Petaka di Negeri Bebas Senjata
- Truthnetmedia
VIVA – Larry Haydu sedang bersantai di ruang kerjanya. Hari mulai gelap, namun cuaca diperkirakan cerah hingga tengah malam.
Sebagai asisten kepala tim pemadam kebakaran di Clark County, Kota Las Vegas, Amerika Serikat, salah satu tugasnya adalah memantau laporan yang masuk. Dan hal itu bisa ia kerjakan dari tempat kerjanya yang cukup tenang.
Tak lama kemudian, melalui radio komunikasi ia mendengar bahwa ada peristiwa di sebuah konser luar ruangan yang tengah digelar di kota tersebut. Wajah Larry langsung pucat. Badannya pun lemas. Yang terbayang di benaknya hanyalah ucapan putrinya tadi siang, minta izin untuk pergi ke acara musik tersebut.
Saat tiba di lokasi konser, Larry melihat suasana sudah sangat kacau. Tampak muka-muka panik dan ketakutan melintas di depannya. Sebagai anggota damkar, ia sudah terbiasa dengan hal itu.
“Akhirnya saya menemukannya. Ia terguncang, tapi selamat. Tubuhnya dilumuri darah, namun bukan miliknya,” ujar Larry, seperti dilansir dari kantor berita Reuters.
Apa yang terjadi pada hari Minggu 1 Oktober 2017 itu sangat mengejutkan. Menurut penuturan rekan Larry, Bob Stout, saat tiba di lokasi ia mendengar suara letusan senjata api yang tidak diketahui asalnya.
Informasi yang ia dapat saat di perjalanan yakni ada seseorang menembak kerumunan orang dengan senapan angin. Tapi, saat melihat luka yang diderita korban, Bob yakin bahwa senjata yang dipakai jauh lebih berbahaya.
Dua jendela kamar di Mandalay Bay Resort and Casino terlihat pecah setelah penembakan massal saat Festival Route 91 Las Vegas, Nevada, AS, 2 Oktober 2017. (REUTERS/Mike Blake)
Penembak tersebut adalah Stephen Paddock, mantan akuntan yang kaya raya dan juga seorang penjudi profesional. Ia melontarkan peluru dari senapan otomatis selama beberapa menit dari lantai 32 hotel dan kasino Mandalay Bay.
Sebanyak 59 orang tewas dan 527 orang lainnya mengalami luka-luka akibat peristiwa tersebut. Saat kamar digerebek, polisi menemukan 23 pucuk senapan, ratusan amunisi, beberapa teropong khusus senapan, dan tubuh Paddock yang tergeletak di lantai pasca bunuh diri.
Satu bulan kemudian, peristiwa serupa kembali terjadi. Selasa 14 November lalu, empat orang tewas dan belasan lainnya luka-luka, termasuk beberapa anak, saat seorang pria bersenjata mengamuk di negara bagian California.
Menurut penelitian yang dilakukan International Journal of Criminal Justice Sciences, kasus penembakan di AS 11 kali lebih banyak dibandingkan negara-negara lainnya.
Lebih dari 100 ribu warga AS terkena tembakan setiap tahunnya. Dari angka tersebut, 30 ribu di antaranya berujung tewas.
Hal ini sangat berbeda dengan yang terjadi di negara lain, seperti Inggris. Di negara tersebut, kasus penembakan terakhir terjadi pada 2010 silam. Seorang pria bernama Derrick Bird melepaskan tembakan secara acak ke segala arah.
Dalam peristiwa yang terjadi di wilayah Cumbria itu, 12 orang tewas dan 11 lainnya luka parah. Sebelumnya, kasus penembakan di Inggris terjadi pada 1996 di Sekolah Dunblane, Skotlandia. 16 pelajar dan satu guru menjadi korbannya.
Bebas Diperjualbelikan
Anggapan bahwa AS adalah surganya senjata api adalah benar adanya. Dari data International Journal of Criminal Justice Sciences, diketahui bahwa ada angka kepemilikan senjata api begitu besar di negara adidaya tersebut, mencapai 88 senjata per 100 warga.
Data lain dari organisasi Small Arms Survey (SAS) menyebutkan, AS menjadi eksportir dan importir senjata api terbesar di dunia. Mengalahkan Italia dalam hal ekspor dan Kanada dalam hal impor.
Tingginya kepemilikan senjata api di AS tidak lepas dari sejarah negara tersebut. Dilansir dari Washington Post, senjata berbentuk pistol umum dibawa-bawa oleh para koboi pada zaman dulu.
Hal itu terus berlanjut hingga tahun 1934. Ditemukannya fitur yang bisa memuntahkan banyak peluru dalam waktu singkat membuat senjata otomatis banyak disukai oleh para gangster seperti Al Capone, Pretty Boy Floyd serta Bonnie and Clyde.
Akhirnya, Franklin D Roosevelt sebagai Presiden AS saat itu mengeluarkan aturan soal kepemilikan senjata. Semua pembuatan dan transaksi tiap pucuk senjata harus membayar pajak sebesar US$200 (sekitar US$3.500 atau Rp47 jutaan untuk ukuran saat ini).
Empat tahun kemudian, aturan tersebut semakin diperketat. Setiap penjual wajib terdaftar secara hukum dan mendata semua orang yang membeli senjata di toko mereka.
Presiden AS John F Kennedy (kanan) dan Jacqueline Bouvier Kennedy (kiri) saat turun dari pesawat. (JFK Library/The White House/Cecil Stoughton)
Tewasnya Presiden John F Kennedy, Robert Kennedy dan Martin Luther King, membuat pengganti JFK, Lyndon B Johnson mengeluarkan aturan yang diberi nama Gun Control Act of 1968.
Aturan tersebut hingga saat ini menjadi acuan dasar kepemilikan senjata di AS. Salah satu pasal di dalamnya memuat tentang larangan menjual senjata ke narapidana, pengedar narkoba dan mereka yang menderita gangguan jiwa.
Peredaran senjata otomatis atau senapan mesin juga dibatasi oleh aturan Firearm Owners Protection Act of 1986. Dalam aturan ini, semua senjata otomatis yang dibuat pasca 19 Mei 1986 tidak boleh diperjualbelikan ke warga sipil.
Pada 1993, muncul aturan The Brady Handgun Violence Prevention Act yang mewajibkan pembeli senjata untuk diperiksa latar belakangnya oleh FBI. Hal ini dimaksudkan untuk mengetatkan perdagangan senjata di negara tersebut.
Bisa Dimodifikasi
Berbeda dengan AS, syarat warga sipil untuk bisa memiliki senjata di Inggris dan Jepang jauh lebih ketat. Inggris hanya memperbolehkan senjata dengan panjang laras 30 sentimeter atau lebih untuk diperjualbelikan.
Jenis senjata yang diperbolehkan juga terbatas. Model senapan serbu semi otomatis maupun otomatis dan pistol sama sekali tidak diperbolehkan dibeli warga sipil.
Bahkan, warga Jepang juga harus memiliki lisensi khusus hanya untuk memegang senjata. Memiliki pedang yang tajam dan dapat membahayakan orang lain juga tidak diperbolehkan.
Sementara di AS, masing-masing negara bagian memiliki aturan sendiri. Negara bagian Nevada membolehkan warganya untuk memiliki senjata tanpa izin khusus. Model senjata yang dimiliki juga tidak dibatasi.
Namun, untuk bisa memiliki senjata otomatis seperti M-16, AK-47 atau Styer membutuhkan biaya yang cukup banyak. Sebab, jenis senapan tersebut itu dibatasi jumlah peredarannya, karena masuk dalam kategori senjata otomatis. Harganya bisa mencapai puluhan ribu dolar AS per pucuk.
Sejumlah senjata api ditampilkan di Scottdale, Arizona, AS. (REUTERS/ Joshua Lott)
Harga yang mahal membuat sebagian orang memodifikasi versi semi otomatis dari M-16, yakni AR-15, agar bisa memuntahkan peluru sebanyak mungkin hanya dalam satu kali tekanan pada tuas pemicu.
Meski modifikasi senjata semi otomatis menjadi otomatis adalah hal yang ilegal di AS, namun ada cara lain yang bisa dilakukan pemilik senjata tanpa perlu melanggar undang-undang. Cara yang dimaksud yakni dengan menambahkan sebuah alat yang diberi nama “bump”. Alat ini tersedia secara bebas dengan harga sekitar US$350.
Fungsinya mengakali pelatuk agar terkokang secara otomatis setiap kali peluru melesat. Alat tersebut juga menggantikan fungsi tuas pemicu, sehingga penembak cukup sekali saja menekan tuasnya.
Menurut kepolisian Las Vegas, Paddock memodifikasi belasan pucuk senjata miliknya agar bisa melesatkan puluhan peluru dalam waktu beberapa detik. Hal itu yang menyebabkan banyak warga tak berdosa menjadi korban.
Memberi Rasa Aman
Meski banyak terjadi kasus penembakan, namun hal itu tidak membuat minat akan senjata api di AS menurun. Lantas, apa yang membuat warga AS memiliki keinginan besar untuk membeli senjata api?
Dilansir dari The Guardian, alasan umum seseorang membeli sepucuk senjata adalah untuk melindungi diri. Seperti memiliki anjing penjaga, menyimpan pistol di rumah bisa memberi rasa aman bagi pemiliknya. Senjata api bisa jadi alat penghalau saat ada perampok masuk ke dalam rumah.
Keinginan membeli pistol atau senapan semakin besar, jika senjata api adalah hal yang umum dimiliki orang-orang yang ada di lingkungan Anda. Alasan kedua mengapa senjata api begitu dibutuhkan adalah karena digunakan sebagai alat rekreasi. Bagi beberapa orang, menembak adalah olahraga yang keren dan menarik untuk dijalani.
Senjata api juga marak karena banyak warga AS yang membutuhkan sebuah hobi. Mengoleksi senjata dan mengetahui sejarahnya bisa menjadi sebuah hobi yang mengasyikkan bagi mereka.
Namanya hobi, pasti ada lebih dari satu jenis senjata yang dimiliki. Alhasil, senjata api menjadi sebuah tren, dan para penggemarnya berlomba-lomba untuk mendapatkan model yang unik dan tidak umum tersedia di pasaran.
Setiap tahun, para penggemar senjata api di masing-masing negara bagian mengadakan acara kumpul-kumpul. Acara ini dimanfaatkan para produsen untuk menawarkan produk terbaru. Sayangnya, transaksi senjata ilegal juga bisa terjadi melalui acara seperti ini.
Aktivitas warga saat akhir pekan di Amerika Serikat. (REUTERS/Joshua Roberts)
Pemerintah AS bukannya lepas tangan atas banyak kejadian buruk yang diakibatkan oleh mudahnya mendapatkan sepucuk senjata. Berkali-kali revisi aturan mengenai senjata api diusulkan, namun selalu gagal diimplementasikan menjadi undang-undang.
Mantan Presiden AS, Barrack Obama, bahkan sempat berencana untuk memperketat kepemilikan senjata di negara tersebut. Sayangnya, hal itu tidak berhasil diterapkan sebelum ia digantikan oleh Donald Trump.
Akibatnya, kasus penembakan brutal oleh warga sipil bersenjata api terus berlanjut. Makin bertambah pula korban-korban tak bersalah yang meregang nyawa sia-sia. (ren)