Terima Info Intelijen, Jenderal Kirilov Ungkap Siasat Ukraina Gunakan Senjata Kimia
- reuters.com
VIVA – Komandan Pasukan Perlindungan Nuklir, Biologi dan Kimia militer Rusia, Letnan Jenderal Igor Kirilov, mengungkap fakta jika Ukraina sedang membuat rencana untuk menggunakan senjata kimia dalam perang.
Pernyataan Kirilov ini diungkap dalam pengarahan kepada sejumlah awak media, terkait tugas yang dilakukan oleh unitnya. Khususnya dalam perang di Ukraina.
Menurut Kirilov, saat ini militer Ukraina terus berupaya untuk meningkatkan penggunaan senjata kimia. Yang terbaru adalah pembuatan peluru khusus yang kompatibel, digabungkan dengan sistem artileri kiriman negara-negara Barat.
Informasi strategi yang sedang dibuat oleh Angkatan Bersenjata Ukraina (AFU), diklaim Kirilov diterima dari unit intelijen operasi militer Rusia.
Unit intelijen disebut Kirilov berhasil merebut sebuah dokumen, yang ternyata berisi tentang siasat penggunaan senjata kimia.
Jenderal Igor Kirillov memberi pengarahan kepada media mengenai pekerjaan yang dilakukan oleh divisinya dalam konteks konflik Ukraina. Ia mengatakan pasukan Kiev tetap menjadi ancaman dalam hal pelanggaran Konvensi Senjata Kimia (CWC).
"Intelijen operasi menunjukkan bahwa pasukan Ukraina sedang mempersiapkan peluru kimia yang kompatibel dengan sistem artileri buatan Barat," ujar Kirilov dilansir VIVA Militer dari Russia Today.
Kirilov juga membagikan beberapa halaman dari buku panduan Ukraina, terkait penggunaan howitzer self-propelled (meriam bergerak sendiri) M109 155mm rancangan Amerika Serikat (AS), dalam konfigurasi A3GN dan A4.
Dalam buku panduan tersebut berisi petunjuk dan penjelasan tentang cara membedakan serta menangani amunisi dengan muatan kimia.
Kirillov mengatakan para ahli senjata kimia Rusia telah mengidentifikasi lebih dari 400 kasus senjata terlarang, yang diduga digunakan militer Ukraina selama konflik yang sedang berlangsung.
Di antara bukti-bukti tersebut, ditemukan antara lain pengiriman sekitar 500 ton Triethanolamine (TEOA) ke Ukraina.
"Pada bulan Juli (2024) saja, sebuah perusahaan Ukraina mengimpor lebih dari 160 ton senyawa tersebut, dan Rusia tidak menemukan bukti bahwa bahan kimia tersebut dimaksudkan untuk tujuan damai, kata Kirillov melanjutkan.
"Saya ingin mengingatkan Anda bagaimana pembelian bahan kimia serupa oleh Suriah menyebabkan kegemparan di antara negara-negara Barat," ujarnya.