Kisah Jenderal Intel TNI Minum Air Bekas Tambal Ban Saking Hausnya
- marinir.mil.id
VIVA – Banyak orang yang tidak mengetahui kalau Korps Marinir adalah satuan elite tertua di jajaran Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tak sembarangan orang bisa menjadi anggotanya. Seorang prajurit TNI harus melewati perjuangan dan pendidikan keras untuk bisa menjadi bagian dari Korps Baret Ungu.
Kisah kali ini datang dari salah satu putra terbaik bangsa yang lahir dari satuan elite Korps Marinir, Mayjen TNI (Purn.) Buyung Lalana. Buyung bukan cuma tercatat sebagai anggota Marinir saja, tetapi juga satuan inti di Marinir, Batalyon Intai Amfibi (Yontaifibi).
Dirangkum VIVA Militer dari berbagai sumber, Buyung merupakan jebolan Akademi Angkatan Laut 1983. Sepanjang 33 tahun kariernya bersama TNI Angkatan Laut, pria kelahiran Bandung 8 Juli 1958 ini pernah menduduki sejumlah posisi penting.
Buyung sempat menduduki posisi sebagai Komandan Batalyon Intai Amfibi 1 periode 1998 hingga 1999. Kemudian pada 2006, Buyung dipercaya memegang jabatan Asisten Intelijen Komandan Korps Marinir (Asintel Dankormar) dan Wakil Komandan Pangkalan TNI Angkatan Laut I Komando Armada Barat (Wadan Lantamal I Koarmabad).
Setelah itu, Buyung ditunjuk menjadi Komandan Pasukan Marinir 2 yang berkedudukan di Gedangan, Sidoarjo, mulai 2012 sampai 2013. Kemudian pada 2013 hingga 2015, buyung berpindah tugas ke ujung timur Indonesia dengan jabatan sebagai Danlantamal XI/Merauke.
Pada 30 Maret 2015, Buyung mencapai puncak kariernya setelah dipercaya menduduki kursi Komandan Korps Marinir ke-20. Saat itu, Buyung menggantikan posisi yang sebelumnya dipegang oleh Mayjen TNI Achmad Faridz Washington.
Tak hanya itu, Buyung juga kenyang dengan pengalaman terjun dalam operasi militer. Tercatat Buyung ikut serta dalam Satuan Tugas Keris (1984) dan Satgas Sapu Jagat (1986) dii Timor-Timur. Setelah itu pada 1987, Buyung juga masuk tim pengamanan Presiden Soeharto yang tergabung dalam Satgas Cakra KTT Filipina.
Punya karier yang cemerlang, Buyung pun tentu sempat merasakan kerasnya pendidikan untuk masuk dalam Korps Marinir dan Batalyon Intai Amfibi.
Perlu diketahui, selama 10 bulan prajurit TNI Angkatan Laut calon anggota Yontaifib harus mengikuti sejumlah pendidikan baik materi kelas maupun materi lapangan. Salah satu latihan yang terkenal berat adalah berenang sejauh 3 kilometer dengan kondisi tangan dan kaki terikat.
Sebagai calon prajurit khusus yang menguasai kemampuan tempur dan intelijen, seorang anggota Yontaifib tentu tak cuma harus punya fisik dan mental yang prima. Namun, memiliki intelijen quotieny (IQ) yang tinggi.
Buyung bercerita, suatu ketika saat masih menempuh pendidikan ia pernah merasakan haus yang luar biasa. Di tengah rasa haus yang melanda, Buyung bahkan rela meminum air bekas tambal ban mobil dan motor.
"Saya pernah minum air untuk tambal ban di pinggir jalan Alas Purwo (Banyuwangi). Meski air itu siang harinya digunakan untuk mengetes ban mobil dan motor yang pecah, rasanya nikmat sekali karena begitu haus," kata Buyung.
Kerja keras dan perjuangan Buyung akhirnya akhirnya terbayar, saat ia dilantik menjadi anggota Batalyon Intai Amfibi. Dari sebagian kisah di atas, bisa dibayangkan bagaimana kerasnya pendidikan untuk masuk satuan elite ini. Dari ratusan prajurit yang mengikuti seleksi hanya ada puluhan yang lolos. Dari puluhan, mungkin kurang dari 10 orang yang lulus.