Kisah Letjen TNI S. Parman Gagal Jadi Dokter Hingga Mati di Tangan PKI
- 30 Tahun Indonesia Merdeka
VIVA – Indonesia takkan lupa dengan sosok seorang patrot bangsa sejati, Letjen TNI Anumerta Siswondo Parman. Pria kelahiran Wonosobo ini adalah salah satu perwira tinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang tewas dibunuh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) pada peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Menurut data yang dikutip VIVA Militer dari situs resmi TNI, Parman adalah sosok yang lahir dan dibesarkan dalam keluarga sederhana. Lahir di Wonosobo, 4 Agustus 1918, Parman ternyata punya cita-cita menjadi seorang dokter. Meskipun pada akhirnya, Parman justru menjadi seorang perwira tinggi yang terkenal dengan kecerdasannya.
Kromodiharjo, ayah Parman yang hanya bekerja sebagai pedagang di pasar Wonosobo, senantiasa memprioritaskan agar 11 anaknya bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Tak terkecuali Parman, yang pada 1942 sempat masuk ke Sekolah Tinggi Kedokteran (STOVIA) di Jakarta.
Cita-cita Parman untuk menjadi seorang dokter harus terhambat lantaran invasi Jepang ke Indonesia di tahun itu. Akan tetapi, di sini lah takdir Parman untuk menjadi seorang prajurit TNI mulai tercatat. Salah satu bukti kecerdasannya adalah menguasai dengan fasih Bahasa Inggris. Hingga pada satu saat di Wonosobo, Parman diminta seorang anggota Polisi Militer Jepang (Kempeitai) menjadi penerjemah.
Meskipun bekerja untuk Jepang, jiwa nasionalis Parman sama sekali tak luntur. Setelah Jepang menyerah pada 1945, Parman akhirnya memilih untuk ikut berperang gerilya selama Agresi Militer Belanda II (Operation Kraai) pada 1948.
Setelah Agresi Militer Belanda II, Parman pun diangkat sebagai Kepala Staf Polisi Militer di Yogyakarta pada 1945. Sebagai seorang yang cerdas, Parman mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan di Akademi Militer (Koninklijke Militaire Academie) Breda, Belanda.
Tak cuma itu, Parman juga sempat dikirim pemerintah Indonesia ke Sekolah Polisi Militer Amerika Serikat (US Military Police Corps School) di Fort Leonard Wood, Missouri, pada 1951. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Parman duangkat menjadi Komandan Polisi Militer Jakarta. Ia juga sempat ditunjuk sebagai atase militer Kedutaan Besar Indonesia untuk Inggris.
Pada Agustus 1964, Parman mendapatkan promosi pangkat menjadi Mayor Jenderal (Mayjen) dan bertugas sebagai Asisten I Menteri Panglima Angkatan Darat (Men Pangad) di bidang Intelijen. Saat menduduki posisi itu, Parman jadi salah satu perwira tinggi yang paling keras menolak pembentukan Angkatan Kelima oleh PKI. Akibatnya, nama Parman pun masuk dalam salah satu target pembunuhan.
Benar saja, Parman pun tak luput dari aksi penculikan gerombolan PKI pada 1 Oktober 1965. Parman diciduk di rumahnya Jl. Syamsu Rizal, Menteng, Jakarta Pusat dini hari. Bersama keenam perwira lainnya, Parman dibawa ke Lubang Buaya untuk kemudian dieksekusi mati oleh gerombolan PKI.
Setelah meninggal, Mayjen Parman mendapat kenaikan pangkat satu tingkat menjadi Letnan Jenderal Anumerta TNI. Untuk mengenang jasanya sebagai salah satu Pahlawan Revolusi, nama Parman diabadikan menjadi nama salah satu ruas jalan utama di Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta.