Pilkada Rasa Keluarga
- ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
VIVA – Karolin Margret Natasa terus mengumbar senyum. Busana adat Dayak warna merah, membalut tubuhnya.
Panas terik tak membuat wajah perempuan 35 tahun itu menjadi kecut. Saat itu, jarum jam menunjukkan angka satu lebih.
Siang itu, Rabu 10 Januari 2018, Karolin menyambangi kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kalimantan Barat untuk pendaftaran calon gubernur. Dia ditemani Suryadman Gidot, pasangannya yang diplot sebagai calon wakil gubernur.
Suasana yang sebelumnya biasa saja, sontak berubah menjadi heboh. Sosok Karolin dengan penampilan ikat kepala khas Dayak serta kalung hiasan manik-manik jadi pusat perhatian.
Momen kedatangan bupati Landak tersebut membuat puluhan wartawan foto berebut mengabadikan sosoknya. Kerumunan massa pendukung menambah riweh sebelum Karolin masuk ke dalam kantor KPU Kalbar.
Keberadaan tim dari partai politik pendukung juga ikut menambah keramaian suasana. Mereka ikut mengantar Karolin-Gidot yang beberapa jam sebelumnya memantapkan deklarasi di Rumah Radakng Pontianak.
Pasangan bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar Karolin Margret Natasa (kiri) dan Suryadman Gidot berjabat tangan saat pengumuman cagub-cawagub yang diusung PDIP di kantor DPP PDIP, Lenteng Agung, Jakarta Selatan. (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)
Menilik nama Karolin memang menarik perhatian. Di pilkada serentak 2017, kader PDIP yang juga dokter ini pernah mencatatkan kemenangan spektakuler.
Mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat itu menyisihkan lawannya dengan memperoleh suara 96,62 persen di pilkada Kabupaten Landak.
Prestasi tersebut yang membuat PDIP kepincut mengusung Karolin. Meski alasan lain karena figur Karolin punya elektabilitas kuat, ia tak bisa dipisahkan dari ayahnya, Cornelis.
Latar belakang ini diakui Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri saat pengusungan Karolin-Gidot, pada Minggu, 7 Januari 2018. Ketika itu, Mega tak sungkan memuji Karolin sebagai kader partai yang pantas diusung.
Baca juga: Pilkada Kotak Kosong, Salah Siapa?
Karier Cornelis dan Karolin sama, pernah merintis sebagai bupati Landak. Bedanya, Cornelis sudah merasakan posisi gubernur Kalbar selama dua periode. Tapi, sekitar dua pekan lalu masa jabatan Cornelis sebagai gubernur Kalbar sudah berakhir.
Faktor itu yang menyebabkan majunya Karolin ke Pilkada Kalbar menyedot perhatian. Isu politik mencuat.
Cornelis yang juga ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP Kalbar ingin meneruskan 'takhta' gubernur pada putrinya. Aroma politik dinasti menguat.
Lihat Infografik: Melanggengkan Kuasa
"Saya merupakan proses kaderisasi partai. Jadi, bukan sesuatu yang mendadak. Terlepas dari dinasti, semua calon wajib memenuhi tahapan dan ketentuan yang berlaku," kata Karolin di Pontianak, 10 Januari 2018.
Tak hanya di Kalbar, pilkada serentak 2018 menjadi realitas mencuatnya politik dinasti. Catatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, politik dinasti cenderung meningkat. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya.
Untuk pilkada serentak 2018 terjadi di sejumlah daerah. Sedikitnya ada 10 daerah yang sudah mengarah politik dinasti.
Angin Segar dari MK
Sejak era Reformasi dengan pemberlakuan otonomi daerah, dinilai menjadi salah satu faktor menguatnya dinasti politik. Berbeda ketika Orde Baru karena kepala daerah ditentukan Presiden Soeharto dan rezimnya.
Selain itu, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membatalkan pasal 7 huruf r Undang Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota memberikan 'angin segar' atas politik dinasti. Pasal itu sebelumnya mengatur kerabat petahana di suatu daerah tak boleh mencalonkan ke pilkada.
"Putusan MK tersebut makin menumbuhsuburkan politik dinasti dalam rekrutmen pilkada," kata Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini kepada VIVA, Jumat, 19 Januari 2018.
Faktor lain terkait mandeknya kaderisasi dan fungsi pendidikan yang tak berjalan di parpol menjadi pemicunya. Menurut Titi, bila parpol mampu menjalankan peran kaderisasi lebih konkret, politik dinasti bisa diredam.
Suburnya dinasti politik juga karena realitas politik untuk melanggengkan kekuasaan. Kekuatan modal, menguasai struktur partai, dan didukung sistem pencalonan pilkada yang sentralistis mempermudah dinasti politik.
"Kalaupun tidak mendapatkan dukungan dari elite politik lokal, mereka ambil jalan pintas atau bypass ke elite nasional atau DPP partai. Itu juga ikut berkontribusi maraknya politik dinasti," tutur Titi.
Untuk Pilkada 2018, Titi menyebut ada sejumlah daerah yang sudah 'dirancang' politik dinasti. Di Pilkada Sumatera Selatan ada Dodi Reza Noerdin–Giri Ramanda Kiemas yang diusung koalisi Golkar-PDIP. Dodi Reza yang diusung menjadi calon gubernur merupakan putra Gubernur Sumsel petahana Alex Noerdin.
Di Pilkada Kalbar ada Karolin Margret Natasa yang merupakan putri dari Cornelis. Nama Cornelis pernah menjadi gubernur Kalbar dua periode. Karolin dipasangkan dengan mantan Bupati Bengkayang, Suryadman Gidot. Pasangan calon ini diusung PDIP-Demokrat.
Untuk Pilkada Nusa Tenggara Barat (NTB), ada Sitti Rohmi Djalilah yang maju sebagai calon wakil gubernur. Sitti Rohmi merupakan adik dari gubernur inkumben Muhammad Zainul Majdi. Sitti diduetkan dengan politikus Partai Keadilan Sejahtera, Zulkiflimansyah. Duet ini didukung koalisi PKS, Demokrat, dan Gerindra.
Ketua KPU Sulsel Iqbal Latief (kedua kanan) menerima berkas pasangan perseorangan Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Ichsan Yasin Limpo (kiri) dan Andi Mudzakkar (kedua kiri) di Makassar, Sulawesi Selatan. (ANTARA FOTO/Darwin Fatir)
Ada juga nama Ichsan Yasin Limpo yang maju lewat jalur independen sebagai bakal cagub di Pilkada Sulawesi Selatan. Ichsan adalah adik gubernur petahana dua periode, Syahrul Yasin Limpo.
Saat dikonfirmasi, Ichsan Yasin Limpo mengaku tak menutup mata terkait sebutan politik dinasti. Ia sadar, tekadnya maju ke pilgub pasti akan dikaitkan dengan dinasti Yasin Limpo. Ichsan meminta agar tak mempersepsikan dirinya sebagai politik dinasti di Sulsel.
“Saya sadari, maju di pilgub pasti dikaitkan dinasti politik, karena saya adik Syahrul. (Tapi) Saya punya modal, niat, dan rekam jejak, saya juga tidak bisa memesan pada Allah untuk bisa bersaudara dengan Syahrul,” kata Icshan saat dikonfirmasi, Kamis, 18 Januari 2018.
Di wilayah timur Indonesia, yakni Maluku Utara, ada Muhammad Kasuba yang dicalonkan sebagai gubernur. Kasuba diduetkan dengan Madjid Husen. Kasuba masih terkait dengan gubernur petahana Abdul Ghani Kasuba yang punya hubungan adik kakak.
Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, mengatakan, politik dinasti seperti cara memonopoli kekuasaan, dan menghilangkan kompetisi. Cara ini, menurut dia, dinilai bisa berpotensi memunculkan kolusi, korupsi, nepotisme.
"Kekuasaan politik diberikan bukan berdasarkan kapasitas dan kompetensi. Namun pada kedekatan ikatan kekeluargaan tertentu," tutur Adi kepada VIVA, Kamis, 18 Januari 2018.
Jalur Pragmatis Politik
Partai politik menjadi sorotan dengan menjamurnya politik dinasti. Parpol dianggap gagal dalam kaderisasi, sehingga memunculkan kekuasaan kepentingan melalui jalur pragmatis. Upaya ini yang makin memundurkan demokrasi sejak era Reformasi.
Pengamat politik sekaligus Pendiri Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia (Kedai KOPI) Hendri Satrio, mengatakan, kekuatan politik dinasti karena punya akar rumput dan popularitas yang cukup. Dengan dinasti ini maka kepentingan politik bisa diteruskan.
"Jadi sebetulnya karena kepentingan pragmatis, gagal menumbuhkan kader-kader. Ini tergantung dari sistem partai politik itu sendiri," kata Hendri.
Elite parpol pun punya sudut pandang pembelaan. Ketua DPP PDIP Andreas Hugo Parreira mengatakan, tak bisa dipersepsikan sebagai politik dinasti bila mengusung kerabat kepala daerah petahana. Secara politik, parpol punya pertimbangan memilih calon dari segi elektabilitas.
"Pertimbangan utamanya, orang itu dianggap mampu memenangkan pilkada. Itu kan juga melalui proses penjaringan," ujar Andreas kepada VIVA, Rabu, 17 Januari 2018.
Dia juga tak percaya dengan istilah politik dinasti. Menurut dia, bila parpol menerapkan cara tersebut sama dengan bunuh diri. "Itu namanya bunuh diri. Pasti partai sendiri yang akan rugi," tutur Andreas.
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri berpidato pada acara HUT ke-45 PDI Perjuangan di JCC, Jakarta. (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean)
Sebagai parpol besar, PDIP dinilainya melakukan proses kaderisasi dengan ketat. Bahkan, kata dia, dari 171 daerah di Pilkada 2018, banyak kader PDIP yang diusung.
"Selama ini kami berjuang untuk itu. Bahkan Presiden sendiri muncul dari bawah. Salah satu bukti bahwa kaderisasi masih berjalan," ujar Andreas.
Dari Golkar juga menyampaikan pandangannya. Wakil Sekretaris Jenderal Golkar, Dave Laksono, mengatakan, sebenarnya tak ada masalah dengan pengusungan kerabat petahana. Kata dia, parpol pasti mencalonkan kandidat yang punya elektabilitas dengan peluang menang.
"Kami kan enggak mau mencalonkan orang yang tingkat kemenangannya sulit atau pasti kalah. Apalagi pasti kalah," tuturnya.
Alasan ini bukan karena Golkar tidak percaya diri. Ia menegaskan, tak hanya finansial, kemampuan elektabilitas dan jaringan juga menjadi tolak ukur.
Menurut dia, sejauh ini, Golkar masih memprioritaskan kader. Terbukti di Pilkada 2018, banyak kader yang diusung maju.
Partai Amanat Nasional (PAN) juga menyampaikan hal senada. Wakil Ketua Umum PAN Hanafi Rais mengatakan, kandidat harus dilihat dari kompetensi dan kecakapan memimpin daerah. Kemudian, faktor elektabilitas juga menjadi acuan lain.
"Karena tak semua juga kekerabatan layak didukung, jadi kami pertimbangannya mencoba seobjektif mungkin," tuturnya.
Jauh Panggang dari Api
Belum ada bukti prestasi yang bisa dilihat dari hasil politik dinasti. Ada anggapan politik dinasti hanya terkesan bagus, namun faktanya tak bisa dibanggakan.
Beberapa program yang diusung kepala daerah politik dinasti biasanya lebih memprioritaskan infrastruktur. Program ini punya kesan untuk pencitraan positif.
"Kalau dinasti politik itu susah. Terkesannya berhasil, biasanya menutupi dengan infrastruktur. Padahal dalamnya, aslinya, susah," kata Hendri Satrio.
Pengamat politik Adi Prayitno mengatakan, contoh 'keberhasilan' politik dinasti dilakukan keluarga Ratu Atut Chosiyah. Politik dinasti ala keluarga Atut ini dinilai sukses mengacu seberapa banyak menang di pilkada.
"Maka dinasti politik Ratu Atut di Bantenlah yang paling sukses dan stabil," kata Adi.
Dari pengamatannya, Banten merupakan provinsi yang paling banyak melahirkan dinasti politik. Secara fenomenal, trah Ratu Atut sudah sejak lama berkuasa di tanah jawara. Meski Atut ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kekuatan dinasti politiknya cukup terasa.
Dia mencontohkan, di Pilkada 2017, putra Atut, Andika Hazrumy yang diusung menjadi bakal cawagub dari Wahidin Halim, mampu menjungkalkan petahana Rano Karno-Embay Mulya Syarief. Sementara itu, di Pilkada 2015, adik Atut yakni Ratu Chasanah sukses menang di Pilkada Kabupaten Serang.
"Begitupun dengan ipar Atut yang menang di Pilkada Tangsel 2015 lalu," ujar Adi.
Meski berhasil dalam pemenangan pilkada, sisi positif politik dinasti dinilai sulit terlihat. Ia mencontohkan kembali Banten. Secara politik, provinsi tanah jawara ini paling fenomenal.
"Hampir semua kepala daerah yang lahir dari dinasti politik kinerjanya jauh panggang dari api," tutur Adi.
Sidang perdana terdakwa kasus dugaan suap penanganan sengketa pilkada Kabupaten Lebak di MK, Ratu Atut Chosiyah, di Pengadilan Tipikor. (ANTARA FOTO/Andika Wahyu)
Di luar trah Atut, ada politik dinasti kecil lain yang sudah bermunculan. Adi menganalisis dinasti Ismet Iskandar di Kabupaten Tangerang. Anak Ismet, Zaki berpeluang menang di Pilkada 2018 karena hanya melawan kotak kosong.
Ada juga di Lebak. Trah dinasti politik Jayabaya mulai menguat. Iti Octavia Jayabaya sebagai petahana berpotensi menang mudah di Pilkada 2018, karena sebagai calon tunggal dan melawan kotak kosong.
Dengan prestasi minim kepala daerah hasil politik dinasti, harus ada terobosan. Sebab, mengandalkan parpol untuk berbenah mencetak kader mumpuni akan sulit. Salah satu yang bisa dilakukan dengan suara kritis dari publik.
Bila rakyat bisa kritis atas kegagalan kepala daerah dan punya figur 'tandingan' maka politik dinasti bisa diredam. Figur tandingan ini yang bisa memimpin dan punya program solusi dari persoalan.
"Dari regulasi sulit karena MK sudah batalkan. Satu-satunya ya mengkritisi kepala daerah sendiri sambil munculkan figur tandingan yang layak," ujar Hendri Satrio. (art)