagi, sulitnya mencari lahan parkir sehingga harus parkir di dalam gedung yang tarifnya tidak murah.
"Harus seperti itu. Jika tidak, maka kemacetan yang akan terjadi. Dengan banyaknya aturan itu, kami juga imbangi dengan pembangunan dan perbaikan transportasi massal tanpa henti," kata dia.
(Sumber: Korlantas, ToyotaAstra)