Di Amerika, Penyebab Hillary Clinton Kalah Itu Hoax
- VIVA/M Ali Wafa
VIVA – Nama Dino Patti Djalal dalam masalah hubungan luar negeri tak perlu diragukan. Sebagai anak diplomat, Dino kenyang menjalani hidup di berbagai negara. Ia meniti karier sebagai seorang diplomat di Kementerian Luar Negeri RI sejak tahun 1987. Kariernya melesat cepat.
Dino mendapat penugasan di berbagai negara. Tahun 2004, ketika Susilo Bambang Yudhoyono diangkat menjadi Presiden RI, Dino mendampingi SBY sebagai Staf Khusus Hubungan Luar Negeri. Ia menjadi Juru Bicara Presiden, Penasihat Hubungan Luar Negeri, dan penulis naskah pidato untuk SBY. Selama enam tahun ia menjalani tugas tersebut.
Tahun 2010 hingga 2013, Dino ditugaskan sebagai Duta Besar RI di Amerika Serikat. Ia sukses meningkatkan hubungan RI-AS, dari hubungan bilateral menjadi hubungan kemitraan komprehensif. Tahun 2014, Dino dipercaya memegang jabatan sebagai Wakil Menteri Luar Negeri.
Di tengah kesibukannya menjalani profesi sebagai Diplomat, Staf Khusus, Duta Besar, dan akhirnya Wakil Menteri Luar Negeri, Dino mampu meluangkan waktu menulis buku. Ia sudah menghasilkan sembilan buku, dan nyaris semuanya best seller.
Kini, meski sudah tak lagi menjabat di Kementerian Luar Negeri, pria kelahiran 10 September 1965 ini tetap peduli pada komunitas Indonesia di luar negeri. Ayah tiga anak yang memiliki follower lebih dari 250 ribu di Twitter ini adalah orang yang mempopulerkan kata 'diaspora Indonesia.'
Menjelang Pemilu, kepedulian Dino pada negeri ini dan pada diaspora Indonesia membuatnya tergerak membuat website "Know Your Caleg." Sebab, salah satu hal yang membuat diaspora tak peduli pada wakilnya di DPR RI adalah karena tak ada informasi yang cukup tentang mereka. Sementara bagi Caleg, berkampanye langsung ke negara-negara di mana para diaspora berada, jelas butuh biaya besar.
Atas dasar itu, Dino menjadi jembatan bagi mereka. Mimpinya banyak, salah satunya ia ingin negeri ini punya badan yang khusus mengurusi diaspora Indonesia. Tujuannya, agar mereka yang sudah sukses di negara orang mampu berkontribusi tanpa halangan dan memberi banyak hal demi kemajuan negeri ini. Seperti apa mimpi Dino Patti Djalal, simak wawancaranya dengan VIVA di bawah ini:
Apa tujuan Anda membuat program Know Your Caleg?
Pertama karena berapa kali saya bertemu dengan teman-teman diaspora, mereka banyak yang bertanya, "Pak wakil kita siapa di DPR RI sih?" Mungkin kalau misalkan Pak Hidayat Nurwahid orang sudah banyak kenal semua, mungkin ya. Tapi (caleg) yang lain itu banyak yang ditanyakan juga oleh teman-teman diaspora kita. Mereka siapa ini sebenarnya? Dan banyak yang ditanya oleh teman-teman diaspora kan, kok kami tidak banyak mendengar informasi soal mereka. Artinya ada kesan bahwa mereka secara psikologis dan secara politis merasa jauh dari wakilnya di DPR RI. di lain pihak saya juga melihat, oke kalau diaspora mau tahu siapa calegnya, apakah calegnya ada waktu untuk menyapa mereka. Nah ternyata para caleg-caleg itu banyak yang tidak ada platformnya.
Contohnya seperti apa?
Misalnya, kalau di KPU itu ada nama-nama calegnya saja kan, tapi kalau diaspora mau tahu mereka siapa? Apa gagasannya, segala macamnya itu tidak ada kan. Nah, dari sana saya mulai berpikir, bagaimana kalau kita coba menciptakan suatu platform yang mendekatkan diaspora dengan caleg-caleg kita. Akhirnya, kita buat suatu website yang netral dan independen yang khusus untuk memuat pandangan dan profil semua caleg Dapil luar negeri dan ini bisa diakses oleh semua teman-teman diaspora.
Apa latar belakang pemikiran ini?
Program ini kan sebenarnya learning by doing, dan ternyata kita juga mendapatkan banyak manfaatnya. Manfaat ini yang kita tahu dari caleg-caleg juga, bahwa caleg-caleg itu kan tidak semuanya punya banyak uang untuk sosialisasi ke luar negeri kan. Misalnya, sosialisasi ke Belanda misalnya, biayanya mahal banget. Tapi walaupun mereka bisa ke luar negeri juga, ini pengalaman saya pribadi nih, ada caleg yang ingin ke Belanda dan minta bantuan saya. "Din, bantuin gue dong. Temuin gue dengan teman-teman diaspora di Belanda dong.' Tadinya saya mau bantu, tapi akhirnya saya pikir susah ini. Kenapa? Misalnya saya punya kenalan satu orang di Belanda katakanlah Ahmad gitu ya, tapi Ahmad belum tentu mau bantu. Kenapa?
Pertama dia kan merasa tidak kenal sama calegnya. Terus kedua, kalau misalkan dia mau bantu, dia paling bisa mengumpulkan 20 orang untuk datang ke rumahnya. Sebab, sewa hotel sudah pasti mahal biayanya, jadi mana bisa mendatangi seribu orang di sana. Kan tidak mungkin. Nah, ini masalah yang sama di mata seluruh caleg dapil luar negeri. Ternyata tidak semua caleg yang bisa sosialisasi ke luar. Dan kalau pun bisa orang itu tidak akan bisa menarik lebih dari 50 orang, kan gitu. Jadi akhirnya kita berpikir, bagaimana kalau kita bikin platform, jadi mereka tidak perlu keluar,tetapi mereka tetap dapat kesempatan mempromosikan diri.
Artinya memang selama ini diaspora yang berada di luar negeri itu merasakan ada kesenjangan dengan caleg-caleg yang mewakilinya di DPR RI?
Iya, iya. Sangat. Dan Alhamdulillah yang saya dapatkan dari sini itu, ternyata banyak yang bagus semua, cuma saya tidak tahu siapa mereka sebelumnya, dan dia juga tidak pernah mendapatkan kesempatan (untuk sosialisasi) padahal bagus lho. Komitmennya besar. Saya tidak perlu sebutkan nama-nama nya, tapi dia tahu mengenai isu-isu, dan kelihatan lah kalau dia jadi wakil rakyat bisa lumayan mewakili teman-teman diaspora di parlemen. Nah, untungnya saya bisa ketemu dia.
Apakah caleg itu bersedia menyampaikan visi misi di program ini?
Alhamdulillah sebagian besar bersedia. Mereka merasa terbantu dengan adanya platform ini. Tapi ada juga caleg yang posternya bertebaran di mana-mana, tapi setelah saya minta untuk datang dia tidak pernah respons, saya tidak perlu sebut namanya, sudah gampang ditebak itu. Posternya di mana-mana dia, sudah berkali-kali kita hubungi. Akhirnya kita give up. Karena kita ada batasnya juga kan, kita mengundang, bukan mengemis. Dia tidak mau datang, dan sama sekali tidak mau ikut. Padahal poster di mana-mana di Jakarta ini. Jadi memang ada caleg yang strateginya itu adu poster saja, uangnya banyak, adu poster, tapi ketika diminta pandangan substantif, tidak bersedia.
Ini inisiatif Anda sendiri dan benar-benar tidak ada campur tangan dari KPU RI atau pihak lain?
Iya. Justru KPU baru tahu kemudian. Setelah ini jadi, baru kita lapor ke KPU. Dan Pak Arief mengapresiasi, dia bilang bagus ini. Jadi ini memang independen.
***
Sejauh ini bagaimana respons caleg dan diaspora sendiri terhadap program Know Your Caleg ini seperti apa?
Kalau respons caleg, kan tadi saya bilang bahwa ini learning by doing, dan ternyata terkuak (caleg) yang serius 30 persen. Dan ternyata terkuak juga ada istilah calon administratif, yang kalau saya plesetin caleg iseng, hehehe.
Maksudnya caleg iseng?
Misalnya partai politik dapat tujuh slot, yang serius satu atau dua paling, yang lain gengsi mungkin ya. Mungkin hanya taruh nama doang. Ada satu nama yang kita telepon. Kita cari nama belakangnya, nomor teleponnya enggak ada, bahkan DPP partai pun tidak bisa kasih tahu. Jadi caleg iseng atau caleg administratif cukup banyak. Dan caleg yang tidak serius, dalam arti mereka mau dipilih oleh diaspora untuk mendapatkan vote, tetapi tidak mau bekerja meyakini diaspora, gitu.
Jadi saya lihat yang 30 persen ini so far yang serius, bahkan ada kategori agak over seriusnya, dalam arti hari pertama itu kita diteleponin, minta waktu, dan lain sebagainya. Saya tidak usah sebutkan namanya ya, tapi saya senang melihat yang seperti itu.
Selama ini sebenarnya bagaimana proses sosialisasi Pemilu di luar negeri?
Melalui KBRI, melalui PPLN. Dua itu yang paling dominan melakukan sosialisasi. Biasanya sih waktu saya masih jadi Dubes dulu itu, prosedurnya yang normal-normal saja. Misalnya ada satu malam yang mengundang semua WNI yang ada di sana. Tapi memang harus diakui terbatas sekali memang. Karena kalau mengundang itu, saya misalnya mengundang ke KBRI, sekitar 200 orang yang datang dari puluhan ribu WNI kita yang tinggal di sana. Kan mungkin dia kerja atau ada kesibukan apalah, jadi memang terbatas sekali memang, makanya partisipasi di luar negeri itu kan hanya 34 persen.
Kira-kira dengan adanya program "Know Your Caleg" ini ada potensi meningkatkan partisipasi pemilih di luar negeri?
Potensi ada. Masalahnya bagaimana mendongkrak awareness mengenai hal ini. Kita sekarang itu umumnya sosialisasi melalui tokoh, melalui ormas, melalui individu, WhatsApp, dan melalui selebriti juga sudah mulai. Dan sekarang kita sudah sampai tahap mengirim WhatsApp kepada teman-teman, dan meminta teman-teman juga mem-blast. Sekarang sudah ada 15 negara yang melihat website kita. Kemarin saya naik pesawat dari Malaysia, ketemu orang. Dia bilang ke saya, oh Pak Dino ya, saya kemarin sudah lihat website-nya pak. Saya tanya dari mana dapatnya, dari PPI Malaysia. Jadi sudah menyebar ini.
Selama ini bagaimana caleg Dapil luar negeri menyosialisasikan diri?
Strugling banget. Seperti yang saya ceritakan tadi soal Belanda. Bahkan misalnya ada orang kaya dari Indonesia mau nyaleg dan mau datang ketemu WNI di LA, enggak ada yang datang itu. Kecuali kalau Anda datang bawa artis, kecuali Anda orang terkenal betul seperti Ahok, Jokowi, ramai itu orang yang datang di LA. Kalau caleg orang masih belum tertarik betul, tapi kalau capres banyak yang tertarik.
Ini problem awareness mereka atau memang karena mereka tidak tertarik pada caleg?
Kalau caleg kurang laku, to be honest. Tapi kalau capres laku banget. Mereka tahu semuanya tentang capres. Bahkan cenderung emosi kalau melihat persaingan antar pendukung capres. Misalkan, di Washington DC ada yang foto mendukung pasangan 01, itu besoknya ada lagi tuh yang foto di tempat yang sama mendukung pasangan 02. Jadi sampai seperti itu kalau capres. Tapi memang selama ini caleg mungkin kurang terekspos ya. Makanya itu juga yang saya khawatirkan, nanti mereka tanggal 8-13 April melakukan pencoblosan di luar negeri, mungkin mereka bisa dipastikan tidak bingung mencoblos capres, apakah itu 01 atau 02. Tapi justru mereka akan bingung dengan 105 caleg DPR RI Dapil luar negeri. Akhirnya mereka asal coblos.
Dulu banyak yang asal coblos, kecuali memang satu dua orang yang memang kenal.Tapi itu hanya satu dua orang, sisanya asal coblos. Setelah coblos mereka keluar, setelah keluar karena mereka asal coblos sudah lupa siapa yang dicoblos. Dan setelah itu lupa dengan akuntabilitas, bahwa orang yang terpilih itu harus akuntabel terhadap pemilih. Makanya mengenai caleg diaspora, saya ingin perubahan budaya politik.
Perubahan seperti apa yang Anda harapkan?
Pertama caleg harus memosisikan diri sebagai caleg diaspora. Artinya, dia tidak mungkin menang kalau tidak ada dukungan dari diaspora. Kedua, begitu terpilih dia harus memperjuangkan kepentingan diaspora. Apa itu? Terserah, dia harus tanya ke teman-teman diaspora, apakah itu isu soal budaya, generasi kedua, kuliner, apapun itu, termasuk masalah Dwi Kewarganegaraan.
Ketiga, kalau dia sudah terpilih dan diperjuangkan, dia harus akuntabel. Jadi nanti setelah empat tahun dia harus menjelaskan, apa saja yang sudah dia perjuangkan untuk kepentingan diaspora. Nah, hal-hal yang seperti ini yang selama ini terlewat. Wakil yang duduk tidak merasa utang apa-apa terhadap diaspora. Dan tidak merasa dia harus memperjuangkan diaspora.
Contohnya seperti apa?
Ini salah satu contoh ya, Dwi Kewarganegaraan. Dwi Kewarganegaraan itu kalau saya keliling ke Australia, Amerika, ke Eropa, itu isu nomor satu. Saya mau ngomong yang lain, mereka selalu menanyakan, Pak Dwi Kewarganegaraan ini gimana? Ironisnya, selama bertahun-tahun tidak ada satu pun anggota DPR yang berani menyentuh isu itu.
Nah, sekarang ini kita ubah. Jadi kalau caleg yang mau masuk ke sini, dia harus menjawab pertanyaan wajib dari diaspora. Mungkin posisi caleg ketika ditanyakan bisa jawab YES atau NO, tapi jelas. Dan teman-teman diaspora juga tahu caleg-caleg siapa yang mau jawab pertanyaan mereka, siapa yang memahami isu yang berkaitan dengan mereka. Dan secara mengejutkan, cukup banyak yang bilang YES. Dan pertama kalinya ada caleg yang mendukung isu Dwi Kewarganegaraan.
Kenapa isu Dwi Kewarganegaraan cenderung tidak dibawa oleh wakil rakyat di DPR?
Karena sensitif. Ada persepsi kalau mendukung isu itu, tidak nasionalis.
Padahal itu isu yang urgent bagi diaspora?
Iya, bagi diaspora itu nomor satu, terutama untuk diaspora yang dominan tinggal di negara barat. Tapi mungkin bagi TKI di Malaysia itu lain isunya.
Apakah mereka (diaspora) tak mencari tahu sendiri tentang para caleg?
Kalau diaspora tahu, misalnya caleg A itu adalah salah satu caleg yang akan dia pilih, baru dia akan mencari tahu tentang caleg A. Tapi kalau dia tidak tahu, dia tidak akan mencari tahu. Makanya dengan adanya platform seperti ini dapat membantu diaspora untuk lebih mengenal calon wakilnya di parlemen. Dan ini juga dapat membantu para caleg untuk sosialisasi kepada diaspora. Apalagi platform ini adalah satu-satunya website platform caleg yang ada selama ini.
Atau minimnya informasi tentang caleg jadi penyebab minimnya partisipasi diaspora dalam memilih?
Iya, kira-kira begitu. Karena memang banyak sekali diaspora yang tidak memiliki pengetahuan atau informasi tentang caleg-caleg yang ada. Tapi saya berharap ke depan ini bisa meningkatkan partisipasi pemilih di luar negeri. Karena dari sekarang kita sudah mulai pancing pandangan caleg juga dengan pertanyaan-pertanyaan, siapa (caleg) yang punya pandangan tentang Dwi Kewarganegaraan. Itu saja orang sudah mulai mencari tahu tuh.
Apa bukan karena apatisme politik hingga partisipasi mereka rendah?
Ada juga sih memang. Tapi kalau kita lihat dari pengalaman 2014, itu cukup seru juga. Terutama Pilpres. Kalau Pileg memang enggak terlalu begitu juga ya.
Jika diinventarisasi, apa saja yang menyebabkan partisipasi diaspora sangat rendah?
Sosialisasi terkait pemilu, kemudian pandangan atau latar belakang caleg, terus apatisme itu tadi, terus juga karena kesibukan mereka sendiri.
Atau mungkin merasa merasa ada jarak dengan urusan dalam negeri?
Kelompok-kelompok itu pasti ada. Tapi yang uniknya kalau saya lihat dari diaspora itu, pertama keindonesiaannya tinggi, kedua mereka selalu mengecek berita di tanah air. Misalnya waktu saya Dubes di Amerika, saya selalu dapat kiriman link berita dari diaspora. Isu korupsi mereka pertanyakan juga. Kenapa di Indonesia sekarang banyak yang ketangkap karena korupsi, dan sebagainya. Jadi saya banyak dapat berita seperti itu dari diaspora lho. Jadi mereka bangun tidur langsung mengecek berita dari tanah air.
***
Sejauh pengamatan anda, bagaimana antusiasme diaspora terhadap Pemilu 2019?
Kalau mengukurnya agak susah karena tidak ada survei, tidak ada polling. Tapi kalau secara anekdot cukup tinggi. Jadi ketika saya kemarin ke Malaysia, Singapura, orang kalau ngomong ya mengenai Pemilu. Orang Jakarta datang ketemu WNI atau diaspora, yang diomongin sesama mereka ya tentang Pemilu. Jadi kalau menurut saya antusiasmenya tinggi. Umumnya diaspora yang saya temui mereka bilang, saya akan memilih.
Antusiasme tinggi itu lebih kepada Pilpresnya atau Pilegnya?
Ke Pilegnya kalau menurut saya cukup meningkat, meskipun nanti baru bisa kita uji ketika pemilihan nanti. Dan justru dengan program ini kita ingin diaspora itu sadar nanti kamu itu bukan hanya pilih presiden, tapi juga memilih caleg. Dan pilihan kamu itu secara langsung akan memengaruhi kualitas demokrasi dan kualitas pembangunan kita. Kalau yang kamu pilih orangnya brengsek, nanti pembangunan kita akan terpengaruh dalam diskusi kebijakan undang-undang di DPR. Kualitas demokrasi kita juga akan terpengaruh.
Sebenarnya apa yang Anda perjuangkan sehingga mau bersusah payah membuat website agar para caleg ini mempromosikan diri ke diaspora?
Saya merasa ada tanggung jawab moral. Sejak tahun 2012 kan mulai gerakan dan munculnya istilah diaspora pertama kali di Indonesia. Ketika itu banyak orang yang bertanya, apa itu diaspora? Bahkan pemerintah sekali pun bertanya diaspora itu apa? Jadi Alhamdulillah diaspora sudah menjadi kata yang baku sekarang ini, diaspora Indonesia. Dan sudah ada kongres diaspora Indonesia juga. Sejak itu saya merasa selalu ada tanggung jawab moral terhadap komunitas diaspora. Dan saya berpikir, mungkin dengan adanya konsep caleg diaspora ini, the political games will change, dinamikanya akan berubah antara hubungan diaspora dengan caleg.
Perubahan apa yang terasa?
Walaupun ini baru sebulan, kelihatan sekali nilai diaspora di mata caleg itu berubah, terutama caleg yang ikut di sini. Mereka benar-benar mempelajari pertanyaan-pertanyaan kita lho. Padahal pertanyaan itu sulit. Jadi bukan sekadar mempertanyakan soal Dwi Kewarganegaraan saja. Tapi isu apa yang akan Anda perjuangkan? Kemudian apa yang akan Anda lakukan untuk diaspora? Kemudian bagaimana solusi Anda terkait generasi kedua diaspora? Terus kalau ada misalnya WNA Indonesia yang meninggal dunia, terus dia mau dikubur di Indonesia gimana, kalian setuju atau tidak? Sulit kan pertanyaannya. Dan itu pertanyaan yang emosional sekali bagi diaspora.
Jadi kalau ada WNI kita yang sudah tua tinggal lama di Amerika misalnya, ketika dia meninggal dia maunya dikuburkan di Indonesia bersama keluarganya, maunya dikubur di tanah airnya misalnya, dan itu cukup banyak yang seperti itu. Tapi secara regulasi tidak bisa, karena dia sudah warga negara asing. Tapi kalau menurut saya kan, waduh ini bukan masalah hukum, ini kan masalah kemanusiaan, dia ingin dimakamkan di tanah airnya, bersama keluarganya. Saya kan juga punya keluarga banyak sekali yang tinggal di Amerika, dan saya pasti juga akan marah sekali kalau misalnya keluarga saya tidak boleh dimakamkan di Indonesia. Karena ini kan tanah air kita. Nah itu ditanyakan lho, kepada caleg-caleg kita.
Sistem politik di parlemen kita ini ada yang namanya reses anggota dewan ke dapil-nya. Selama ini, anggota dewan yang dapil luar negeri itu bagaimana? Apakah ketika reses mereka datang menemui konstituennya di luar negeri?
Pasti ada. Karena itu sudah bagian dari budaya politik anggota DPR kan, mereka setiap tahun harus ke luar negeri. Dan by the way, itu juga menjadi salah satu pertanyaan kita. Pertanyaannya itu, kalau nanti anda ke luar negeri isu apa yang ingin anda pelajari sebagai anggota DPR di luar negeri? Tapi kalau saya sih, to be honest, itu yang paling perlu di reformasi, kunjungan DPR ke luar negeri. Karena saya tahu sekali, kan saya banyak menerima anggota DPR ke luar negeri.
Pertama fasilitasnya terlalu banyak, kedua akuntabilitasnya lemah, jadi ke luar negeri itu lebih pada untuk ke luar negeri saja, jalan-jalan. Dan saya ingat waktu saya di Amerika itu, saya kasih instruksi ke staf saya, kalau ada kunjungan harus ada standarnya gitu, dia harus ketemu berapa orang misalnya. Lalu dia harus ini, harus itu, jadi saya juga menerimanya enak. Karena saya pernah menerima kunjungannya tercatat beberapa hari, pertemuannya cuma sekali. Sisanya ya jalan-jalan. Dan itu banyak sekali uang yang ke luar, bisa ratusan juta yang ke luar untuk satu orang.
Apa mereka minta difasilitasi oleh kedutaan?
Tidak, kalau kita enggak. Jadi kita jemput iya, tapi bayar hotel kita enggak mau. Dulu pernah ada yang minta dibayari untuk hotel, ya enggak mungkin dong, mana ada uang anggaran kita untuk hotel seperti itu. Jadi kita kendaraan oke, jemput. Traktir makan tentu kita jamu mereka. Tapi itu menurut saya budaya yang harus diperbaiki itu.
Sejauh ini bagaimana diaspora mengekspresikan dukungan pada capres dan cawapres?
Oh, kalau ini mereka banyak. Biasanya mereka berkumpul beberapa orang, foto-foto. Kadang ada satu fasilitas masyarakat yang memilih satu atau dua, kemudian ya udah deh. Mereka acaranya begitu saja setiap Minggu. Dia kampanye di komunitas-komunitas yang ada. Tapi yang pasti sekarang ini terasa banget persaingan antar pendukung capres itu, dan dinamika persaingan atau dukung mendukung calon itu sudah sangat terasa. Terutama di Amerika, saya sering dapat laporan dari teman-teman di sana. Jadi dinamikanya benar-benar terasa sekarang itu.
Di Indonesia kompetisinya agak keras, bahkan ada kesan masyarakat itu terbelah antara pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo. Apakah hal yang sama juga terjadi di luar negeri?
Iya. Saya mau ke Qatar 5 April nanti untuk sosialisasi program ini. Dan waktu persiapan memang dilaporkan, dua-duanya memang sangat sensitif.
Apakah diaspora juga terpapar dengan isu-isu hoax yang terjadi dan tersebar di Indonesia?
Kalau menurut saya pasti ada juga. Karena akses terhadap online atau medsos sekarang itu hampir sama. Cuma bedanya mungkin kalau kita di sini ada hoax, kemudian ada pelurusannya atau klarifikasinya, kita langsung faktanya. Tapi yang di luar lebih sulit bagi mereka untuk mengonfirmasi informasi yang beredar di online atau media sosial. Mungkin bedanya, kalau di dalam negeri spending time kita untuk mengecek berita di online lebih panjang dari pada di luar negeri. Kalau di luar paling mereka mengeceknya pagi saja sebelum berangkat ke kantor atau sebelum tidur. Kalau kita di sini bisa seharian kapan saja bisa cek online.
Dan jangan lupa, di pemilu Amerika salah satu penyebab Hillary Clinton kalah karena hoax. Waktu itu banyak berita yang ngawur di Amerika, tapi orang percaya saja.
Kalau kita berkaca dengan pemilu di Amerika, menurut Anda gejala yang dirasakan di pemilu Amerika ketika itu sama tidak dengan situasi di Indonesia sekarang ini, hoax berseliweran, dan sejenisnya?
Oh iya, benar itu. Pokoknya hoax sudah menjadi instrumen politik sepertinya ya.. hehehe.
Bukankah kedewasaan politik diaspora itu lebih matang dibandingkan masyarakat di Indonesia? Karena sebenarnya mereka bisa dikatakan lebih terdidik atau memang sama saja?
Kalau menurut saya sih sama saja. Karena sebagian hoax yang saya baca itu rasionabel. Kelihatannya benar. Misalkan berita 'Jokowi larang orang adzan' kita itu langsung tahu kalau itu hoax. Tapi kalau berita 'si-ini ditangkap di sini karena kasus ini' ya kalau ini, rasanya this is true. Teman-teman di luar negeri juga demikian, kalau mereka mendapatkan berita yang di luar nalar mereka, pastinya tidak mudah percaya, kecuali berita yang benar-benar bombastis.
Berapa sebenarnya jumlah diaspora kita?
Kita ini tidak pernah buat database, dan ini juga kritik saya. Bahkan database talent diaspora tidak ada. Dan saya tahu pemerintah sudah menyadari hal ini. Tapi kalau data kasar, diaspora kita sekitar 6 juta, tapi ada yang bilang 8 juta, ada yang bilang 4 juta juga, jadi tidak tahu saya berapa jumlah pastinya. Jadi, saya ambil angka tengahnya adalah 6 juta. Dari 6 juta ini, 2 jutanya TKI. Nah, yang 4 juta ini yang non TKI, seperti profesional, doktor, inovator, yang punya restoran, dan lain sebagainya.
Jadi kalau dari segi jumlah, mereka kuota kedua terbesar di Indonesia di luar Jakarta, jadi kalau di Jakarta sekitar 10 juta penduduknya, diaspora itu sampai 6 juta. Tapi kalau dihitung WNA, Jakarta jauh kalah banyak. Kalau dihitung WNA ya, seperti Madagaskar, itu 23 juta, kemudian 60 persennya itu dari darah Jawa. Suriname juga, Afrika Selatan ada satu juta orang yang darah Makassar. Jadi diaspora itu bisa sebanding dengan kota terbesar di Indonesia.
Diaspora itu berarti semua orang Indonesia yang tinggal atau bekerja di Luar negeri?
Iya, kecuali mereka diplomat dan turis. TKI, Pelajar, pekerja profesional itu termasuk diaspora.
Selain membuat platform “Know Your Caleg,” apa lagi program Anda yang terkait dengan pemilu, untuk kepentingan diaspora?
Yang kita advokasi itu sebetulnya adalah perlunya Badan Nasional yang khusus mengurus diaspora. Jadi logikanya gini, ada 6 juta orang, kalau kita serukan ayo pulang kampung, pasti ada yang pulang kampung. Itu karena kita serukan. Tapi kalau mereka pulang kampung sendiri, mereka kebingungan setelah sampai Indonesia, mereka akan ke mana? Siapa kantor yang akan mengurus saya? Itu banyak yang jadi pertanyaan diaspora. Sebab tak ada yang mengurus mereka. Yang ada hanya satu staf khusus di Kemenlu, pangkatnya Duta Besar yang untuk ngurusin diaspora, tapi itu benaran satu orang hanya dengan satu sekertaris. Mungkin enggak dia ngurusin 6 juta diaspora? Enggak mungkin.
Ada juga Kasubdit eselon III di Kemenlu yang didampingi anggota stafnya yang hanya tiga orang, anggarannya mungkin sekitar Rp2 miliar. Nah, kira-kira bisa enggak mereka ngurusi enam juta diaspora dengan anggaran seperti itu? Enggak mungkin. Jadi menurut saya perlu satu badan yang khusus menangani, mengurusi diaspora.
Semacam BNP2TKI?
Iya. Sekarang sudah ada BNP2TKI yang memang khusus mengurusi TKI, kalau saya usulkan, BNP2TKI ini diperluas saja. Jadi BNP2TKI itu bisa mengurus TKI dan Diaspora. Jadi yang 1/3 (TKI) diurus, yang 2/3 (diaspora)-nya juga diurus. Badan ini nanti yang membuat dan punya database diaspora. Siapa inovator, siapa yang punya paten, siapa doktor, siapa lawyer di luar negeri sana. Siapa tokoh masyarakat, siapa tokoh agama di sana, siapa yang bisa jadi juru bicara kita di luar negeri, siapa yang punya rumah sakit, siapa yang punya restoran, dan lain sebagainya. Harusnya semua itu bisa didata.
Kita tak punya data itu sama sekali?
Enggak ada. Saya sudah mengusulkan ini, aduh sudah bertahun-tahun, tapi tidak terjadi.
Sebenarnya sejauh ini apa saja problem-problem diaspora?
Problemnya ada dua. Satu problem yang berkaitan dengan TKI, terkait perlindungan hak dan fasilitas pekerjaan. Sementara yang non TKI, problemnya enggak banyak, hanya bagaimana mereka bisa sinergi dengan tanah air. Biasanya mereka sudah ada pekerjaan, sudah senang, sudah kaya, tapi mereka masih banyak hasrat untuk Indonesia, what can i do for Indonesian? Jadi mereka itu nasionalis dan idealis umumnya. Tapi mereka keluhkan, bagaimana kalau mau membantu Indonesia.
Misalnya ada dokter di Belanda, dia sukses menciptakan peralatan medis yang mutakhir. Tapi setiap setahun atau dua tahun harus diganti peralatannya, jadi peralatan yang lama yang masih bagus dia mau kirim ke Indonesia, digratiskan. Tapi alatnya enggak bisa keluar dari pelabuhan Indonesia, karena harus bayar bea cukai. Banyak kasus seperti itu. Kenapa itu terjadi, karena tidak ada badan yang menangani diaspora itu.
Menurut Anda, badan itu bisa memfasilitasi atau menjadi jembatan untuk membantu mengatasi masalah diaspora?
Iya, betul. Dan ini suatu sistem yang normal di negara-negara lain yang memiliki banyak diasporanya. Tiongkok punya, India juga punya. Dan apa yang bisa membuat nasib India sekarang berubah? Karena diaspora. Diaspora India itu jumlahnya nomor kedua terbesar setelah China, ada 20 juta diaspora India, dan itu tidak main-main. Ada yang punya pabrik, punya segala macamnya di London, kita lihat apa yang dikasih kepada mereka dari pemerintah India? Person of Indian Interest. Itu semacam KTP. Dengan kartu itu walaupun you sudah warga negara Inggris, warga negara Amerika, you bisa masuk India tanpa paspor, tanpa visa, hanya perlu kartu itu saja. Apa you tidak merasa dimanjakan, diistimewakan? Dan setelah itu, you will do anything for India. Jadi diaspora itu perlu diperhatikan saja sih sebenarnya, habis itu mereka will do anything untuk Indonesia.
Waktu saya di Amerika, banyak mendapatkan keluhan dari diaspora kita, mereka merasa tak diperhatikan. Tapi waktu saya bikin kongres, mereka mengapresiasi. Kongres kita waktu itu enggak didukung pemerintah, mereka bilang kita enggak ada duit untuk kongres ini, jadi diaspora kolektif untuk kongres di LA Convention Center yang dihadiri 2.000 orang. Kenapa diaspora bisa seperti itu? Karena mereka merasa disapa, merasa diistimewakan. Intinya begitu. Makanya kalau ada data base, kemudian ada badan khusus yang menangani diaspora, baru bisa mulai berjalan kerjasama diaspora ini.
Banyak diaspora kita yang istimewa ya?
Iya. Sebagai contoh, satu orang diaspora di California, dia punya hak paten lebih banyak dari hak paten seluruh bangsa Indonesia. Dan waktu saya di Amerika, diaspora Indonesia income perkapitanya lebih tinggi dari pada orang Amerika sendiri. Kalau tidak salah Amerika itu US$49.000 dan diaspora itu US$59.000. Jumlah orang yang punya title S1 itu lebih tinggi dari orang Amerika sendiri, saya lupa angkanya berapa persen. Jadi lebih pintar, lebih kaya, lebih ini, dan lain sebagainya. Potensinya luar biasa banget diaspora kita itu.
Kemarin saya dari Sydney, di sana itu ada orang Indonesia yang punya pabrik tahu dan tempe. Dan itu bukan pabrik kecil, gede banget. Dan mereka ekspor ke New Zealand, ekspor ke negara lainnya juga. Kacang kedelainya mereka beli dari mana? Mereka beli dari Australia, kemasannnya yang bikin orang Australia, segala macamnya orang Australia. Dan produk itu namanya Tempe of Indonesia. Bayangkan itu, dia sudah jadi orang Australia, tapi jiwa nasionalismenya terhadap Indonesia masih tinggi sekali.
Apa harapan teman-teman diaspora terhadap pemilu 2019 ini?
Harapan kita, dari segi back picture-nya, sekarang kan demokrasi lagi mundur atau sedang mengalami kemunduran. Banyak demokrasi yang jadi otoriter di tempat lain. Kalau tidak jadi otoriter, banyak demokrasi yang kualitasnya menurun, Lebih banyak korupsinya, lebih banyak pelanggaran HAM nya, orang jadi gak percaya sama Pemerintah, dan sebagainya. Saya ingin 2019 ini Indonesia bisa menunjukkan kepada dunia demokrasi kita bukan hanya terus berjalan, tetapi kualitasnya semakin membaik. Dan semakin maju, bukan semakin mundur. Itu satu untuk demokrasi kita.
Kedua, khusus mengenai diaspora itu saya ingin kali ini ada game changer. Jadi konsep caleg diaspora ini bisa merubah persepsi diaspora terhadap iklim politik di Indonesia, dan membuat mereka menjadi stakeholder karena merasa mempunyai wakil di DPR, mudah-mudahan nanti wakil di DPR nya juga benar-benar bisa akuntabel, dan amanah terhadap diaspora. Tapi yang paling penting sih, pemilu kita ini kan pemilu paling rumit nih di seluruh dunia nih, dan kalau kita bisa sukses saja, ini luar biasa.
Selain Dwi Kewarganegaraan, isu apa lagi yang penting bagi diaspora?
Isu yang terpenting berikutnya adalah Generasi Kedua. Generasi Kedua itu, misalnya, saya diaspora yang tinggal di Jerman, sudah mampu, sudah punya pekerjaan di sana, sudah menetap di sana, tapi punya anak. Anak saya enggak bisa bahasa Indonesia, anak saya enggak suka rujak atau gado gado, anak saya enggak bisa tari Bali, mungkin bisa dikatakan keindonesiaannya agak kurang gitu. Nah, ini yang menjadi kekhawatiran orang tuanya. Jadi menurut saya, harus ada respons pemerintah untuk masalah ini. Responsnya tidak terlalu sulit juga kok, misalnya bikin Sunday school.
Anak saya waktu di Amerika ada sekolah Indonesian Islamic Center. Di sana dia berkumpul, bertemu dengan anak-anak Indonesia yang lainnya. Maksud saya kalau bisa Pemerintah itu untuk masalah budaya, masalah identitas, kita jangan pelit-pelit, jangan tawar menawar, itu penting buat bangsa kita. Sekarang ini hanya satu yang paling besar, dan membuat kita bangga. Di Timor Leste. Coba lihat di sana di Timor Leste itu ada KBRI dan ada gedung budaya Indonesia yang lebih hebat dari gedung KBRI. Maksudnya ada tarian di sana, ada orang yang belajar bahasa Indonesia, ada orang belajar tarian di sana. Tapi hanya ada di Timor Leste saja yang seperti itu, di tempat lain enggak ada. (umi)