Dua Jenderal TNI Senior Pertanyakan Kesaptamargaan Gatot Nurmantyo

VIVA Militer : Mantan Panglima TNI Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo
Sumber :
  • Viva.co.id

VIVA – Nama Panglima TNI ke-19, Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmantyo belakangan ini santer menjadi perbincangan di jagad media sosial, terlebih lagi ketika Jenderal Gatot terlibat perdebatan sengit dengan Komandan Kodim 0504/JS Kolonel Inf Ucu Yustiana pada hari Rabu sore, 30 September 2020 di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan.

Kolonel Inf. Ucu yang saat itu tengah bertugas sebagai Satgas COVID-19 sempat dituding menghalang-halangi langkah Jenderal TNI (Purn) Gatot Nurmatyo bersama sejumlah purnawirawan jenderal TNI yang ingin melakukan deklarasi sekaligus ziarah ke makam para pahlawan revolusi di TMP Kalibata.

Padahal kedatangan Dandim 0504/JS itu ke lokasi TMP Kalibata tidak bermaksud menghalang-halangi seniornya, Jenderal Gatot Nurmantyo. Dalam rekaman video pendek yang beredar di media sosial Kolonel Ucu tampak ditunjuk-tunjuk oleh Jenderal Gatot sampai-sampai mantan Kasad ke-30 itu mengungkit Sapta Marga dan Sumpah Prajurit kepada Kolonel Inf Ucu Yustiana.

Dengan penuh hormat Kolonel Ucu menjelaskan maksud kedatangannya kepada mantan Panglima TNI itu. Kolonel Ucu mengatakan pihaknya tidak menghalangi para purnawirawan TNI yang notabene sebagai seniornya itu untuk datang berziarah di TMP Kalibata.

Tapi, Kolonel Ucu hanya meminta seluruh peserta ziarah agar tetap mematuhi protokol kesehatan dengan cara masuk bergerombol atau bergantian ke area pemakaman.

Insiden tersebut telah membuat dua orang jenderal purnawirawan TNI yang notabene sebagai senior Gatot Nurmantyo angkat bicara. Mereka adalah Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar dan Jenderal TNI (Purn) Moeldoko.

Mereka menyayangkan sikap Jenderal Gatot dan sejumlah para purnawirawan TNI lainnya yang terlihat sangat memaksa untuk masuk dan melakukan deklarasi di halaman TMP Kalibata itu.

Jenderal TNI (Purn) Agum Gumelar yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Purnawirawan Warakawuri TNI-Polri (PEPABRI) menyatakan, tidak seharusnya seorang mantan seorang Panglima TNI dan sejumlah purnawirawan TNI lainnya bersikap memaksa seperti itu. 

Menurut Agum, seorang purnawirawan meskipun dia sudah purna dari tugasnya tapi dia belum purna dengan pengabdiannya.

Dalam pengabdiannya sebagai seorang purnawirawan, lanjut Agum, seorang purnawirawan harus berpedoman dengan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit TNI.

"Mengenai insiden di TMP Pahlawan Kalibata kemarin, saya sangat prihatin ya. Itu sama sekali tidak mencerminkan seorang purnawirawan. Saya pikir kalau kita ingin melakukan tindakan di lapangan, yang pertama harus tertib.

Tertib itu artinya apa, harus ada izin yang lengkap, harus mengikuti peraturan yang berlaku, dan harus menghormati para petugas di lapangan TNI dan Polri. Mereka itu bertugas untuk menertibkan, mengamankan, jangan konfrontatif sama mereka, itu tidak bijak," kata Agum Gumelar dikutip VIVA Militer dari TV One, Jum'at, 2 Oktober 2020.

Mantan Danjen Kopassus ke-13 itu juga mempertanyakan hadirnya para purnawirawan yang mengenakan Baret Merah simbol pasukan Kopassus di Kalibata. Menurut Agum, ketika dirinya menjabat sebagai Danjen Kopassus, dia selalu menekankan agar seluruh prajurit komando dapat menjadi kebanggaan seluruh rakyat Indonesia, mencintai dan dicintai seluruh rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, bukan menjadi kebanggaan salah satu kelompok tertentu.

"Jadi cara-cara seperti kemarin itu, mohon maaf yaa, sebagai prajurit Baret Merah, saya sebagai mantan Danjen saya ingin koreksi, tidak seperti itu. Jangan terlalu murah meneriakkan Komando di tempat-tempat yang tidak tepat. Apa yang terjadi kemarin terus terang saya sebagai mantan Danjen Kopassus merasa agak kurang nyaman dengan apa yang dilakukan rekan-rekan purnawirawan Korps Baret Merah ini," katanya. 

"Untuk rekan-rekan purnawirawan ada Pak Gatot, di situ ada Pak Din, atau siapapun, saya sampaikan ketika saudara-saudara melakukan gerakan moral itu bagus dalam rangka mengawal bangsa ini ke depan, tetapi harus betul-betul gerakan moral, jangan menjadi suatu gerakan politik. Gerakan moral itu tentunya harus diikuti dengan moral yang tinggi," tambahnya.

Dalam kesempatan berbeda, Mantan Panglima TNI ke-18, Jenderal TNI (Purn) Moeldoko juga mempertanyakan hal yang sama. Jenderal Moeldoko mengatakan, setiap prajurit  maupun purnawirawan TNI harus terikat dengan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. Seharusnya pedoman itu menjadi pegangan kuat bagi seorang prajurit TNI hingga akhir hayatnya. 

"Tapi begitu seseorang pensiun, maka otoritas atas pilihan-pilihan itu melekat pada masing-masing orang. Kalau kepentingan tertentu itu sudah mewarnai kehidupan yang bersangkutan, maka saya jadi tidak yakin kadar Saptamarga-nya masih melekat seratus persen karena dipengaruhi kepentingan-kepentingan," kata Jenderal Moeldoko.

Lagi-lagi, Jenderal lulusan terbaik Akmil tahun 1982 itu sangat menyesalkan apa yang terjadi di TMP Kalibata pada hari Rabu kemarin. Menurutnya, sebagai seorang mantan Panglima TNI dan purnawirawan TNI dapat memberikan contoh yang baik kepada masyarakat luas tentang apa yang harus dipegang teguh dari Sapta Marga dan Sumpah Prajurit TNI selama ini.

"Kami, sesama purnawirawan, selalu mengingatkan. Imbauan bahwa mantan prajurit ya harus selalu ingat dan tidak bisa lepas begitu saja. Tapi sekali lagi, kalau itu berkaitan dengan kepentingan, tidak ada otoritas kita untuk bisa melarang. Masing masing sudah punya otoritas atas dirinya," ujarnya.