Bahaya Perang Indo-Pasifik, TNI AL Wajib Maksimalkan Fungsi Intelijen
- Head Topics
VIVA – Situasi yang terjadi di Laut China Selatan semakin tak bisa diprediksi. Saling balas aksi unjuk kekuatan militer dilakukan China dan Amerika Serikat (AS) di kawasan tersebut. Tak ayal, sejumlah negara Asia Tenggara berada dalam bahaya jika konfrontasi militer China dan Amerika terjadi di wilayah itu.
Seperti yang diketahui, Amerika geram dengan sederet perilaku arogan Tentara Pembebasan Rakyat China (PLA) di Laut China Selatan. Sejak awal 2020, sejumlah insiden terjadi di kawasan perairan internasional dan didalangi oleh China.
Dalam laporan VIVA Militer yang dikutip dari Nikkei Asian Review pasa April 2020, ada banyak insiden di Laut China Selatan yang didalangi oleh militer China.
Penenggelaman kapal ikan berbendera Vietnam dan ancaman yang dilancarkan kapal perang Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat China (PLAN), adalah bukti ambisi China untuk menguasi Laut China Selatan.
Tak cuma itu, China juga mengklaim dua wilayah kepulauan, Kepulauan Sparatly dan Kepulauan Paracel. Kemudian, ada pelayaran ilegal yang dilakukan kapal riset China yang masuk ke wilayah Malaysia.
Amerika juga gerah dengan latihan militer China yang digelar awal bulan ini, dan menyebut Negeri Tirai Bambu sudah melanggar hukum internasional. Tak cuma itu, lewat Departemen Pertahanan (US Departement of Defense) Amerika dengan tegas menyebut China telah merugikan negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
"Latihan militer (China) adalah yang terbaru dari serangkaian tindakan yang panjang, untuk menegaskan klaim kelautan yang melanggar hukum, dan merugikan negara-negara Asia Tenggara," bunyi pernyataan Departemen Pertahanan Amerika," dikutip VIVA Militer dari South China Morning Post.
Di sisi lain, China tetap merasa bahwa tindakan yang dilakukan militernya di Laut China Selatan adalah bagian dari mempertahankan kedaulatan negara. China malah berbalik menuduh Amerika telah membuat isu palsu dan membuat ketegangan di Laut China Selatan.
"(Latihan militer di Laut China Selatan) tidak ditargetkan kepada negara atau tujuan tertentu. Maksudnya adalah untuk secara efektif meningkatkan kemampuan pertananan Angkatan Laut China, dan secara tegas mempertahankan keamanan dan kedaulatan negara kami, serta menjaga perdamaian dan stablitas regional," bunyi pernyataan Kementerian Pertahanan China.
Jika situasi antara China dan Amerika terus memanas, bukan tak mungkin perang kedua negara meletus di Laut China Selatan. Itu berarti, negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia akan terkena imbasnya.
Sebuah laporan yang dikutip VIVA Militer dari Modern Diplomacy, menyebut bahwa Indonesia, khususnya Tentara Nasional Angkatan Laut (TNI AL), wajib melakukan langkah-langkah strategis sebagai upaya pencegahan.
Salah satunya adalah memaksimalkan dan memperluas fungsi intelijen, dari yang tadinya hanya intelijen laut, menjadi intelijen maritim.
Selain itu, Indonesia lewat Kementerian Pertahanan juga harus membangun sejumlah infrastruktur dasar dan fasilitas untuk pemeliharaan kapal-kapal perang. Hal ini harus dilakukan untuk mendukung efektivitas peran Komando Armada (Koarmada) III, yang baru diresmikan pada 2018 lalu.
Sebab, ada anggapan bahwa kekuatan armada tempur TNI AL sebelumnya hanya bergantung pada Komando Armada Barat (Koarmabar) yang kini menjadi Koarmada I, dan Komando Armada Timur (Koarmatim), yang kini menjadi Koarmada II.
BACA: Kolonel Maulwi Saelan, Prajurit TNI yang Berani Menantang Rusia
BACA: Perbandingan Kekuatan Perang Mesir Vs Turki, Siapa Lebih Ngeri?