Memilih Mandiri
- VIVA/Ikhwan Yanuar
VIVA – Rumah seluas lapangan bulutangkis itu terasa sempit. Deretan rak dengan buku yang berjejal tampak memenuhi hampir seluruh ruangan rumah berdinding putih itu.
Tak hanya ruang depan, rak dan tumpukan buku juga terlihat di ruang tengah, kamar tidur, bahkan di dapur.
Selain buku yang menumpuk dan berserak berebut tempat, tak ada yang istimewa di rumah yang terletak di Kelurahan Pejaten Timur, Pasar Minggu, Jakarta Selatan itu. Hanya ada bingkai yang berisi tulisan di koran, jam, dan beberapa lukisan yang menempel di dinding serta televisi LED 23 inch.
Si empunya rumah tampak sibuk. Kedua matanya tajam menatap layar monitor komputer jinjing yang ada di depannya. Sementara itu, jari-jarinya sibuk memainkan mouse dan keyboard laptop warna hitam yang tampak usang dimakan usia.
“Saya sedang mengolah gambar untuk cover buku saya,” ujarnya membuka percakapan.
Sabiq Carebest (31) saat berada di Jakarta. (VIVA/Ikhwan Yanuar)
Namanya Sabiq Carebest. Pria 31 tahun itu merupakan penyair, penulis esai, juga pegiat literasi. Pagi itu, ia sedang mengutak-atik gambar untuk cover buku puisinya yang akan dicetak ulang.
Ia menuturkan, buku puisinya yang berjudul ‘Seperti Para Penyair’ ia cetak dan pasarkan sendiri. “Saya ingin sesuatu yang detail dan lebih intim dalam menghadirkan ‘diri saya’ di dalam buku saya kepada pembaca,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu 25 Oktober 2017.
Selanjutnya, Memilih Mandiri
***
Memilih Mandiri
Sabiq menuturkan, daftar penerbit konvensional sangat terbatas terkait jadwal penerbitan buku puisi. Namun, itu bukan menjadi pertimbangan utama.
“Pilihan saya secara pribadi adalah karena buku saya merupakan buku puisi,” ujar ayah satu anak ini.
“Jika saya menerbitkan buku dalam ragam novel atau non fiksi, kemungkinan saya akan memilih jalur penerbit konvensional,” dia menambahkan. Alasannya, karena ia butuh pasar lebih besar dan popularitas lebih agar bukunya dibaca orang.
Namun, ia mengakui, alokasi anggaran penerbit besar porsinya sangat kecil untuk ragam buku puisi. Menurut dia, mereka lebih suka menerbitkan karya besar luar dalam bentuk terjemahan ketimbang investasi kepada penulis sendiri. [Baca juga: Bajakan Si Pelaris]
“Ini adalah kritik kepada bisnis penerbitan buku kita yang tidak adil dalam mengembangkan sastra Indonesia dengan bisnis-keuntungan yang mereka cari,” ujarnya.
Penulis dan pendiri Indonesia Buku Muhidin M. Dahlan mengatakan, ia memutuskan menerbitkan dan menjual buku secara mandiri karena ingin menunjukkan bahwa memproduksi buku tak seangker yang dibayangkan orang. Selain itu, Yogyakarta memberikan kemudahan dengan ongkos yang terjangkau untuk menerbitkan dan menjual buku sendiri. [Lihat Infografik: Produksi Buku di Indonesia Rendah]
“Kota ini bejibun masalahnya, tapi juga bisa memberi solusi yang nyaman bagi ruang menulis buku, menerbitkan buku, menjual buku, dan mendiskusikan buku,” ujarnya.
Seorang pemandu pameran memegang buku Bukan Perawan Maria, pada Pameran Tafsir Rupa atas Cerita-Cerita dari Penulis Febi Indirani, di Galeri Cipta 3, TIM, Jakarta. (ANTARA FOTO/Dodo Karundeng)
Alasan berbeda disampaikan Feby Indirani. Penulis buku Bukan Perawan Maria ini mengatakan, awalnya ia akan menerbitkan bukunya tersebut di penerbit mainstream. Namun, saat itu situasi di Indonesia, khususnya Jakarta sedang tegang sekali soal beragama, karena pas mau pilkada DKI. Selain itu persekusi di mana-mana.
“Jadi penerbit mainstream ragu menerbitkannya,” ujarnya
Menurut Irwan Bajang, maraknya penulis yang menerbitkan dan menjual karyanya sendiri tak bisa dilepaskan dari perkembangan media sosial. Dunia teknologi sekarang sangat pesat, orang saat ini memiliki kuasa sendiri terhadap dunianya.
“Artinya, seorang penulis tidak harus mengirim tulisan ke koran atau majalah sastra misalnya, yang harus menunggu antrean dengan penulis-penulis ternama, diseleksi, dan kemudian muncul di koran atau di majalah. Sekarang ini, semua orang bisa menulis dan mempublikasikan tulisannya di media sosial yang dia punya,” ujar founder Indie Book Corner ini.
Praktisi penerbitan, Ade Maruf mengatakan, maraknya penulis yang menerbitkan dan menjual karyanya sendiri, karena itu bagian dari kemerdekaan dalam berkarya dan merilis karya secara mandiri. Kedua, ketersediaan teknologi cetak yang tidak harus memerlukan oplah dalam jumlah besar.
Selain itu, didukung pesatnya perkembangan teknologi informasi yang bisa dijadikan ajang berkarya, publikasi karya, dan berniaga oleh kreator atau penulis. Keuntungan yang didapat juga lebih besar karena tidak dipotong untuk biaya distribusi dan rabat.
“Diskon untuk reseller online di kisaran 25-35 persen. Bandingkan dengan distributor dan toko buku mainstream yang meminta diskon lebih besar dari itu,” dia menjelaskan.
Sementara itu, Chief Executive Officer (CEO) PT Bentang Pustaka, Salman Farid menilai, fenomena itu terjadi karena para penulis ini tidak ingin proses panjang dan menunggu antrean cetak yang panjang. Sebab, jika tulisan itu masuk ke penerbit, harus ada pembahasan terhadap karya yang ditulis.
Selain itu, para penulis ini mungkin ingin lebih cepat dan jelas secara keuntungan lebih banyak cetak sendiri.
Selanjutnya, Membangun Pasar Sendiri
***
Membangun Pasar Sendiri
Tak hanya menerbitkan, para penulis ini juga memasarkan karyanya sendiri. Sabiq misalnya. Ia menjual bukunya via online.
Menurut dia, banyak media pemasaran bisa dipakai. “Kalau telaten dan karya kita memang cukup bagus, lebih-lebih telah terbit di koran sebelumnya sehingga cukup memiliki reputasi, dia akan tetap dibeli,” ujarnya.
Sabiq mengerjakan proses penerbitan bukunya secara mandiri, mulai dari menulis, tata letak hingga siap cetak. “Tulisan-tulisan saya kumpulkan, saya layout, saya minta kritikus memberi komentar, kemudian saya ke percetakan dan meminta mereka mencetak. Lalu, saya pasarkan melalui toko online seperti menggunakan social media yang saya punya,” ujarnya.
Ia mengakui, bukunya tak selaris saat dipasarkan oleh penerbit atau mejeng di toko-toko buku. Namun, minimal biaya produksi tertutupi. “Saya rasa tidak selaris dengan diterbitkan penerbit besar. Tapi memilih jalur mandiri tentu sudah tahu risiko ini”.
Pengunjung melihat buku-buku yang dijual pada pameran buku 'Big Bad Wolf Book Sale' di JX International, Surabaya, Jawa Timur. (ANTARA FOTO/Didik Suhartono)
Feby juga melakukan hal yang sama. Ia mengaku belum mampu memasukkan bukunya ke toko buku besar. Alasannya, potongannya besar. “Periplus pasang 60 persen, Gramedia 40 persen,” dia menuturkan.
Selain itu, kalau masuk ke toko butuh stok barang besar. Sementara itu, bukunya tak dicetak banyak dan harus diputar. “Aku banyak terlibat langsung untuk mempromosikan dan menjual BPM,” dia menambahkan.
Ia memasarkan bukunya lewat media sosial, jualan langsung di event yang terkait, misalnya ASEAN Literary Festival atau bekerja sama dengan komunitas lokal, toko buku online, dan toko buku alternatif, seperti Galeri Salihara, Kineruku di Bandung.
Berbeda dengan Sabiq, buku besutan Feby ini lumayan diterima pasar. Buktinya, buku kumpulan cerpennya tersebut sudah terjual sekitar 1.000 buku. “Untuk penjualan secara indie, itu adalah angka yang menggembirakan”.
Selanjutnya, Tak Hanya soal Royalti
***
Tak Hanya soal Royalti
Sabiq mengakui, kecilnya royalti menjadi salah satu alasan ia menerbitkan dan memasarkan bukunya secara mandiri. Ia menilai, royalti penerbit untuk penulis kecil.
Sebab, penerbit harus berbagi keuntungan dengan distributor dan toko buku. Menurut dia, dengan menerbitkan dan menjual buku secara mandiri keuntungannya lebih besar. “Empat kali yang hilang dengan penerbitan konvensional bisa kami kantongi sendiri,” ujarnya.
CEO penerbit Mizan, Yadi Saeful Hidayat, mengatakan, salah satu alasan penulis menerbitkan karyanya sendiri karena faktor kepuasan. Menurut dia, kadang ada penulis yang kalau dimasukkan ke penerbit mayor royaltinya masih menjadi problem dan dianggap tidak berpihak kepada penulis.
Padahal, menurut dia, pihaknya sudah memberi royalti yang besar kepada para penulis. “Setiap penerbit itu punya semacam grade memberlakukan penulis. Range-nya penulis pemula itu dari delapan sampai 10 persen. Paling besar mungkin 15 persen,” ujarnya.
Menurut Irwan Bajang, dengan self publishing, penulis bisa mencetak bukunya sendiri dan mendapatkan royalti jauh lebih besar. Misalnya, harga produksi buku itu rata-rata seperlima dari harga jual.
Buku harga Rp50.000 itu, harga produksinya Rp10.000 sebenarnya. “Kalau dijual oleh penulis atau penerbit tanpa melalui toko buku kan tidak ada potongan untuk toko buku. Paling kami kasih untuk pembaca (diskon) 10 atau 20 persen itu sudah senang, sisanya itu untuk penulis,” ujarnya.
Seorang wanita mengakses informasi secara online di sebuah perpustakaan. (REUTERS/Jose Luis Gonzalez)
Ade Maruf mengatakan, royalti hanya salah satu faktor. Menurut dia, ada juga penulis yang berkarya dan menerbitkan karyanya tetap di jalur independen walaupun bukunya diminati banyak pembaca.
Penulis enggan ke penerbit dan toko buku bisa juga karena sejak awal ia lebih memperhitungkan potensi jalur online daripada offline konvensional.
“Saya rasa pertimbangan yang penting bagi mereka adalah kemerdekaan dalam berkarya, bebas dari dominasi korporat besar, lepas dari aturan-aturan niaga yang tidak seimbang,” dia menjelaskan.
Selanjutnya, Memperkaya Ragam
***
Memperkaya Ragam
Ade mengatakan, alih-alih mengancam penerbit mainstream, para penulis indie ini justru memperkaya dan memberi warna di dunia perbukuan. “Pola penerbitan mandiri itu alternatif untuk penulis lama atau pun baru. Semua ini justru menguntungkan bagi dunia buku secara umum,” ujarnya.
Bentang Pustaka juga tak merasa terancam. CEO PT Bentang Pustaka Salman Farid mengatakan, penerbitan buku melalui percetakan independen atau percetakan yang kecil tidak mungkin omzetnya besar. Selain itu, penjualan hanya melalui sistem online dan kepada komunitas sehingga promosi murah.
Seorang pedagang buku bekas menunggu pembeli di area Pasar Raya Padang, Sumatera Barat. (ANTARA FOTO/Muhammad Arif Pribadi)
Yadi juga menyampaikan hal yang sama. Menurut dia, fenomena penulis indie justru menjadi angin segar bagi budaya literasi di Indonesia. Tinggal didukung bagaimana manajemen penulisannya.
“Karena sekarang bebas nulis di mana pun, enggak punya saringannya, tinggal disaring saja. Enggak sama sekali mengancam ke penerbit. Kami masih punya penulis-penulis loyal yang mau menerbitkan karyanya di penerbit,” ujarnya.
Kepala Toga Mas Baru Kotabaru Jogja, Singgih juga mengapresiasi keberadaan para penulis indie tersebut. Menurut dia, mereka memberi warna di dunia perbukuan. “Mereka militan dan bukunya pilihan, enggak sembarangan,” ujarnya.
“Kalau saya melihat, enggak mengancam, tapi akhirnya menemukan jalurnya sendiri-sendiri. Menemukan pangsa pasarnya sendiri-sendiri. Kalau kami melihat, kami sendiri mengembangkan dan akhirnya berdamai dengan perubahan itu,” ujar Manajer Toko buku Gramedia Area 4, Guntoro. (art)