Pemimpin Jangan Pengaruhi Masyarakat dengan Isu yang Bikin Terbelah
- VIVA/Muhamad Solihin
VIVA – Jika disebut nama Akbar Tandjung, bisa jadi ingatan publik akan langsung mengaitkannya dengan Partai Golkar. Tak salah, sebab Akbar sangat lekat dengan Partai Golkar.
Sejak masa Orde Baru, hingga pemerintahan saat ini, Akbar setia mengawal partai berlambang Pohon Beringin tersebut. Pria yang kini berusia 73 tahun itu, bahkan tak surut ketika Partai Golkar, yang di masa Orde Baru, sangat identik dengan Presiden Soeharto, presiden RI ke dua yang berkuasa selama 32 tahun.
Ketika Soeharto berhasil diturunkan dari singgasana kekuasaan, dan Partai Golkar dibenci publik, Akbar terus berjalan. Ia terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar pada tahun 1998 hingga 2004.
Masa terberat bagi Partai Golkar. Orde Reformasi yang sedang dilambungkan, membuat Partai Golkar dipandang sinis. Tetapi, Akbar tak gentar. Ia memilih fokus menjaga nama besar Partai Golkar. Ia turun ke daerah-daerah untuk memperjuangkan dan menjaga soliditas anggota partainya.
Akbar pernah menjadi menteri di setiap presiden. Di masa Presiden Soeharto, Akbar pernah menjabat sebagai Menpora (1988-1993), lalu menjadi Menteri Perumahan Rakyat dan Permukiman Indonesia (1993-1998).
Ketika Habibie menjadi Presiden RI, Akbar sempat memegang posisi sebagai Menteri Sekretaris Negara (1998-1999). Selain menjadi menteri, Akbar juga menjabat sebagai Ketua DPR RI untuk tiga periode kepemimpinan, yaitu Presiden BJ Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, dan Presiden Megawati. Ia berada di Parlemen mulai tahun 1999 hingga 2004.
Pria keturunan Batak yang lahir 14 Agustus 1945 ini memang gigih. Suara Partai Golkar pada Pemilu 1999, anjlok hingga 50 persen. Akibatnya, perolehan kursi untuk Partai Golkar anjlok. Namun, jumlah perolehan kursi untuk Parlemen yang sempat menurun itu berhasil dinaikkan sedikit oleh Akbar pada Pemilu 2004.
Kini ,Akbar sudah semakin sepuh. Namun, semangatnya untuk terus memperhatikan Indonesia tak padam. Saat diwawancara oleh VIVA pada Kamis 23 November 2018, suaranya masih tetap kalem dan tenang.
Tetapi, matanya yang berbinar-binar sudah cukup memberi gambaran, ia tak pernah surut. Bahkan, hingga hari ini, Akbar masih rajin turun ke berbagai daerah untuk menyambangi dan berbincang dengan kader Partai Golkar di seluruh Indonesia.
Ia juga dengan cermat terus memantau peta politik negeri ini. Seperti apa pandangan politisi senior ini tentang politik Indonesia, pemilu presiden (Pilpres), dan pergerakan politisi? Berikut petikannya:
Bagaimana Anda melihat peta politik nasional saat ini?
Politik hari ini tidak lepas daripada politik era-era sebelumnya, terutama pada waktu era reformasi. Di mana, ketika era reformasi itu kita melakukan begitu banyak perubahan. Dan, yang paling mendasar pada waktu itu adalah amandemen UUD 45. Kenapa saya katakan itu perubahan yang paling mendasar, karena saya mengikuti betul pergerakan kebangsaan kita, secara langsung ikut, khususnya pada era Orde Baru.
Era Orde Baru kan selalu kita mengaitkan pada era suatu orde yang dalam kepemimpinan bangsa, semangatnya berada pada semangat yang betul-betul melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen, dan tidak ada kehendak untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap prinsip dasar kita dalam berbangsa dan bernegara. Bahkan, pada tahun 1983, karena semangat untuk mempertahankan UUD dan Pancasila itu begitu kuat, tetapi mengacu pada UUD 45 itu sendiri. Terutama, pasal 37 yang menyebutkan bahwa dimungkinkan melakukan perubahan-perubahan. Kan, bunyi dalam pasal 37 memungkinkan perubahan kan.
Amandemen UUD 1945 bagian dari keinginan berubah itu?
Nah, bagaimana menjawab komitmen kita mempertahankan UUD dan Pancasila, ketika adanya pasal 37 itu. Maka, kemudian kita pada waktu itu melakukan ketetapan TAP MPR yang disebut sebuah referendum. Di situ dikatakan, bilamana ada kehendak untuk mengubah UUD 45 penjelasannya (karena dimungkinkan dalam Pasal 37), maka terhadap kehendak itu dilakukan referendum. Artinya, ditanya dulu kepada rakyat, rakyat setuju apa tidak dilakukan perubahan. Meskipun konstitusi menyatakan boleh, tetapi karena kehendak mempertahankan UUD 45 ketika itu begitu kuat ya. Tetapi, kita tetap mempertanyakan itu kepada rakyat, maka diputuskan lah TAP MPR. Tetapi, saya lupa itu TAP MPR nomer berapa.
Artinya, Anda melihat kondisi politik hari ini sebagai buah dari masa reformasi ketika itu?
Iya, karena memang tidak bisa lepas dari era sebelumnya. Setelah terjadi amandemen ada perubahan-perubahan yang mendasar dari sisi kelembagaan. Kita membangun kelembagaan baru. Dulu hanya DPR/MPR, lalu lahirlah DPD. Kemudian, kita membentuk Mahkamah Konstitusi, dan dalam semangat reformasi itu juga muncul lah partai-partai politik baru, jadi multi partai. Bahkan, pada awalnya sempat sampai 100 lebih partai politik baru. Kemudian, diseleksi oleh KPU di era reformasi. Pemilu pertama pascareformasi tahun 1999, lolos 48 partai. Kemudian, berjalan lah mekanisme dengan adanya lembaga baru DPD. Awalnya, diperuntukkan perwakilan daerah non orang parpol, tetapi pada perjalanannya ada orang-orang politik di dalamnya. Mereka memandang bahwa posisi itu perlu mereka duduki seperti halnya di Amerika ada senator.
Bagaimana sistem ini menurut Anda?
KPU sudah bagus membuat ketentuan ketua umum partai tidak boleh jadi DPD, tapi kan digugat sama OSO (Oesman Sapta Odang) dan menang. Jadi, dalam konteks ini saya melihat sistem kita ini tidak jelas. Dan, akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan, di dunia ini kalau ingin melihat sistem kepartaian dan sistem pemilu, terutama sistem pemilu, sebenarnya ada dua. Pertama sistem profesional dan kedua sistem distrik. Nah, di kita sistem profesional tetapi dimodifikasi menjadi sistem profesional terbuka dengan perolehan suara terbanyak. Dengan suara terbanyak ini mengakibatkan orang-orang mempunyai kepentingan, agar dia mendapatkan suara terbanyak. Nah, ini lah hasilnya. Kalau profesional yang dipilih partainya, tetapi karena sistem kita dimodifikasi selain memilih partai, tetapi memilih orangnya juga dengan sistem suara terbanyak. Maka itu, digunakan oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan dengan orang yang memiliki kelebihan finansial. Jadilah Politik kita sekarang ini diwarnai dengan yang namanya pragmatis transaksional.
Apa dampaknya?
Ini semuanya mengakibatkan berbagai peristiwa, berbagai kasus tindak pidana korupsi yang itu sekarang kita banyak saksikan, hampir semua partai terlibat dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi ini. Sehingga, mengakibatkan kehidupan kepartaian kita menjadi tidak jelas arahnya ke mana. Kalau saya ditanya, kalau kita mau bereksperimen, sudah lah kita kembalikan saja ke sistem proporsional tertutup atau sekalian kita bikin baru, yaitu sistem distrik. Sistem distrik itu nanti setiap partai diwakili oleh calon-calon di distriknya masing-masing. Yang bertarung nanti calon-calon dari partai politik juga. Tapi masyarakat memilih calonnya, bukan partainya.
Amandemen itu kan membuka ruang multipartai, sehingga itu dirasa merepotkan dengan sistem proporsional terbuka itu. Sekarang ini kan, semangatnya ada upaya merampingkan kembali parpol dengan syarat UU, dengan membuat PT (Parliamentary Threshold).
Benarkah Pemilu serentak yang akan digelar pertama kali ini bisa menjadi kuburan bagi sejumlah partai?
Ya memang saya pikir, kita harus mengkaji dampak dari perubahan hari ini. Dampak yang paling nyata sekarang ini adalah terjadinya praktik-praktik pragmatis transaksional dalam perpolitikan kita. Kalau dikaitkan dengan konstitusi, sistem pemerintah kita kan presidensial, presiden selain sebagai Kepala Negara juga sebagai Kepala Pemerintah. Perkembangan sistem politik pemerintahan di dunia karena presiden itu dipilih oleh rakyat, maka sudah tepat jika sistem presidensial presiden dipilih langsung oleh rakyat. Kita pernah sistem presidensial, tetapi di masa Orde Baru tidak dipilih oleh rakyat, tapi oleh MPR. Sekarang, kita memperkuat dan memperjelas sistem presidensial kita. Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Dalam pengertian itu, karena presiden dipilih oleh rakyat maka sebetulnya sistem presidensial itu tidak perlu juga banyak partai. Beda dengan sistem parlementer. Kenapa sistem parlementer partainya banyak? Karena parlemen itu dipilih oleh partai-partai. Sehingga partai lah yang memilih Perdana Menteri di parlemen. Kalau sistem presidensial yang pilih presiden adalah rakyat melalui pemilu. Maka, akibatnya rencana untuk membuat partai menjadi sederhana juga tidak bisa dilaksanakan, karena itu tadi, obsesi untuk terus berperan dalam politik diwujudkan dalam bentuk diberikan kesempatan mendirikan partai, sehingga kita melihat partai jumlahnya sekarang banyak.
Artinya, jumlah partai diturunkan melalui Parliamentary Threshold?
Nah, sekarang kita mencoba gimana agar partai ini jumlahnya tidak banyak, salah satu caranya adalah menaikkan threshold. Threshold pertama dulu tiga persen, kemudian 3.5 persen, dan sekarang naik menjadi empat persen. Terakhir itu kemarin kan, 3,5 persen dengan 12 partai politik ikut pemilu, 10 yang lolos threshold, 10 partai itu lah yang punya kursi di DPR-RI. Sekarang dinaikkan menjadi empat persen, partainya ada 16, tinggal kita lihat nanti tinggal berapa partai yang bertahan. Kalau saya sih usulnya di atas empat persen. Kalau kita semangatnya betul-betul ingin menjadikan partai ini sederhana, saya kira kunci yang paling menentukan adalah menaikkan threshold.
Berapa idealnya?
Kalau pandangan saya sih, walaupun belum ada dasar perhitungan yang kuat, saya rasa cukup dengan lima partai politik. Nah, karena partai kita sudah tidak lagi berbasis ideologi, mungkin partai itu dengan kemampuannya masing-masing bisa membangun suatu kebijakan atau visi atau program, sehingga rakyat bisa membedakan partai satu dengan partai lainnya. Tetapi, itu tergantung kepandaian tangan pimpinan partai. Jadi ,ada kekhasan partai-partai itu bukan dari perspektif ideologi, tetapi dari perspektif program, visi misi partai, dsb.
Di satu sisi, kita semangatnya ingin menyederhanakan partai. Tetapi, di satu sisi, sistem politik kita tetap membuka ruang untuk munculnya partai-partai baru. Bagaimana Anda melihat fenomena itu dan bagaimana kans partai-partai baru ke depan?
Itu tadi, kunci yang sekarang kita gunakan, kalau kita semua konsisten, sepakat, kita naikkan threshold-nya itu. Memang, risikonya bisa juga partai politik yang sudah ada ini tidak lolos kan? Itu berarti, partainya selama ini tidak eksis. Kemudian untuk yang kedua, juga tidak mudah mendirikan partai dengan persyaratan-persyaratan yang ketat. Kalau itu kita lakukan, berarti partai politik bisa lebih sederhana. Tetapi, saya lihat saya sampai pada pendapat lima partai cukup maksimal lah. Cuma keterpilihan partai dari rakyat itu kuncinya. Bagaimana partai dapat memberikan citra di mata masyarakat bahwa partai ini memiliki titik berat apa yang diperjuangkannya. Jadi, orang di situ titik tekan pandangannya, jadi bukan agama, bukan ideologi, dan sebagainya. Tetapi, fokusnya pada program-program itu, program yang menjadi program utama partai politik.
***
Kalau Anda melihat peluang atau kans partai-partai baru untuk lolos ke parlemen di pemilu ke depan bagaimana?
Itu kembali pada faktor yang tadi itu, faktor transaksional tadi. Partai yang punya uang banyak, peluangnya masih bisa. Karena masyarakat kita kan faktanya masih sangat lemah dalam kaitan keuangan, pendidikannya juga masih lemah, sehingga mereka gampang terpengaruh. Dan, semangat itu saya kira partai-partai yang mempunyai kemampuan finansial mempunyai peluang juga untuk lolos. Misalnya, Perindo itu punya peluang.
Partai Berkarya?
Berkarya saya melihat dari segi citra, Berkarya kan Golkar, kan sudah ada Partai Golkar, dan Golkar sudah punya basis di masyarakat. Tetapi, kita kan tidak bisa melarang orang mau bikin partai kan, akhirnya jadi lah Partai Berkarya itu. Tapi sejauh mana Partai Berkarya bisa lolos, ya tergantung juga. Kalau nanti misalnya dia hanya menggunakan citra sebagai partai yang pernah di masa Orde Baru, orang pasti memilih Partai Golkar. Kita lihat lah nanti Partai Berkarya. Kalau dia nanti punya kelebihan-kelebihan yang dia miliki, terutama dari segi finansialnya, ya bisa saja dia lolos. Tetapi, apakah terus menerus seperti itu kita membangun politik?
Terkait dengan Pilpres. Bagaimana Anda melihat kompetisi di dalam Pilpres kita saat ini?
Tentu, yang namanya Pilpres ini kan berkaitan dengan konstitusi. Konstitusi sudah mengamanatkan bahwa calon-calon presiden itu dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik. Karena itu, kesimpulannya ya, untuk menjadi presiden harus mendapatkan dukungan dari partai politik. Hal itu yang kita lihat pada hari ini kan, diawali pada pemilu yang pertama dulu tahun 2004, 2009, 2014, semuanya kan dicalonkan dari partai-partai politik.
Anda pernah terapkan konvensi Partai Golkar. Bagaimana ceritanya?
Sewaktu saya menjadi ketua umum Partai Golkar dulu, saya memproduksi sistem rekrutmen calon presiden di internal Partai Golkar secara terbuka, secara demokratis, memberikan kesempatan kepada seluruh kader dan siapapun yang merasa terpanggil dengan sistem rekrutmen yang kita namakan konvensi. Itu merupakan salah satu terobosan yang berhasil saya lakukan dalam pola rekrutmen secara terbuka. Waktu itu, dari 19 orang yang terpanggil menjadi calon, akhirnya menjadi lima tokoh. Dari lima tokoh itu, karena memang sejak awal saya menghendaki katakanlah seperti legacy dari saya dalam politik mengintroduksi sistem rekrutmen terbuka. Dan, itu betul-betul terlaksana, meskipun pada waktu itu ada juga orang yang bilang, "ah ini kan akal-akalannya Pak Akbar Tandjung saja, nanti juga tetap saya yang dicalonkan dia juga yang jadi. Ini paling akal-akalan dia saja."
Tapi karena memang sejak awal saya murni ingin melakukan itu, bukan saya yang terpilih. Walaupun masih ada juga praktik-praktik transaksional ketika itu, terutama ketika ingin mengambil keputusan dari lima calon menjadi satu calon.
Mengapa Pilpres kali ini kompetisinya terlihat dan terasa sangat keras?
Kalau pertama kita pilpres dua calon antara Pak Jokowi (Joko Widodo) dan Pak Prabowo (Prabowo Subianto) yang lalu kan juga bisa dikatakan tidak ada sesuatu yang gimana-gimana gitu ya, sampai membuat kita ramai terus ribut gitu, saya kira enggak ada ya. Tapi terus terang saja, saya kira yang membuat sekarang ramai ini diawali pada waktu Pilkada DKI. Sehingga, sekarang ini muncullah isu-isu yang sifatnya identitas, dan sebagainya itu.
Dan, terus terang saja, saya harus mengatakan, karena confidencen-nya Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) cukup tinggi waktu itu, sehingga kontrol terhadap dirinya juga tidak bisa, sehingga keluarlah kata-kata Al Maidah itu membuat orang yang tadinya tidur, kemudian bangun semua. Dari itulah, saya melihat kemudian isu-isu atau faktor-faktor identitas itu menjadi menonjol sekarang ini.
Tapi menurut Anda, apakah isu politik identitas memang lumrah dilakukan dalam kontestasi politik sepeti di Pilpres kali ini?
Kalau menurut saya itu memang tidak bisa dihindari. Tetapi, yang tidak boleh dan harus kita cegah betul adalah jangan isu politik identitas itu menjadi formal. Di Amerika kan, juga sama saja kan, ada juga isu politik identitas juga ketika Pilpres di sana kan. Tapi di Indonesia, juga menghasilkan banyak perubahan dari situasi itu. Buktinya dalam perspektif ras, Obama (Barack Obama) bisa juga menjadi presiden Amerika.
Nah, dalam konteks itu di Indonesia, di kita pun tidak bisa itu kita hindari. Tetapi, yang harus kita cegah jangan sampai ada peluru-peluru yang formal yang bernuansa seperti itu. Seperti terakhir ini ada isu-isu tentang Perda Syariah dan lain sebagainya. Ngapain sih hal seperti itu harus dilontarkan, tidak perlu hal seperti itu juga syariat Islam dengan sendirinya menjadi aturan hukum kita kok. Jadi, yang penting jangan diformalkan.
Kompetisi juga diwarnai dengan maraknya hoax, ujaran kebencian dan kampanye berbau SARA. Bagaimana Anda melihat itu?
Iya, memang adanya fenomena yang begitu itu, kita memang tak bisa menghindari. Apalagi, dengan adanya perkembangan teknologi yang begitu cepat. Adanya media sosial yang sangat dominan, bahkan dapat menentukan pilihan-pilihan orang, menentukan cara berfikir orang, karena itu adalah bagian dari konsekuensi adanya perubahan-perubahan. Karena, adanya kemajuan atau perkembangan, terutama di bidang teknologi yang tidak bisa kita hindari.
Tinggal sekarang ini, masyarakatnya yang harus kita didik agar jangan terpengaruh dengan pikiran-pikiran seperti itu. Tetapi, kalau adanya perubahan sebagai konsekuensi dari kemajuan teknologi informasi tidak bisa dihindari.
Jadi hanya mengandalkan publik untuk mengharap perubahan. Bagaimana peran pemimpinnya?
Memang dibutuhkan juga kedewasaan kita dalam bermasyarakat. Di sini, pentingnya juga faktor tokoh pemimpin agar dapat memberikan pembelajaran kepada masyarakat kita, supaya jangan terpengaruh dan memengaruhi masyarakat dengan isu-isu yang bisa membuat masyarakat kita terbelah, yang bisa mengganggu kebersamaan kita sebagai bangsa. Jangan sampai mengganggu kesepakatan-kesepakatan yang sudah dicapai oleh para pendiri bangsa kita, seperti yang kita sebut dengan pilar-pilar kebangsaan kita, konsesus-konsesus yang telah dicapai oleh para pendiri bangsa kita, itulah yang harus kita jaga betul.
Kenapa saat ini masyarakat cenderung fanatik dengan pilihan pasangan capres-cawapresnya?
Kalau saya pikir sih ,itu tetap terkait dengan kedewasaan kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Secara konstitusional, secara ideologis kita kan sudah menetapkan prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara bahwa ideologi bangsa kita Pancasila. Saya kira, pada hari-hari ini sudah tidak boleh ada lagi orang yang mempersoalkan ini. Tetapi, karena adanya dinamika perkembangan teknologi, maka muncul-lah media sosial
Kedua, memang masih ada di hati masyarakat itu perasaan-perasaan seperti itu. Nah, ini peran bagi para pemimpin, baik pemimpin -pemimpin politik, pemimpin sosial, pemimpin keagamaan yang memperlihatkan bahwa kita sudah selesai dengan masalah-masalah yang mengganggu kebersamaan kita, persatuan kita.
***
Fenomena pilpres kali ini, menurut Anda, apakah Anda melihat pertarungan Pilpres yang demikian panas ini dapat menimbulkan friksi di level masyarakat bawah?
Kalau saya sih berpendapat tidak. Artinya, kita harus mendidik betul masyarakat bahwa mereka harus bisa menerima apapun hasilnya yang dihasilkan dari proses mekanisme yang sejalan dengan konstitusi. Jadi, harus kita terima, misalnya Jokowi yang menang, kelompok pendukung Prabowo harus bisa menerima. Begitu juga sebaliknya kalau Prabowo yang menang, pendukung Pak Jokowi juga harus menerima dengan legowo juga. Kecuali, kalau ada tanda-tanda terjadi kecurangan. Nah, itu bahaya itu.
Ada kesan, saat ini masyarakat terbelah antara pendukung Prabowo dan pendukung Jokowi. Dan, itu kerap menimbulkan gesekan. Tanggapan Anda?
Saya sih, tidak melihat sampai sejauh itu. Saya tidak melihat terjadi semacam gesekan atau pembelahan dikotomi antara masyarakat. Mungkin, ada yang berbeda pandangan antara pendukung yang satu dengan yang lainnya, tetapi sejauh ini belum ada yang mengganggu.
Artinya, Anda melihat bahwa situasi hari ini di bawah itu biasa-biasa saja?
Iya, menurut saya sejauh ini masih normal-normal saja itu. Yang paling perlu kita jaga adalah bagaimana proses pemilu itu dapat berjalan sesuai dengan yang diamanatkan oleh UU atau konstitusi kita.
Kenapa saat ini ada kesan politik menjadi sesuatu yang sangat sangat serius dan bisa menciptakan perpecahan? Seperti Pilkada DKI Jakarta misalnya?
Kalau Jakarta itu kan jelas ada nuansa SARA-nya. Tetapi, kalau sekarang, kok saya melihatnya tidak ada hal seperti itu ya.
Kalau saling perang statement antara kubu Jokowi dan Prabowo, seperti sontoloyo, genderuwo, dan sebagainya. Menurut Anda, sebenarnya itu biasa aja atau gimana?
Iya, saya juga ketika mendengar pertama kali seperti itu sempat kaget juga ya. Ada istilah genderuwo, sontoloyo, dan sebagainya itu. Politik jadi terkesan sangat menakutkan kan, karena mendengar genderuwo, karena genderuwo itu kan menakutkan kan.
Jadi, suasana yang menegangkan ya? Tidak seperti di masa sebelumnya di mana pemilu tidak menakutkan dan bisa riang gembira. Apa yang menyebabkan ini terjadi Pak?
Iya mau gimana ya, karena itu keluar dari mulut para pemimpin-pemimpinnya. Seharusnya kan, pemimpin itu bisa menenangkan masyarakatnya kan.
Artinya, apakah Anda melihat pemicunya itu ada pada pemimpinnya, sehingga fenomena itu ada di tengah masyarakat, atau gimana?
Ya, mungkin berawal dari masyarakat ya, kemudian mungkin ada pemimpin yang juga terbawa suasana itu. Karena, seharusnya pemimpin itu kan tidak boleh mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang bisa menimbulkan konflik yang bisa mengganggu kebersamaan kita sebagai sebuah bangsa. Seharusnya, pemimpin jangan mempertajam hal-hal seperti itu kan.
Artinya, seharusnya hal-hal seperti perang statement itu tidak perlu dilakukan oleh para pemimpin kita?
Iya, saya kira tidak perlu. Karena, kita kan harus membangun politik dengan mendidik masyarakat kan. Kalau ingin menggunakan term-term seperti itu, gunakanlah term-term yang mempunyai nuansa mendidik. Dan, pemimpinnya juga enggak perlu terbawa suasana.
Ada kesan politik sekarang cenderung destruktif. Bagaimana Anda menanggapi itu?
Saya pasti, tentu tidak setuju kalau fenomena itu muncul. Tetapi, saya tidak bisa mengatakan sejauh mana keseriusannya, apakah itu benar-benar serius gitu ya, karena saya belum melihat, belum terasa bahwa sekarang itu ada sesuatu yang bisa membuat gesekan ya. Ada memang hanya hoax itu. Tapi hoax itu kan tidak bisa kita jadikan sebagai hal yang pasti. Hoax itu memang sengaja dibuat oleh orang yang mempunyai kepentingan, dan kepentingannya itu yang kita belum tahu. Belum tentu ada kepentingan atau nuansa yang berbau politik. Kan, ada juga kepentingan orang yang ingin membuat joke-joke, atau ada juga yang ingin melihat atau menguji masyarakat sejauh mana masyarakat bisa terpengaruh. Tapi itu tadi saya sampaikan, kita jangan mudah terpengaruh atau harus mengklarifikasi informasi itu dengan orang terdidik. Karena itu, santai aja lah.
***
Apa yang mesti parpol lakukan untuk mendinginkan suasana agar lebih guyub lagi?
Iya memang, itu salah satu tugasnya para pemimpin partai politik juga kan, bagaimana bisa membuat suasana politik, kehidupan kebangsaan kita tetap dalam suasana saling menghargai, saling menghormati. Dan, tentu saja yang terakhir kita harus menghormati pilihan masyarakat yang terbanyak. Selama itu tidak ada praktik-praktik kecurangan ya kita terima, karena itu pilihan publik atau pilihan rakyat.
Artinya, tugas pimpinan parpol memberikan edukasi kepada masyarakat agar tidak mudah terprovokasi?
Iya betul.
Kalau Anda melihat, sejauh ini, apakah itu semua sudah dilakukan oleh mereka?
Kalau saya sih, memberikan politik kepada kader-kader organisasi saya, khususnya Partai Golkar. Di mana kita mengangkat isu-isu yang memperlihatkan kita memperhatikan, dan memperjuangkan aspirasi dari publik atau rakyat. Dan, kita harus juga menerima kalau kita ternyata di mata publik membuat mereka lebih cenderung tidak memilih partai kita. Faktor-faktor yang memengaruhi pilihan mereka itu kan, karena adanya peristiwa-peristiwa atau kasus-kasus yang melibatkan orang-orang partai. Dan, kita harus bisa menerima itu sebagai suatu kenyataan, karena itu tentunya kita memperlihatkan sikap-sikap bahwa kita tidak pernah menyetujui peristiwa-peristiwa seperti apa. Dalam bentuk apa? Bisa saja partai memberikan peringatan, atau sanksi, bahkan ada lagi yang lebih keras memberikan tindakan ketika yang mereka lakukan merusak nama baik partai.
Partai Berkarya baru-baru ini menyatakan, kalau Prabowo Sandi menang, mereka ingin mengubah sistem yang ada ini seperti di era Orde Baru. Menurut mereka, Orde Baru jauh lebih baik dibanding pemerintahan saat ini. Bagaimana Anda menanggapi itu?
Perubahan yang ada ini kan, sebetulnya merupakan kesepakatan nasional kita. Perubahan itu kan adalah sebuah keniscayaan. Perubahan yang ada ini kan, proses perubahan yang dilalui dari proses orde yang lama. Walaupun dalam perubahan itu juga ada semangat kesinambungan. Karena perubahan dan kesinambungan tidak bisa dipisahkan juga. Misalnya, dalam konteks saya di organisasi kami, Golkar. Saya juga katakan kepada teman-teman di Partai Golkar, kita harus berani mengatakan perubahan itu harus dilihat dari dua sisi. Pertama sisi perubahan, dan kedua sisi kesinambungan. Perubahan yang terjadi sejalan dengan semangat reformasi. Pasti kan mengubah semangat yang lama, tetapi juga tetap ada semangat berkesinambungan, kontinuitas. Di mana kontinutitas kita, dalam konteks partai, partai kita tetap komit kepada Pancasila, tetap komit kepada penghormatan yang telah dikerjakan oleh para pendiri Republik kita, prinsip-prinsip dasar berbangsa dan bernegara.
Masih dipertahankan semangat tersebut?
Itu tidak berubah itu. Dan, konteks lain, Golkar ini kan lahir karena semangat untuk mempertahankan, membela, dan sekaligus mengamalkan Pancasila. Karena, apa saya juga harus mengatakan ketika Partai Golkar lahir di tengah-tengah karena ada kekuatan-kekuatan ideologi, karena ketika itu spirit ideologinya kuat kan. Pada saat itu, ada semangat kekhawatiran munculnya ideologi lain selain Pancasila. Di situlah kontinuitas dan berkesinambungan itu tadi.
Apa benar klaim Partai Berkarya bahwa Orde Baru lebih baik dari sekarang?
Bisa saja orang mengatakan begitu. Sejauh ia mengatakan pernyataan begitu dengan alasan-alasan yang rasional yang kuat, bisa saja. Tapi kan, kita tidak bisa mengambil satu kesimpulan yang kemudian bisa menyatakan orde baru lebih baik dari sekarang. Kita harus jujur kan, harus melihat dari berbagai sisi. Kalau dari berbagai sisi memang ada pemerintahan Soeharto berhasil misalnya terkait dengan persoalan swasembada pangan, bahkan kita mendapat penghargaan dari lembaga internasional, itu kan juga sebuah kenyataan. Tetapi, kita harus melihat juga berbagai peristiwa pada masa yang lalu yang sampai hari ini tidak bisa terselesaikan, terutama terkait dengan pelanggaran HAM, itu kan juga fakta.
Apa benar masih banyak masyarakat merindukan Pak Harto sebagai simbol Orde Baru?
Kalau menurut saya, bisa saja ada pendapat begitu, tetapi tentu pada level masyarakat yang memang merasakan. Tapi kan, masyarakat berpikirnya sangat 'sempit' terkait dengan kepentingannya sehari-hari saja. Tetapi, kalau masyarakat luas kan harus melihat dari berbagai sisi. Kalau dilihat dari berbagai sisi itu kita harus juga mengakui, bahwa terjadinya reformasi itu telah terjadi perubahan-perubahan, di mana masyarakat ikut dilibatkan dalam proses politik secara terbuka. Bahkan lebih dari itu, bebas mendirikan parpol. Dalam sistem demokrasi itu dimungkinkan.
Secara politik, apakah Orde Baru masih laku dijual untuk mendongkrak perolehan suara?
Saya kira, tentu yang kita bicarakan bukan sistemnya. Sistem Orde Baru itu sudah menjadi kenyataan, itu tidak bisa kita pungkiri. Tetapi, kita tidak boleh membandingkan era-era kita pada masa yang lalu seolah-olah itu sudah salah. Ini semua adalah perjalanan sejarah kita. Yang paling saya rasakan betul, peristiwa Orde Baru itu sampai terjadi korban pembunuhan, begitu banyak tokoh-tokoh, tentara militer kita dibunuh, itu kan fakta.
Kalau dalam konteks pemilu, apakah isu itu bisa dimakan oleh publik untuk menentukan pilihannya?
Saya pikir sih, sebagian besar publik tidak akan terpengaruh, tetapi kita juga tidak bisa mengatakan tidak ada. Karena, masyarakat kita kan beda-beda, strata pendidikannya juga beda-beda, karena itu sejauh tidak melanggar aturan-aturan yang tadi tidak masalah.
Apakah dengan adanya Partai Berkarya yang menjual Orde Baru tidak menggerus suara Partai Golkar?
Tidak. Secara politik di masa Orde Baru, Partai Golkar adalah partai yang mendapat dukungan dominan. Dan, Partai Golkar ketika masa reformasi kita juga harus menanggung itu, tekanan publik yang begitu berat, ketika itu menginginkan pembubaran Partai Golkar. Karena memang, Golkar ketika itu diidentikkan dengan partai Orde Baru dan Pak Harto.
Tapi kan, Golkar mampu melewati masa-masa itu. Dan, Partai Golkar mempunyai basis pemilihnya sendiri. Saya kira, tidak akan berpengaruh lah pemilih Partai Golkar dengan kampanye Partai Berkarya itu. (asp)