Bajakan Si Pelaris
- ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman
VIVA – Lelaki berperawakan sedang itu berjongkok, sambil menata tumpukan buku di serambi kiosnya. Dia pungut tiga buku, lalu menegakkan mereka di atas tumpukan ratusan lainnya yang sudah disusun, baik dalam posisi rebah hingga bertingkat-tingkat.
Sesekali dia mengibas-ngibaskan pembersih debu dari bulu ayam pada permukaan buku paling atas yang tertutup abu tipis. Dia menggeser sekira empat jengkal letak jongkoknya untuk memeriksa tumpukan lain. Di sana dia menemukan lapisan debu lebih tebal dari yang semula. Segera saja disapukannya kemoceng yang mulai rontok helai-helai bulunya itu.
Pria itu mengerling kala seseorang menghampiri lapaknya dengan tatapan memeriksa pada beberapa buku yang ditegakkan tadi. Setelah menoleh lalu meletakkan kemoceng di sebelah tempatnya berjongkok, dia menyapa, "Cari buku apa, Mas?" Dia menggeleng ketika disebut buku Bumi Manusia karangan Pramoedya Ananta Toer.
Dua buku Sang Pemuda dan Bumi Manusia di sentra buku Kampoeng Ilmu Surabaya. (VIVA/Nur Faishal)
Tak menjual karya si pengarang legendaris itu bukan berarti ia hilang akal. Penjual itu lalu mengambil dua buah buku dengan nama pengarang yang sama dan menyodorkannya: Sang Pemuda dan Cerita dari Blora. Di sampul buku tertulis nama penerbit Hasta Mitra. Masing-masing dihargai berbeda, empat puluh ribu rupiah untuk Sang Pemuda dan tiga puluh ribu rupiah untuk Cerita dari Blora.
Mul, begitu lelaki itu biasa disapa rekan-rekan sesama pedagang buku di sentra buku Kampoeng Ilmu di Surabaya itu, menunjuk novel lain yang dipajang. Buku baru. Novel percintaan yang lagi beken di kalangan muda-mudi, Matahari dan Bintang karangan Tere Liye serta Dilan dan Milea karya Pidi Baiq. Semua terbitan Gramedia Pustaka Utama.
Buku-buku itu dibanderol sama-rata: Rp25.000. Tebal buku-buku itu sebenarnya tak jauh beda: tiga ratus sampai empat ratus halaman. Hanya Matahari yang paling tebal, 400 halaman; dan yang lebih tipis Dilan, 348 halaman. Di toko buku Gramedia, novel Matahari dan Bintang masing-masing seharga Rp88.000, sementara Dilan dan Milea masing-masing Rp79.000.
Mul tak mengungkap dengan terang mengapa buku-buku yang disebut terakhir itu berharga jauh lebih murah. Namun dia menyiratkan alasan mengapa harga bukunya berbanderol miring. "Dicetak ulang, Mas,” katanya, merujuk pada buku-buku baru yang tergolong laris. “Kalau buku lama,” ujarnya menunjuk Sang Pemuda dan Cerita dari Blora, “ada yang fotokopian."
Pemeriksaan sekilas pada fisik buku itu tampak tak ada yang berbeda. Tapi jika dilihat lebih saksama, permukaan sampul bukunya rata, tak ada bagian yang timbul pada cetakan huruf-huruf judulnya. Kertas pada bagian isi novel itu berbahan kertas buram. Tinta pada tulisan juga terlihat pudar di sejumlah halaman.
***
Bajakan alias Aspal
Buku-buku sejenis di kios Mul dapat ditemui di beberapa lapak lain pada kompleks sentra buku seluas sekira lapangan sepak bola yang terletak di Jalan Semarang itu. Namun tak ada yang memberikan penjelasan lebih terang sebab harga buku-buku semacam itu lebih miring.
Penjelasan agak terang diperoleh VIVA dari seorang pedagang buku yang biasa berburu di Kampoeng Ilmu, sebut saja inisialnya SN. Dia sudah malang-melintang di dunia perbukuan sejak 1990-an, di Jakarta, Yogyakarta, dan kini membuka lapak di sebuah kampus perguruan tinggi di Surabaya.
SN mengakui bahwa jalur dagang ilegal di dunia buku bukan perkara baru. Dia juga kadang bersentuhan bila ada pesanan dari luar. Dia bercerita pengalamannya memborong buku Kamus Bahasa Inggris karya John M Echols. "Pesanan orang,” katanya memulai berkisah saat ditemui VIVA pada Kamis, 26 Oktober 2017, “saya carikan di Jalan Semarang."
Untuk memenuhi pemesan, SN mengaku mencari kamus John Echols di lapak-lapak pedagang buku di Jalan Semarang. Harga buku orisinal kamus itu Rp102 ribu, namun si pemesan bilang ada yang berbanderol Rp40 ribu. Dia menyanggupi karena pesanan cukup banyak dengan kualitas lumayan. “Saya dapatnya di Jalan Semarang," katanya.
Soal jalur buku bajakan, SN menyebut dua jalur, yakni jaringan Yogyakarta dan Malang. Dari dua jalur itu, dia mengaku terkadang membeli di Yogyakarta jika ada yang memesan, itu pun untuk buku terbitan luar negeri. Dia tak berani memesan buku-buku terbitan dalam negeri yang kategori bajakan dari Yogyakarta, karena kualitasnya nyaris menyerupai produk asli. Para pedagang, katanya, biasa menyebut produk itu sebagai “aspal”, akronim dari asli tapi palsu.
Sedangkan buku-buku imitasi yang beredar di Surabaya, SN mengaku tidak tahu persis dari mana. Tetapi dia sering mendengar dari sesama pedagang bahwa buku di Jalan Semarang kebanyakan disuplai dari jaringan Malang.
Demi menjaga nama kampus tempatnya membuka lapak, SN menegaskan bahwa buku yang dijual di lapaknya semua asli. Dia tak mau ambil risiko dengan menjual produk bajakan. Umpama ada yang memesan buku bajakan, tentu tak dijual juga di lapaknya, hanya untuk si pemesan.
Dua kota yang disebut SN sebagai penyuplai buku bajakan, Yogyakarta dan Malang, sebenarnya tak jelas betul identitas kelompok maupun jaringannya. Beberapa pedagang buku di sentra buku Taman Pintar Book Store, Yogyakarta, mengelak ketika dikorek-korek seputar buku bajakan. Mereka memastikan tak menjual buku-buku bajakan. Kalau pun ada buku yang berharga jauh lebih murah, para pedagang mengklaim, belum tentu produk bajakan.
Buku-buku yang dijual di sentra buku yang lebih dikenal dengan nama Shopping Center itu semua disuplai distributor atau langsung dari penerbit. Soal harga, termasuk kualitasnya yang menentukan produk asli atau bajakan, semua ditetapkan distributor dan penerbit; para pedagang hanya menjual.
“Kalaupun itu bajakan,” menurut Sumadi, seorang penjual buku di Shopping Center pada Rabu, “distributor buku yang memalsunya, bukan kita yang sengaja menjual buku bajakan.” Produk yang disuplai langsung penerbit, dia berargumentasi, jelas mustahil barang bajakan. “Penerbit, kan, tidak mungkin membajak bukunya sendiri.”
Saut, pedagang lain yang lapaknya berdampingan dengan lapak Sumadi, mengajukan argumentasi serupa. Dia juga tak mengulak sendiri buku-buku yang dijualnya, melainkan dari agen atau distributor. Mahal atau murah buku yang dijualnya, semua bergantung harga yang ditetapkan distributor, begitu juga kalau ada potongan harga.
“Kalau pun itu bajakan, berarti distributor yang curang,” katanya. Dia melemparkan tanggung jawab kepada distributor kalau ada buku yang ternyata aspal. Alasannya, dia menegaskan, tak tahu asal-usul buku-buku yang dijualnya selain bahwa itu dari distributor.
Keterangan sedikit lebih jelas ihwal buku imitasi didapat dari pedagang buku di sentra buku Kwitang, kawasan Pasar Senen, Jakarta Pusat. Di kompleks lapak-lapak buku tempat salah satu adegan dalam film Ada Apa dengan Cinta? itu dapat ditemui produk-produk berharga miring. Para pedagang di sana menyebutnya produk KW, kependekan dari kwalitas, namun merujuk pada tingkatan mutu: KW1 berarti bajakan dengan kualitas nomor satu; KW2 bermakna bajakan dengan kualitas nomor dua.
Seorang pedagang berinisial AS, yang ditemui pada Kamis lalu, awalnya ragu-ragu mengakui keberadaan buku-buku bajakan di kompleks Kwitang. Tapi dia akhirnya menyingkap sedikit dengan menyebut istilah KW. Jumlah sebenarnya tak banyak. Dia bilang “ada beberapa” meski tak diperinci kisarannya. Sebagian besar konsumennya adalah kalangan mahasiswa yang berburu buku murah, rata-rata untuk keperluan tugas reguler kuliah atau tugas akhir semacam skripsi.
Pria berusia 49 tahun itu, dengan rona seolah memohon dimaklumi, bahkan berani menyebut hampir semua pedagang buku di Jakarta pastilah menjual sekurang-kurangnya lima-sepuluh eksemplar buku KW. “Kalau kita tidak jual buku (KW) itu,” ujarnya berkilah, “gimana mau pelaris.” Lagi pula umumnya cuma buku-buku literatur kuliah, dan rata-rata hanya satu-dua judul.
Sentra buku Kampoeng Ilmu di Surabaya. (VIVA/Nur Faishal)
Pasokan buku-buku aspal itu, menurut AS, serupa dengan pola yang terjadi di Kampoeng Ilmu Surabaya atau Shopping Center Yogyakarta. Semua buku, produk bajakan atau orisinal, disuplai oleh distributor atau langsung dari penerbit. Khusus di Kwitang, katanya, biasanya bukan langsung distributor, melainkan melewati agen satu ke agen lain. Ketika sampai di lapak pedagang di Kwitang, biasanya sudah dari agen kedua atau ketiga.
Dapat dimengerti kala AS menyebut produk bajakan itu sebagai semacam pelaris. Alasan utamanya jelas harga yang jauh lebih murah dibanding buku-buku orisinal. Buku-buku orisinal literatur kuliah, AS mencontohkan, harganya bisa lebih seratus ribu. “Harga buku KW itu paling mahal tiga puluh lima ribu,” katanya.
Dia menolak menyebutkan contoh judul-judul buku yang biasanya muncul bajakannya, tapi rata-rata buku rujukan kuliah bagi mahasiswa semester satu sampai semester lima. Jadi, katanya, tak semua jenis atau judul buku yang dibajak karena mempertimbangkan permintaan pasar. Si pembajak pun, dia menganalisis, tak mungkin membajak semua buku tanpa memperhitungkan laku atau tidak. Biaya produksi membajaknya saja tidak murah, tapi “lakunya belum tentu, kan.”
AS berterus terang sering digelar razia buku-buku KW di Kwitang tapi pedagang sudah punya pola sendiri untuk menyiasatinya. Biasanya, buku-buku aspal diselipkan di antara buku-buku orisinal, terutama produk bekas. “Jadi tidak mudah terdeteksilah, kan, bercampur di sini.” Jumlahnya pun tak banyak, paling banyak sepuluh persen dari buku-buku asli.
***
Harga biangnya
Tak ada data pasti tentang jumlah pembajakan buku di Indonesia. Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) mengakui bahwa pembajakan memang masalah klasik yang tak pernah ada solusinya sampai sekarang. Modus operandinya, mulai yang sederhana semacam memfotokopi buku-buku orisinal untuk keperluan pribadi, misal, tugas kuliah; sampai yang lebih kompleks untuk kepentingan komersial yang bahkan melibatkan jejaring percetakan dan agen atau distributor.
Namun lembaga itu tak memiliki data akurat tingkat pembajakan. Satu hal yang jelas, “pembajakan sangat luar biasa di Indonesia, dan itu kadang-kadang terang-terangan,” kata Mapatutu, Sekretaris Ikapi, saat berbincang dengan VIVA di kantornya di Jakarta pada Kamis lalu.
Dia menganggap biang pembajakan itu ialah penegakan hukum yang lemah. Bahkan, katanya, kadang aparat Kepolisian pun tak memahami perkara perbukuan dan masalah pembajakannya. “Ketika kita melaporkan kasus pembajakan,” katanya mencontohkan, “terkadang aparat kita belum mengetahui atau belum bisa membedakan mana hak cipta, mana hak kekayaan intelektual, dan mana hak paten.” Itu saja sudah masalah sendiri, belum sampai pada upaya penegakan hukumnya.
Polisi tentu saja menepis tudingan itu. Aparat sesungguhnya tak menutup mata jika ditemukan praktik pembajakan buku. Tapi hal yang mesti dipahami publik ialah bahwa polisi memerlukan laporan atau pengaduan dari masyarakat.
“Selaku penegak hukum, polisi akan mengkaji dan mempelajari terlebih dahulu pembajakan yang dimaksud seperti apa; apakah itu plagiat atau mencetak tanpa izin dari penerbit aslinya. Polri selalu terbuka jika warga ingin membuat laporan polisi,” kata Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Hubungan Masyarakat Polri, Komisaris Besar Polisi Martinus Sitompul, kepada VIVA pada Jumat.
Pernyataan Martinus memang cenderung normatif. Namun dia menyangkal tuduhan polisi tak memahami perbedaan hak cipta, hak kekayaan intelektual, atau mana hak paten, seperti disebutkan Mapatutu. Dia menganggap penegakan hukum pada praktik pembajakan itu sebagai upaya bersama, tak hanya aparat penegak hukum tetapi masyarakat juga, untuk menghargai hak cipta dan hak kekayaan intelektual.
Masalahnya, kata Martinus, selalu saja ada orang atau kelompok yang menyalahgunakan karya cipta seseorang untuk kepentingan pribadi, terutama ekonomi. Buku-buku yang dibajak, dia menganalisis, biasanya buku yang terkategori laris atau best seller.Namun rincian buku-buku apa saja dibajak, termasuk jumlah atau tingkat kerugian, menurutnya, “Yang tahu tentu penulis atau penerbitnya.”
Pernyataan Mapatutu yang cenderung lebih menyalahkan aparat dikritik oleh Irwan Bajang, Pemimpin Redaksi Indie Book Corner, lembaga penerbitan independen. Memang, dia mengakui, belum ada pranata yang kompleks, aparat penegak hukum maupun sistem, yang mempersempit ruang pembajakan. Tetapi, masalahnya juga, Ikapi tampak lemah ketika dihadapkan pada faktaa praktik pembajakan. “Ikapi, misalnya, mereka juga tidak terlalu ketat, bahkan tidak banyak melakukan kontrol, dalam mengawasi masalah pembajakan itu.”
Sebagai praktisi penerbitan mandiri, Irwan mengaku cukup mengerti motif bajak-membajak buku. Akar masalahnya, menurut dia, terletak pada harga buku yang tergolong mahal bagi rata-rata konsumen Indonesia. Pembajak lalu memanfaatkan aspek harga itu dengan memproduksi buku-buku bajakan dengan harga yang jauh lebih murah, lebih terjangkau untuk kalangan kelas ekonomi menengah ke bawah.
Buku yang tergolong tidak murah, Irwan berpendapat, tentu karena banyak faktor, yang pada pokoknya komponen biaya produksi dan distribusi hingga pemasaran, termasuk pajak dan royalti, dimasukkan dalam harga. Perhitungan itu berlaku mutlak bagi penerbitan mayor dan pemasaran pada toko-toko buku besar dengan jejaring luas se-Indonesia.
Warga memilih buku di pusat penjualan buku "Shopping Center" Komplek Taman Pintar, DI Yogyakarta. (ANTARA FOTO/Anis Efizudin)
Berbeda dengan penerbitan mandiri yang, menurut Irwan, sanggup memangkas banyak biaya, terutama distribusi dan pemasaran. Hal itu dipermudah lagi dengan pola penjualan secara daring atau online; pembeli tinggal memesan secara daring, dibayar, barang dikirim, lalu diterima, selesai. Lebih praktis dan efisien.
“Kalau harga buku murah,” Irwan berasumsi, “mungkin pembajakan tidak akan jalan.”
Penerbit mayor bukan tak resah dengan praktik pembajakan. Penerbit, selain juga penulis, paling dirugikan dari aksi pemalsuan itu. Masalahnya sedari dulu selalu sama, yaitu penegakan hukum yang lemah. Melapor ke polisi pun tak menjamin urusannya beres.
Yadi Saeful Hidayat, CEO penerbit Mizan Pustaka, menceritakan pada satu kali perusahaannya menghadapi masalah pembajakan yang cukup serius. Mereka sudah melapor kepada polisi. Aparat sudah memproses pengaduan itu. “Tapi ujung-ujungnya tidak sampai kepada pelaku,” ujarnya kepada VIVA di kantornya di Bandung pada Kamis lalu.
Bentang Pustaka menyebut pembajakan bukan praktik illegal semata, tetapi lebih dari itu: kejahatan. Motivasi jelas adalah mendapatkan keuntungan sebesar-besarya dari kejahatan itu.
Penerbit yang berbasis di Yogyakarta itu menolak asumsi yang mengaitkan pajak tinggi sebagai biang pembajakan. “Pada intinya mereka (pembajak) ingin dapat keutungan sebanyak-banyaknya karena buku bajakan harga bahkan 75 persen (lebih murah) dari harga buku aslinya. Untungnya sangat tinggi sekali,” kata Salman Farid, CEO Bentang Pustaka, ketika berbincang dengan VIVA di Yogyakarta pada Kamis lalu.
Salman sependapat dengan Yadi Saeful Hidayat tentang betapa lemah penegakan hukum di Indonesia. Penerbit, dia mengklaim, bukan tak pernah melapor kepada polisi; bahkan berkali-kali, tapi proses hukumnya selalu tak pernah tuntas. “Langkah polisi,” katanya, “hingga saat ini juga masih sama, dan tidak ada ujungnya. Ada laporan buku bajakan satu truk tapi juga tidak jelas kelanjutannya.” (ren)