Dilabur agar Tak Digusur

Suasana kampung Penas Tanggul yang berada di Jalan Pancawarga, Jakarta Timur
Sumber :
  • VIVA/Purna Karyanto

VIVA – Spanduk bertuliskan Selamat Datang di Kampung Warna Warni Tanpa Rokok langsung menyambut, kala VIVA berkunjung ke Kampung Penas Tanggul, Jalan Pancawarga, Jakarta Timur, Rabu 3 Januari 2018. Spanduk yang salah satu ujungnya sudah robek tersebut menempel pada gapura setinggi tiga meter yang menjadi pintu masuk ke permukiman warga RT 015/02 Kelurahan Cipinang Besar Selatan ini.

Pagi itu, jalan, atau tepatnya gang tak seberapa lebar, yang menuju permukiman warga tersebut tampak lengang. Hanya ada beberapa anak kecil berlarian atau bermain sepeda. Sejumlah perempuan terlihat sedang mencuci perlengkapan dapur atau menjemur pakaian. Sementara warga yang lain memilih bercengkerama di depan rumah.

Sejauh mata memandang, cat aneka warna tampak menghias dinding rumah warga yang sebagian besar berlantai dua. Tak hanya rumah, dinding MCK dan tembok di pinggir jalan juga disulap jadi mural beragam warna. Juga pagar besi yang memisahkan Kali Cipinang dengan permukiman warga.

Permukiman yang terletak di belakang Gedung Kementerian Lingkungan Hidup ini memang dikenal sebagai Kampung Warna Warni. Sesuai namanya, semua yang berada di kampung ini dilabur dengan cat aneka warna. Mulai dari dinding rumah, teras, kakus, tembok hingga pagar yang membentang di bibir kali.

Pemukiman penduduk yang ada di kampung Penas Tanggung, Jakarta Timur. (VIVA/Purna Karyanto)

Permukiman yang berjarak sekitar 50 meter dari Jalan DI Panjaitan ini sudah menjadi Kampung Warna Warni sejak April 2017. Sebulan sebelumnya, sejumlah warga melakukan studi banding ke Yogyakarta. “Saya bersama enam orang warga ada pelatihan Ansos yang diselenggarakan FAKTA (Forum Warga Kota Jakarta) ke Kali Code, Jogja. Sekalian kita ke sana untuk studi banding. Kita juga melakukan studi banding tentang Kampung Kawasan Tanpa Asap Rokok (KTR) ke Umbul Harjo,” ujar Sumiati, salah satu inisiator Kampung Warna Warni.

Usai pelatihan dan studi banding, mereka menggelar rapat bersama warga sekaligus sosialisasi hasil studi banding. Gayung pun bersambut, warga merespon dengan baik dan ingin kampung mereka menjadi kampung yang cantik, bersih, dan sehat. Namun menurut Sumiati, ide membuat kampung warna warni sebetulnya sudah ada sebelum studi banding tersebut.

Sumiati menuturkan, warga ingin membuat permukiman mereka menjadi kampung yang rapi, meski berada di bantaran kali. “Kita ingin pemerintah melihat, bahwa kampung ini bisa menjadi kampung yang rapi, bersih, dan cantik,” ujar ibu tiga anak ini.

***

Agar Tak Digusur

Ia menjelaskan, permukiman yang terletak di bibir kali tersebut sebenarnya menjadi salah satu target penggusuran terkait normalisasi kali. Warga berharap, keberadaan kampung warna warni membuat pemerintah menimbang ulang rencana menggusur permukiman mereka.

Perempuan yang aktif di FAKTA ini mengatakan, sudah banyak orang yang datang ke kampung ini. Mereka tak hanya berasal dari seputaran Ibu Kota, namun juga dari luar Jakarta. Bahkan ada yang dari luar negeri. Meski demikian, warga tak memungut tiket masuk laiknya kampung warna warni di tempat lain. Sebaliknya, warga kerap memberikan souvenir kepada pengunjung yang datang.  

Sumiati, inisiator kampung warna-warni di Penas Tanggul, Jakarta Timur. (VIVA/Purna Karyanto)

Ia mengakui, warga sudah memiliki rencana. Nantinya, jika kampung mereka sudah jadi destinasi wisata, mereka akan memungut tiket masuk. Apalagi rencananya, akan ada wisata sungai yang melintasi permukiman mereka. “Katanya, Dinas Lingkungan Hidup akan memberikan tiga perahu untuk wisata air. Nah, dari situ kita punya rencana memberlakukan tiket wisata air. Atau kalau ada kunjungan ke sini mungkin ke depannya bisa memberlakukan ticketing.”

Nobby Sail Andi Supu (23) menambahkan, pada 12 Maret tahun lalu, warga patungan guna membenahi kampung. Tahap pertama, warga membangun gapura sebagai pintu masuk. Setelah itu, warga mewarnai tembok dan dinding rumah. “Siapa yang mengecat, dan lain sebagainya itu warga semuanya bekerja sendiri. Yang ngecat itu warga, yang melukis itu warga,” ujar ketua Karang Taruna RT 015/RW 002 ini.

Sejak menjadi kampung warna warni, warga mulai menata permukiman mereka dengan baik. Salah satunya, saat membangun tidak memakan badan kali. Selain itu, semangat gotong royong warga juga terus menguat. “Jadi semangat gotong royongnya, semangat kebersamaannya jauh lebih tinggi,” ujar mahasiswa semester akhir salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta ini.

Senada dengan Sumiati, sejak dideklarasikan dan dikenal sebagai kampung warna warni, banyak pengunjung yang datang. “Cukup banyak. Dari luar negeri pun cukup banyak. Ada dari Australia, Jepang, Hongaria, Thailand, Singapura. Kalau dari universitas yang di Jakarta, hampir rata-rata universitas di Jakarta pernah ke sini,” ujarnya bangga.

Salah satu warga, Ahmadi (52) mengaku senang dengan keberadaan kampung warna warni. Ia mengatakan, saat ini kampungnya sudah lebih bersih di banding sebelumnya. “Sekarang lebih bersih dibandingkan dulu. Dulu kumuh banget, becek, jalannya susah,” ujarnya.

***

Kumuh dan Beragam

Sumiati mengakui, sebelumnya kampung mereka memang kumuh. “Kalau dibilang kumuh, ya luar biasa kumuhnya. Bahkan rumah-rumah di sini dulu itu semi permanen semua. Mungkin kalau dibandingkan sama MCK rumah di sini, lebih bagus MCK,” ujarnya.

Tak hanya itu, permukiman yang berada di bantaran Kali Cipinang ini juga langganan banjir. “Tahun 2002 dan tahun 2007 ketika banjir, kampung ini banjir sampai ke lantai dua,” ujarnya mengenang.

Hal senada disampaikan Nobby. Menurut dia, di Cipinang Besar Selatan, RT 015/02 memang dikenal sebagai kampung kumuh. “Ini juga yang menjadi latar belakang kampung warna-warni ini. Makanya kami ingin menata kampung ini agar wajah kampung ini berubah menjadi kampung yang bersih, cantik dan sehat,” ujar anggota Lembaga Musyawarah Kelurahan ini.

Ketua RW 02 Sumardiyono mengakui, jika sebelumnya wilayah RT 015 memang kawasan kumuh. Tak hanya kumuh, kawasan itu juga terkenal dengan penghuninya yang akrab dengan kriminalitas. “Bukan kumuh lagi. Mungkin tempatnya kurang ajar atau kriminal lah di situ itu kumpulnya. Apa lagi di sebelahnya itu RT 14, tukang copet, tukang bunuh. Banyak yang kenal daerah Penas sebagai daerah merah lah dulu itu,” ujarnya saat VIVA berkunjung ke rumahnya.

Namun, itu masa lalu. Saat ini RT 015 sudah berubah menjadi wilayah yang bersih dan rapi. Juga aman dan nyaman. Menurut purnawirawan TNI Angkatan Udara ini, saat ini orang yang mau berbuat jahat di kampung warna warni juga berfikir dua kali.

Warga beraktivitas di Kampung Warna-Warni Penas Tanggul, Cipinang Besar Selatan, Jakarta. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Pilihan warna cat yang aneka warna di kampung ini bukan tanpa alasan. Menurut Sumiati, permukiman itu dicat warna warni untuk menunjukkan penghuninya yang sangat beragam. “Kita melihat warga di sini itu berasal dari berbagai suku, berbagai agama. Jadi kita buat kampung ini menjadi kampung warna-warni. Kita ingin memperlihatkan bahwa warga di kampung ini sangat beragam,” ujarnya menjelaskan.

“Mereka itu solidaritasnya sangat luar biasa. Kita tidak melihat dari suku apa, agama apa, tidak seperti itu. kita ingin menunjukan warga di sini meskipun beragam bisa guyub, kompak.”
Nobby menyampaikan hal senada. Menurut dia, pilihan cat yang warna-warni berangkat dari latar belakang warga yang warna-warni.

“Pekerjaannya berbagai macam profesi, asalnya dari mana saja itu beragam.  Agamanya juga beragam. Itu yang menjadi latar belakang kita juga menjadikan kampung ini warna-warni.”

***

Kawasan Tanpa Rokok

Sumiati mengakui, kampung warna warni di permukimannya bukan yang pertama. Pasalnya, di sejumlah daerah sudah ada program yang sama. Namun ia mengklaim, kampung warna warni yang mereka bikin memiliki keistimewaan tersendiri. Pasalnya, mereka juga membuat kampungnya menjadi Kawasan Tanpa Rokok (KTR).

Menurut dia, warga kampung warna warni dilarang merokok di dalam rumah atau di jalan. Jika ingin merokok, mereka harus ke lokasi yang ditetapkan sebagai area merokok, yakni di jembatan yang berada di ujung jalan. Jika ada yang ngeyel, merokok di dalam rumah atau di jalan maka warga tersebut akan dikenai denda senilai satu bungkus rokok yang ia isap.

Kebijakan itu diambil setelah ia dan sejumlah warga menjadi korban rokok. “Warga di sini banyak yang terkena penyakit paru-paru, sampai mereka harus berobat selama enam bulan terus menerus ke rumah sakit. Itu yang membuat saya dan warga yang lain itu semangat agar warga yang lain di sini itu yang masih sehat itu tidak terkena penyakit yang diakibatkan oleh asap rokok. Karena di sini sudah banyak sekali warga yang sakit paru-paru karena asap rokok. Bahkan ada yang sampai meninggal dunia,” ujarnya.

Sumiati sendiri sempat sakit paru-paru dan harus berobat selama sembilan bulan karena menjadi perokok pasif. “Saya terkena asap dan saya sakit paru-paru sampai harus berobat sembilan bulan. Dan suami saya sendiri juga sekarang berobat juga, karena paru-paru. Jadi ini yang membuat saya semangat bahwa rokok itu berbahaya untuk kesehatan,” ujarnya mengenang.

Namun, membuat KTR tak semudah menciptakan kampung warna warni. Ia mengaku sudah melakukan sosialisasi soal bahaya merokok sejak 2012 lalu. Tak hanya sosialisasi, untuk meyakinkan warga, ia juga membawa para korban rokok untuk menyampaikan testimoni. “Kita juga membuat survei kecil-kecilan bersama warga. Membuat pertanyaan kepada warga di sini, apakah warga di sini setuju rumahnya bebas dari asap rokok,” ujarnya menjelaskan.

Warga beraktivitas di Kampung Warna-Warni Penas Tanggul, Cipinang Besar Selatan, Jakarta. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Ia melakukan survei beberapa kali. Hingga seratus persen warga setuju kampungnya bebas dari asap rokok. Pasalnya, membuat warga sadar akan bahaya asap rokok bukan perkara gampang. “Membuat agar warga sini sadar akan bahaya asap rokok tidak semudah membalikkan telapak tangan,” ujarnya.

Menurut Sumiati, awalnya warga menolak. Ia bahkan dimarahi suaminya. Warga menolak karena menganggap mereka dilarang merokok. “Padahal kita sama sekali melarang mereka untuk merokok. Kita hanya melarang mereka merokok di dalam rumah. Jadi kita hanya memindahkan orang yang merokok di dalam rumah itu menjadi keluar rumah,” ujarnya menambahkan.

Guna memastikan kesepakatan itu dijalankan, warga menetapkan ibu-ibu untuk menjadi polisi yang mengawasi. “Yang bertugas menjadi polisinya itu ibu-ibu. Ibu-ibu kan setiap hari ada di rumah. Kalau bapak-bapaknya kan rata-rata kerja. Jadi kalau ada tamu atau siapapun merokok di sini, ibu-ibu yang bertugas menjadi polisi KTR itu yang menegurnya.”

Nobby menambahkan, saat ini mereka memang menyediakan lokasi untuk merokok. Namun ke depannya, lokasi merokok itu akan dihilangkan. Menurut dia, tahap pertama warga tidak boleh merokok di dalam rumah dan di sekitar teras rumah. Setelah itu berjalan, warga tidak boleh merokok di jalan.

“Kita sediakan smoking area di dua tempat untuk warga yang ingin merokok. Nanti pada tahap berikutnya, smooking area itu akan kita kurangi, yang tadinya ada dua menjadi satu, dan pada akhirnya akan kita hilangkan. Jadi kalau memang ada yang ingin merokok, ya silahkan keluar dari lingkungan kampung ini,” ujarnya.

Usaha itu pun berbuah. Sejumlah warga akhirnya memutuskan untuk berhenti merokok. Ahmadi salah satunya. Warga yang berprofesi sebagai kuli bangunan ini mengatakan, sebelumnya ia adalah perokok berat. Namun, sejak ada KTR ia memutuskan berhenti merokok. “Sekarang di sini sudah ada larangan merokok. Jadi gak enak saja kalau merokok dengan yang lainnya. Kalau mau merokok juga jauh,” ujarnya.

***

Usaha Swadaya

Sumiati menuturkan, warga membangun kampung warna warni tanpa rokok secara swadaya. Ia mengakui, memang ada bantuan dari perusahaan BUMN dan swasta. Namun jumlahnya tak seberapa. “Warga sendiri. Setiap hari Minggu kita sering kerja bakti,” ujarnya.

Menurut dia, sejauh ini dukungan dari pemerintah hanya sebatas kata-kata. “Camat, lurah sih datang ke sini. Dia hanya menyemangati warga saja. Tapi kalau support dana tidak ada. Sejauh ini ini dari swadaya masyarakat saja.”

Hal itu diakui Ketua RW 002, Sumardiyono. Menurut dia, biaya untuk membuat kampung warna warni merupakan swadaya masyarakat. “Biayanya itu swadaya masyarakat sendiri. Ada yang 200 ribu, ada 100 ribu, 300 ribu. Warga mengumpulkan seadanya,” ujarnya.

Warga beraktivitas di Kampung Warna-Warni Penas Tanggul, Cipinang Besar Selatan, Jakarta. (VIVA/Purna Karyanto)

Menurut dia, memang ada bantuan dari luar, namun tidak banyak. Lebih banyak dana dari warga sendiri. “Itu karena memang warganya kompak,” ujarnya menambahkan.

Saat ditanya bantuan dari pemerintah, pria asal Yogyararta ini hanya tertawa. “Bantuan dana dari pemerintah? Paling bantuan doa,” ujarnya seraya tertawa. “Tidak ada. Selama ini itu hasil dari swadaya masyarakat saja,” ujarnya.

Sumiati mengakui, dana menjadi salah satu kendala untuk pengembangan kampung warna warni. Selain itu, semangat warga yang naik turun juga jadi penghambat. “Kita sebagai tim terus melakukan upaya menyemangati warga agar tetap menjaga kampung ini tetap bersih, rapi dan terjaga. Tujuannya agar kampung ini tidak jadi digusur,” ujarnya.

“Dan alhamdulillah kampung ini sekarang ini sudah menjadi kampung percontohan bagi pemda. Ini juga yang menjadi kebanggaan kami. Kami bangga ternyata kerja keras kita ini ada hasilnya,” lanjut Sumardiyono. (ren)