Cerita Anak Menteng Jadi Jenderal TNI Usai Ayahnya Dibunuh
- lemhanas.go.id
VIVA – Aksi biadab Partai Komunis Indonesia (PKI) yang menginisiasi Gerakan 30 September 1965 atau G30S/PKI, tak hanya menyisakan duka bagi keluarga para Perwira Tinggi (Pati) TNI Angkatan Darat yang menjadi korban. Namun, ada hikmah di balik peristiwa itu yang menjadikan sosok seorang Letjen TNI (Purn.) Agus Widjojo sebagai manusia yang lebih berkarakter.
Dalam pantauan VIVA Militer dalam video wawancara yang diunggah di sebuah akun Youtube, Agus mengisahkan bahwa sang ayah adalah salah satu korban peristiwa G30S/PKI. Ya, Agus adalah putra sulung Mayjen TNI (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo.
Agus mengisahkan bahwa saat peristiwa mengerikan itu terjadi, usianya masih 18 tahun dan baru saja lulus Sekolah Menengah Atas (SMA). Sebagai seorang remaja, Agus mengaku sama sekali tidak mengetahui penyebab mengapa ayahnya diculik.
Menurut keterangan purnawirawan TNI yang saat ini menduduki posisi Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), pada akhirnya ia tahu apa yang sebenarnya terjadi setelah membaca sejumlah artikel di surat kabat kala itu.
Agus mengakui, sang adik perempuannya sampai mengalami trauma panjang setelah tahu sang ayah diculik dan dibunuh oleh anggota PKI. Oleh sebab itu, mantan Komandan Brigade Infanteri Lintas Udara (Brigif Linud) 17/Kostrad, atau yang kini bernama Brigif Para Raide 17/Sakti Budi Bakti (SBB) mulai berpikir untuk berbuat sesuatu.
"(Usia saya) 18 tahun. Saya kan anak laki, anak laki kan biasanya rasional. Beda dengan adik saya perempuan, adik saya mengalami trauma yang cukup berkepanjangan," ucap Agus.
"Tapi saya anak laki-laki, kejadian itu pagi hari dan saya juga tidak tahu ini apa. Saya membaca peristiwa ini, saya ambil kesimpulan ini maslah serius dan saya harus menyiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan terjelek," katanya.
Sebagai seorang putra laki-laki sulung, Agus jelas memiliki tanggung jawab setelah sang ayah wafat. Sementara di sisi lain, ia dan keluarganya harus menerima kenyataan pahit. Agus mengakui saat itu ia lebih banyak menghabiskan waktu hanya untuk bermain-main.
Sementara setelah lulus pendidikan SMA dan sang ayah meninggal dunia, ada tanggung jawab berat menantinya. Sambil sedikit bercanda, Agus mengaku bahwa saat itu ia adalah anak Menteng, kompleks perumahan elite yang banyak dihuni oleh pejabat tinggi negara.
Oleh sebab itu, pada akhirnya Agus memutuskan untuk masuk ke Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) pada 1967. Agus menegaskan, keputusannya untuk masuk ke dunia militer adalah murni karena ingin memiliki masa depan dan bukan perasaan dendam terhadap PKI.
"Bisa dibayangkan, sebuah keluarga dengan saya yang sulung saja baru lulus SMA. Waktu itu tahun 65 kuliah itu sesuatu yang luar biasa. Saya pikir, saya mesti kuliah lima tahun sementara kerjaan saya cuma main-main saja. Anak Menteng," ujar Agus melanjutkan.
"Kalau saya sampai tidak selesai (kuliah) kan alangkah berdosanya saya. Jadi yang saya pikirkan adalah, bagaimana untuk mencari kepastian hari depan dan melatih karakter saya untuk menjadi seorang pribadi yang berkarakter. Oleh sebab itu saya putuskan untuk memilih pengabdian dalam olah keprajuritan, dan bukan karena dendam," katanya.
Agus sendiri adalah jebolan AKABRI 1970. Selain Agus, ada sejumlah nama besar yang juga merupakan teman satu angkatan Agus. Beberapa diantaranya adalah Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Luhut Binsar Panjaitan, dan mantan Menteri Agama, Jenderal TNI (Purn.) Fachrul Razi.