Mertua Jenderal TNI Andika: Tidak Boleh Ada Demokrasi di Tentara!

VIVA Militer: Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Abdullah Mahmud Hendropriyono (tengah)
Sumber :
  • Instagram/@prabowo

VIVA – Tak perlu diragukan lagi hebatnya kemampuan intelijen yang dimiliki oleh Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Abdullah Mahmud Hendropriyono. Mantan anggota satuan elite Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat ini berbicara soal bagaimana sepak terjang seorang intelijen, dan larangan adanya demokrasi di tubuh Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Dipantau VIVA Militer dalam acara Deddy Corbuzier Podcast, mantan Panglima Komando Daerah Militer Jayakarta (Pangdam Jaya) itu menjelaskan banyak hal mengenai kemampuan intelijen. 

Pria yang juga menantu Panglima TNI, Jenderal TNI Andika Perkasa, menyebut bahwa intelijen harus bisa masuk ke semua lini. Yang paling menarik perhatian adalah tentang fungsi intelijen itu sendiri, yang menurut Hendropriyono memiliki empat fungsi utama.

Empat fungsi intelijen adalah mencegah (preventive), mendahului (preemtive), menghindar (evading) dan memancing (eloxating). 

"(Intelijen) masuk ke semua lini, masuk ke individu. Di tentara ada intelnya sendiri, tapi fungsinya sama ada empat," ucap Hendro.

VIVA Militer: Jenderal TNI (Purn.) Abdullah Mahmud Hendropriyono

Photo :
  • Youtube

 

"Satu, fungsinya mencegah jangan sampai negara celaka. Kedua mendahului atau preemtif, yang ketiga menghindar (evading), yang keempat terakhir adalah memancing (eloxating)," katanya.

Saat memberikan contoh kasus, pria yang akrab disapa Hendro itu mengisahkan pengalamannya soal intelijen tempur saat masih aktif berdinas di dunia militer. Penjelasan Hendro ini dikhususkan pada fungsi ketiga, menghindar (evading).

Hendro mencontohkan, ada pasukan yang terlibat dalam pertempuran. Di satu sisi, ada pasukan yang posisinya lebih lemah dari pasukan musuh dan tersudut di bukit.

Hal yang harus dilakukan menurutnya adalah menghindar, untuk menyusun kembali kekuatan dan melancarkan serangan balik (counter attack). Akan tetapi, untuk bisa melakukan serangan balasan yang maksimal maka seorang prajurit harus ditinggal di area yang dikuasai musuh.

Prajurit ini harus bisa melakukan penyamaran sebaik mungkin, dan mengirim data informasi kepada satuannya. Tujuan pencarian dan pengumpulan data dan informasi tentunya untuk bahan perhitungan saat melancarkan serangan balasan.

Jenderal TNI Andika Perkasa dan Jenderal TNI (HOR) (Purn.) A. M. Hendropriyono

Photo :
  • Instagram/@diaz.hendropriyono

"Menghindar atau evading jadi kalau ada bahaya seperti kalau di tentara, musuh banyak menyerang kita yang ada di posisi kita di suatu bukit misalnya. Kita menghindar, tapi jangan lupa menghindar itu bukan berarti melarikan diri. Harus ada yang disebut stay behind the forces, harus ada orang yang ditinggal," jelas Hendro.

"Kita yang lain menghindar, yang ditinggal itu sendirian di situ untuk dia kasih informasi ke kita. Kita kan harus bikin serangan balas (counter attack). Serangan balas itu harus kita lakukan, dari mana kita tahu posisi musuh ada yang kita tinggal di situ," katanya.

Keputusan untuk meninggalkan seorang prajurit di area yang dikuasai musuh diambil oleh pimpinan, atau dalam hal ini komandan. Oleh sebab itu, Hendro menegaskan tidak boleh ada unsur demokrasi dalam dunia militer.

"Itu yang nunjuk komandan. Makanya kalau di tentara enggak boleh ada demokrasi, kalau ada demokrasi pada rebutan enggak mau," ujar mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) itu.