Kembali ke Indonesia Raya Tiga Stanza
- ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
VIVA – Batavia, 28 Oktober 1928. Hening. Tak ada suara lain selain lantunan musik indah nan syahdu. Meski hanya melodi, tanpa sebait lirik pun, lantunan nada-nada yang mengalir dari gesekan biola pemuda 25 tahun itu membuat bulu kuduk seluruh anak muda yang hadir berdiri. Tak sedikit pula yang menitikkan air mata.
Seperti itulah yang dirasakan para peserta Kongres Pemuda Kedua saat lagu Indonesia Raya dikumandangkan untuk pertama kalinya di Gedung Indonesische Clubgebouw (sekarang Museum Sumpah Pemuda) di Jalan Kramat Raya 106.
Kala itu yang diperdengarkan hanya alunan musiknya saja, lewat gesekan senar biola yang dimainkan langsung oleh sang pencipta lagu, Wage Rudolf Soepratman atau yang dikenal dengan W.R Soepratman.
Sebenarnya Wage telah menciptakan lagu Indonesia Raya pada tahun 1924 di Bandung, saat usianya masih 21 tahun. Penulis sekaligus jurnalis itu merasa tergelitik setelah membaca suatu kolom di sebuah majalah yang isinya menantang ahli-ahli musik Indonesia menciptakan lagu kebangsaan.
Diorama WR Supratman saat memainkan lagu Indonesia Raya. (ANTARA FOTO/ Puspa Perwitasari)
Meski harus menunggu empat tahun untuk memperdengarkan lagu ciptaannya, semua terbayar dengan efeknya yang luar biasa. Lagu ciptaannya telah berhasil memantik semangat nasionalisme rakyat Indonesia. Hanya sekali diperdengarkan, namun melodinya begitu terpatri di ingatan para pemuda yang hadir. Nada-nadanya pun disiulkan orang di mana-mana.
"28 Oktober 1928 diterima dengan antusiasme luar biasa. Setelah penutupan kongres itu, bahkan sampai sekarang, pada pertemuan para pribumi masih terdengar siulan melodi lagu ini, khususnya di kalangan pramuka.” Demikian tertulis dalam catatan laporan seorang perwira intelejen kolonial pada Desember 1928 mengenai Kongres Pemuda Kedua.
Lirik Indonesia Raya sendiri pertama muncul pada 10 November 1928, barulah kemudian syair lagu Indonesia Raya dimuat di Koran Simpo. [Baca juga: Senandung Bait Perjuangan]
Sayang, banyak yang tak tahu bahwa ketika Wage menciptakan lagu Indonesia Raya, yang tercipta bukanlah lagu kebangsaan yang kita kenal selama ini. Apa yang kemudian dinyanyikan warga negara Indonesia di seluruh penjuru Nusantara setiap upacara bendera saat ini, dan selama puluhan tahun belakangan hanyalah sebagian, atau sepertiga dari lagu Indonesia Raya yang sebenarnya.
Padahal total ada tiga stanza yang diciptakan Wage. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, stanza berarti kumpulan larik sajak yang menjadi satuan struktur sajak, ditentukan oleh jumlah larik, pola matra atau rima (bait). [Lihat Infografik: Indonesia Raya dari Masa ke Masa]
***
Hilangnya Bagian Syair
Sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Marwan Adam mengatakan, tidak diketahui secara persis sejarahnya Indonesia Raya bisa berubah dari tiga menjadi satu stanza. Begitu pula soal alasan dibuatnya perubahan-perubahan pada lirik atau syairnya.
Sebelum Wage meninggal pada tahun 1938, di zaman penjajahan Jepang, juga sempat dibentuk Panitia Negara lagu kebangsaan untuk melakukan perubahan. Tapi yang diubah bukan syairnya, melainkan partiturnya menjadi keroncong.
"Menurut saya itu agar lebih mudah saja dipahami oleh masyarakat ketika itu, dan kemudian menjadi habit (kebiasaan) di masyarakat menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan satu stanza. Karena memang sepengetahuan saya itu tidak pernah ada kewajiban atau perintah menyanyikan itu dari tiga menjadi hanya satu stanza," ujar Asvi kepada VIVA beberapa waktu lalu.
Direktur Kesenian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Restu Gunawan juga mengatakan, di tahun 1944, Indonesia Raya sudah mulai dibentuk atau dibakukan sebagai lagu kebangsaan, karena ketika itu sudah ada Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Waktu itu judulnya masih Indonesia, kemudian Ir Soekarno menggantinya menjadi Indonesia Raya. Sampai pada tahun 1945 atau di masa kemerdekaan, Indonesia Raya masih dinyanyikan secara lengkap atau sebanyak tiga stanza.
Namun, karena liriknya yang cukup panjang, ketika itu orang-orang menyanyikan lagu itu masih belum 'seragam'. Baru sekitar tahun 1958, lagu tersebut dipatenkan secara orkestra oleh Joseph Claber, seniman Belanda yang diminta oleh pemerintah Indonesia untuk mengubah aransemen dari keroncong ke orkestra, yang kemudian diputar di radio RRI. Tapi, penyesuaian yang dilakukan Claber itu juga bukan perubahan makna. Hanya perubahan partitur-partiturnya.
"Baru kemudian terbitlah Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958 yang mengatur tentang syairnya dan lain sebagainya, karena waktu itu syairnya kan banyak yang beda-beda juga kan menyanyikannya. Barulah dipatenkan di situ, kalau dinyanyikan tiga stanza itu seluruhnya dinyanyikan. Tapi kalau dinyanyikan satu stanza, dinyanyikannya dengan cara setelah di bait terakhir itu ada pengulangan bait, seperti yang biasa dinyanyikan saat ini," kata Restu.
Pemain musik mengiringi paduan suara saat proses perekaman ulang lagu Indonesia Raya di Lokananta, Solo, Jawa Tengah. (ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha)
Selain PP Nomor 44 tahun 1958, ketetapan lain yang mengatur soal itu ada di Undang-undang Nomor 24 Tahun 2009. Tetapi, kata Restu, sebenarnya tidak ada aturan yang menyatakan lagu Indonesia Raya harus dinyanyikan satu stanza. Artinya, menyanyikan satu atau tiga stanza diperbolehkan.
"Memang di Pasal 59 ayat 1 huruf e UU Nomor 9 Tahun 2010 tentang Keprotokolan itu hanya mengatur urutan Upacara Bendera. Jadi yang diatur itu urutan upacara benderanya saja, tidak ada yang mengatur atau mewajibkan menyanyikan itu harus satu atau tiga stanza saja. Di dalam PP Nomor 62 Tahun 1990 juga tidak mengatur," ucap Restu.
Lantas mengapa Indonesia Raya yang dikenal dan dinyanyikan selama ini hanya satu stanza?
Menurutnya, sebelum PP tersebut dibuat, sudah banyak juga orang yang menyanyikannya dalam satu stanza. "Logikanya kan lagu tiga stanza itu durasinya 4 menit 20 detik. Ketika itu semangat kemerdekaan rakyat Indonesia sangat tinggi. Menyanyikan lagu itu bisa membangkitkan gelora kebangsaan. Ada orang yang menyanyikan tiga stanza tidak selesai karena panjang. Ada orang yang menyanyikan tiga stanza sampai habis," ujarnya.
Jadi diseragamkanlah dengan dibuatnya PP tadi di bawah kepemimpinan Soekarno. Rakyat Indonesia diperbolehkan menyanyikannya Indonesia Raya dalam satu atau tiga stanza, dengan aturan yang berbeda-beda. Tapi tidak ada aturan yang mengatakan wajib menyanyikan satu stanza.
***
Nasionalisme dalam Tiga Stanza
Lagu Indonesia Raya tiga stanza kini kembali didengungkan oleh pemerintah. 28 Oktober 2016 menjadi kali pertama Kemendikbud RI menggelar upacara dengan menyanyikan Indonesia Raya tiga stanza di Taman Ismail Marzuki. Sejak itu, setiap upacara bendera, Kemendikbud RI selalu mengumandangkan versi lengkap Indonesia Raya.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud RI Hilmar Farid lah yang pertama kali memiliki ide untuk mengembalikan Indonesia Raya ke versi yang utuh itu. Menurut sejarawan lulusan Universitas Indonesia ini, ada dua alasan mengapa Indonesia Raya tiga stanza digaungkan kembali. Pertama karena alasan historis.
Sejarah lagu ini memang tiga stanza. Tidak kurang, tidak lebih. Baginya, tak jadi masalah jika selama ini Indonesia Raya dinyanyikan hanya satu stanza karena alasan praktis, lebih singkat dan lain-lain. Tapi, ia mengatakan itu bukan berarti kita mengabaikan fakta bahwa Indonesia Raya memiliki tiga stanza.
Alasan kedua, pendidikan dan pembangunan karakter. Jika diperhatikan, syair stanza kedua dan ketiga memiliki makna yang luar biasa. Jadi Indonesia Raya tiga stanza merupakan satu kesatuan yang maknanya hanya bisa tersampaikan dengan baik dengan menyanyikannya secara utuh.
"Sebetulnya enggak bisa dipisah, karena satu kan, 'Marilah kita berseru Indonesia bersatu'. Baru sampai pada seruan. Yang keduanya, 'Marilah kita mendoa Indonesia bahagia'. Yang ketiga, 'Mari kita berjanji Indonesia abadi'," ujarnya saat ditemui VIVA di kantornya, di kawasan Sudirman, Jakarta, Kamis, 9 November 2017.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbud RI Hilmar Farid saat ditemui VIVA.co.id di Jakarta. (VIVA/M Ali Wafa)
Ia menekankan, bahwa lagu Indonesia Raya tak bisa dipisah sebagai teks. Ibarat baca puisi, baru bait pertama. Itulah mengapa ia merasa sebuah kesalahan jika pihaknya tidak memperkenalkan tiga stanza tersebut kepada anak-anak sekolah.
"Apalagi teksnya itu mengandung pesan-pesan yang luar biasa. Dibilang, 'Selamatlah rakyatnya, selamatlah putranya, pulaunya, lautnya, semuanya'. Jadi sangat membangkitkan nasionalisme," kata Hilmar.
Sebenarnya, Hilmar menuturkan, selama ini sudah ada organisasi-organisasi kemasyarakatan yang menyanyikan Indonesia Raya tiga stanza. Hanya saja kurang dikenal luas karena dinilai terlalu panjang, sedangkan waktu upacara terbatas.
Lalu, kenapa baru sekarang pemerintah menggaungkan kembali tiga stanza lagu kebangsaan Indonesia?
Hilmar menilai karena momen yang tepat. Ia melihat belakangan banyak sekali pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang Indonesia, banyak isu perbedaan, identitas dan kegelisahan yang sedang dialami bangsa ini. Apalagi di era teknologi digital, kehidupan sosial warga Indonesia juga tengah mengalami transformasi.
"Banyak anak lebih merasa sebagai warga dunia daripada warga Indonesia. Bahkan menganggap Indonesia mungkin cuma paspor atau KTP (Kartu Tanda Penduduk). Jadi kita melihat kenyataan-kenyataan ini, rasanya perlu sesuatu yang secara efektif bisa 'mengikat' orang," ucapnya.
Memang tidak cukup hanya dengan lagu untuk mengembalikan rasa nasionalisme, tapi paling tidak, kata Hilmar, dari lagu ini pihaknya mendapat respons yang positif dan muncul resonansinya. Secara emosional, orang akan memikirkan kembali apa yang pernah dilakukan pendiri bangsa ini.
"Mereka bikin lagu dan kita perhatikan, cerita-cerita orang di zaman itu kan mereka selfless (tidak egois). Seperti kayak enggak ada kepentingannya dia. Segalanya untuk (kepentingan) yang lebih besar. Itu yang defisit sekarang kan," katanya.
Sementara sekarang semua selalu berpikir, 'Untungnya buat gue apa?'. Padahal karakter orang zaman dulu, cara berpikirnya enggak begitu. Memang tidak salah memikirkan kepentingan sendiri, namun kata Hilmar, seharusnya tidak terlalu ekstrem, melupakan bahwa sebetulnya ada ikatan-ikatan kolektif.
"Dan, itu lagu dan ceritanya WR Soepratman sendiri sangat membantu. Ada filmnya sekarang. Orang bisa lihat. Hidupnya (Wage) susah, mikirin lagu kebangsaan, makan aja enggak," ujarnya menambahkan.
***
Belum Diwajibkan
Sejarawan Asvi mengungkapkan Indonesia Raya yang utuh memiliki makna yang lebih kaya, karena pada stanza dua dan tiga digambarkan tentang kekayaan alam. Dan sebagai warga negara Indonesia, wajib mengetahui dan memahami bahwa kita adalah bangsa yang memiliki kekayaan alam seperti yang ada di dalam lirik tersebut, dan wajib menjaganya.
"Jadi ini memang harus diketahui oleh bukan hanya siswa atau pelajar di sekolah, tapi oleh seluruh warga negara Indonesia," ujarnya.
Meski begitu, Kemendikbud RI mengaku belum mewajibkan seluruh masyarakat dan elemen-elemen pemerintahan menyanyikannya. Hilmar mengatakan, Kemendikbud RI sudah mengeluarkan surat edaran tentang menyanyikan lagu tiga stanza ke sekolah-sekolah di Indonesia. Tentu saja surat edaran sifatnya bukan perintah. Karena kalau perintah tentu harus melalui peraturan menteri.
"Kalau surat edaran itu sifatnya imbauan lah dan banyak sekolah yang sudah menjalankan itu sebenarnya," ucapnya.
Sejumlah anggota TNI, polisi, dan anggota berbagai ormas khidmat mengikuti upacara dan apel kebangsaan bertajuk Solo Merah Putih di Monumen Banjarsari, Solo, Jawa Tengah. (ANTARA FOTO/Maulana Surya)
Sedangkan jika bicara diwajibkan, Hilmar berpendapat hal tersebut masih sulit dilakukan karena terkait dengan cara menyelenggarakan upacara bendera. Pedoman upacara di Indonesia terakhir dibuat tahun 1881 dan memang pas dengan lagu satu stanza, karena Indonesia Raya dibunyikan bersamaan dengan naiknya Sang Saka Merah Putih.
"Kalau 4,5 menit (menyanyikan Indonesia Raya tiga stanza) bagaimana Paskibraka? Jadi soal-soal yang teknikal kayak gini belum selesai. Saya juga mendorong di sini diskusi, karena sebetulnya enggak apa-apa. Secara teknis, satu stanza sambil bendera naik, dua stanzanya kan bendera berkibar. Kan enggak apa-apa. Cuma diputuskannya, ditetapkan, disosialisasikan itu butuh waktu," kata Hilmar.
Restu juga menjelaskan bahwa tiga stanza masih dalam tahap imbauan, karena kalau bicara diwajibkan, bukan merupakan ranah Kemendikbud RI. "Karena itu kan ranahnya tata urutan upacara-upacara resmi kenegaraan atau keprotokoleran, mungkin itu ranahnya Sesneg atau lintas kementerian lah ya," ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa imbauan itu hanya diperuntukkan bagi sekolah-sekolah, bukan untuk dinyanyikan di upacara kenegaraan. Itu karena tata urutan upacara kenegaraan atau militer mengacu pada UU tentang upacara keprotokoleran itu.
"Itu sudah lintas kementerian dan lembaga. Kalau kita ini hanya sebatas ranah pendidikan saja, jadi hanya untuk yang di sekolah-sekolah dan itu juga sifatnya bukan mengharuskan menyanyikan tiga stanza dalam artian yang satu stanza itu salah. Tidak. Ini agar anak-anak bisa mengenal serta menghayati lagu serta lirik yang terkandung dalam syair di lagu tiga stanza itu," ucap Restu.
Dia lantas mengatakan bahwa tidak akan ada sanksi bagi sekolah yang tetap menyanyikan satu stanza. Bicara sosialisasi, sudah dibuat pula situs khusus mengenai Indonesia Raya, di mana terdapat lirik, sejarah, musik minus one dan data-data pendukung lain yang bisa diunduh.
***
Respons Positif
Langkah mensosialisasikan lagu Indonesia Raya tiga stanza dibanjiri respons positif dari berbagai kalangan, termasuk musisi. Salah satunya Kikan, eks vokalis Band Cokelat yang baru mengetahui tiga stanza setelah melihat transkrip aslinya di makam WR Soepratman. Saat itu ia memang tengah mengulik lagu kebangsaan karena berencana ingin membawakan lagu Indonesia Raya sesuai versinya.
Menurutnya, mensosialisasikan tiga stanza merupakan hal positif bagi anak-anak muda dan generasi saat ini. Tentu saja langkah tersebut juga menjadi kemajuan bagi pendidikan karena lagu-lagu kemerdekaan Indonesia memiliki peran yang luar biasa besar dalam memantik semangat nasionalisme dan patriotisme.
"Musik itu energinya luar biasa, alat, tools yang bisa gerakin, bisa nyentuh sensor langsung tiap orang. Ngomong lagu keseluruhan, rangkaian notasi, melodi, mayoritas itu punya ikatan kuat dengan area yang memang merekam musik dengan kuat, tidak hanya di otak, tapi di hati dan jiwa," ujarnya.
Hal tersebut diamini musisi sekaligus pengamat musik Bens Leo. Ia menuturkan bahwa stanza dua dan tiga adalah 'pendalaman' dari stanza satu Indonesia Raya. Bens juga mengatakan, dalam dua stanza itu benar-benar tergambar bagaimana cara kita mencintai negara, ikut berjuang untuk mencapai dan sekarang mengisi kemerdekaan.
"Lagu Indonesia Raya tiga stanza mengandung pesan cinta Indonesia, dan penulisan lagu itu untuk dibawakan pertama kali pada Kongres Pemuda Kedua tahun 1928 adalah bentuk spirit cinta Tanah Air dengan keinginan pemuda untuk merdeka," kata dia.
Penyanyi Kikan menghibur penonton saat acara peringatan Pekan Pancasila di Jakarta, membawakan sejumlah lagu kebangsaan Indonesia. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)
Tak hanya dari kalangan musisi, masyarakat pun juga turut memberikan respons positif. Irwan Alyani, Guru SMP YAPAN Indonesia, Sawangan Depok, Jawa Barat mengaku setuju pemerintah menggaungkan kembali tiga stanza Indonesia Raya, agar rakyat tergugah dengan lirik yang lebih mendalam tentang identitas bangsa.
"Dalam liriknya menjelaskan banyak tentang ajakan sebagai bangsa, nasionalis untuk selalu mencintai, melindungi tanah kelahiran kita, Indonesia," ucapnya.
Ronald, seorang karyawan swasta juga mengatakan bahwa dulu semasa masih duduk di bangku SD, SMP dan SMA, ia hanya menyanyikan lagu Indonesia Raya satu stanza. Padahal, setelah mengetahui, lirik lagunya yang utuh punya makna yang jauh lebih dalam.
"Tapi masih banyak yang tidak hafal semua. Saya saja yang hafal cuma yang lama saja (satu stanza). Mungkin kalau ada acara atau upacara perlu ditampilkan teks di layar khusus untuk beradaptasi," kata pria asal Depok berusia 30 tahun itu.
Nafisco, warga Cipete, Jakarta Selatan juga mendukung sosialisasi Indonesia Raya tiga stanza. "Ajarilah kepada kids zaman now. Terus diaplikasikan. Sering-sering diputar di TV, radio, di mana-mana. Diaransemen ulang dengan genre kekinian," ujarnya.
***
Lirik Indonesia Raya Tiga Stanza
Berikut adalah lirik lengkap lagu Indonesia Raya tiga stanza, dikutip dari laguindonesiaraya.id, Jumat, 10 November 2017.
Stanza I
Indonesia tanah airku,
Tanah tumpah darahku,
Di sanalah aku berdiri,
Jadi pandu ibuku.
Indonesia kebangsaanku,
Bangsa dan tanah airku,
Marilah kita berseru,
Indonesia bersatu.
Hiduplah tanahku,
Hiduplah neg'riku,
Bangsaku, Rakyatku, semuanya,
Bangunlah jiwanya,
Bangunlah badannya,
Untuk Indonesia Raya.
Reff:
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg'riku yang kucinta!
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya.
Stanza II
Indonesia, tanah yang mulia,
Tanah kita yang kaya,
Di sanalah aku berdiri,
Untuk s'lama-lamanya.
Indonesia, tanah pusaka,
P'saka kita semuanya,
Marilah kita mendoa,
Indonesia bahagia.
Suburlah tanahnya,
Suburlah jiwanya,
Bangsanya, Rakyatnya, semuanya,
Sadarlah hatinya,
Sadarlah budinya,
Untuk Indonesia Raya.
Reff:
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg'riku yang kucinta!
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya.
Stanza III
Indonesia, tanah yang suci,
Tanah kita yang sakti,
Di sanalah aku berdiri,
N'jaga ibu sejati.
Indonesia, tanah berseri,
Tanah yang aku sayangi,
Marilah kita berjanji,
Indonesia abadi.
S'lamatlah rakyatnya,
S'lamatlah putranya,
Pulaunya, lautnya, semuanya,
Majulah Neg'rinya,
Majulah pandunya,
Untuk Indonesia Raya.
*Reff:
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg'riku yang kucinta!
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya.
*)diulang 2x
(umi)