Kisah Pertempuran Sengit Laksamana TNI Menahan Gempuran Belanda

VIVA Militer: Laksamana Raden Eddy Martadinata
Sumber :

VIVA – Saat zaman kemerdekaan, masih banyak individu-individu yang bersaing karena ingin menjadi pemimpin. Termasuk di dalam Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI). Di dalam tubuh militer itu terdapat dua pemimpin, yaitu pemimpin yang berada di Yogyakarta dengan yang berada di Malang.

Untuk meredam suasana panas itu, Raden Eddy Martadinata mengajak keduanya untuk mengadakan musyawarah. Karena perjuangan yang sebenarnya adalah untuk membela kepentingan negara dan bangsa. 

Sehingga Eddy meminta untuk menjauhkan sifat ambisi pribadi yang tidak bermanfaat. Sejak saat itu, pada bulan Maret 1947, Eddy memimpin langsung Pendidikan Latihan Kilat Opsir di Kalibakung dekat Tegal.

Menurut catatan sejarah yang dihimpun VIVA Militer dari Museum TNI Sabtu 5 September 2020, pelajaran yang diberikan Eddy adalah mengenai matra laut dan pendidikan budi pekerti. Pendidikan budi pekerti ini tujuannya untuk meninggikan moral prajurit, terutama bila ia berada di daerah pertempuran.

Ketika Belanda melancarkan agresi militer pertamanya pada bulan Juli 1947, pangkalan ALRI yang berada di Pulau Jawa digempur. Melihat ini, pria kelahiran 1921 segera mengeluarkan perintah kepada guru dan siswa-siswanya.

Ia meminta agar semua pasukan untuk membentuk pertahanan. Pasukan itupun dipimpin langsung R.E. Martadinata. Saat Belanda menyerang pasukan Eddy di Kalibakung pada 25 Juli 1947, pertempuran pun sengit. Tapi pihak ALRI harus kehilangan dua siswanya yang gugur dalam peperangan itu.

Tentara Belanda kerap kali melakukan serangan dan menaruh pengawasan penuh atas kegiatan di Kalibakung. Ini terjadi karena banyaknya pelaut dari Tegal yang membantu wilayah itu. Belanda yang tidak tinggal diam, meluncurkan serangan udara pada 3 September 1947.

Karena Belanda sudah melancarkan serangan udara, maka situasi ini dinilai tidak aman bagi Eddy. Sehingga ia mengungsikan keluarganya ke Yogyakarta. Meski keluarganya berada di Yogya, Eddy tetap berada di tengah pasukan untuk bertempur bersama pasukannya.

Selama agresi militer pertama Belanda, pria asal Bandung itu terus bergerilya di daerah sekitar Tegal dan Pekalongan. Ini membuat Wonosobo menjadi daerah untuk konsolidasi.

Setelah itu, Eddy ditarik kembali ke MBU-ALRI yang berada di Yogyakarta. Tapi itu tak berlangsung lama karena kepemimpinan ALRI digantikan R. Soebijakto. Kemudian Eddy diperintahkan kembali untuk memimpin pasukan di Kalibakung.

Pendidikan yang dipimpinnya itu berganti nama menjadi Basic Special Operation (BSO). Tempat pendidikannya pun juga dipindahkan ke Sarangan, tapi hanya siswanya saja yang masih tetap sama.

Sebanyak 30 siswa yang menempuh pendidikan di Kalibakung, pindah ke Sarangan. Semua siswa Eddy berhasil menamatkan pendidikan pada bulan Oktober 1948.