Non Tunai Siapa Untung
- ANTARA FOTO/Septianda Perdana
VIVA.co.id – Gerbang tol Cililitan 2 itu berdiri kokoh. Warna biru mendominasi bangunan itu. Kamis sore, 12 Oktober 2017, rintik hujan membasahi 15 gardu di gerbang tol di kawasan Jakarta Timur itu.
Gerbang tol itu menjadi salah satu pintu masuk ke Ibu Kota Jakarta. Terletak di ruas tol Jagorawi, kendaraan yang melintas sore itu tak seramai biasanya. Cenderung lengang dan lancar.
Antrean kendaraan roda empat atau lebih dari arah Kampung Rambutan menuju Cawang, nyaris tak terjadi. Gerbang tol itu juga menjadi salah satu akses pengendara menuju Tomang dan Tanjung Priok.
Dari 15 gardu di gerbang tol yang tersedia, 11 di antaranya adalah Gardu Tol Otomatis (GTO). Gardu ini melayani transaksi non tunai, sehingga arus kendaraan terlihat lebih lancar.
Kondisi ini berbeda dengan empat gardu manual lainnya. Transaksi di gardu dengan transaksi tunai agak tersendat. Empat hingga lima kendaraan roda empat tampak mengantre.
“Iya, sekarang ini kan semuanya sedang dipersiapkan, makanya di sini hanya empat pintu saja yang masih ada orangnya untuk melayani pembayaran tunai, yang lainnya (11 pintu) sudah GTO semua,” kata salah satu petugas pintu tol yang tidak mau menyebutkan namanya ketika ditemui VIVA.co.id.
Upaya perubahan transaksi tunai di gerbang tol menjadi non tunai pun digalakkan oleh pemerintah. Bahkan, per 31 Oktober 2017, seluruh layanan jalan tol akan diberlakukan pembayaran elektronik.
Pengendara melakukan transaksi pembayaran tol non tunai di gerbang tol Pejompongan, Jakarta. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)
Penerapan pembayaran elektronik di jalan tol diyakini pemerintah bisa mengurangi kepadatan kendaraan di gerbang tol selama ini. Dan tentunya mendukung upaya Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) yang telah dicanangkan.
"Negara lain semuanya sudah pakai, masa kita masih cash (tunai). Akurasi pembayaran juga semakin jelas. Apa kita mau cash terus?" kata Presiden Joko Widodo di sela peresmian Tol Medan-Kualanamu-Tebing Tinggi di Gerbang Tol Kualanamu, Deli Serdang, Medan, Jumat, 13 Oktober 2017.
Jokowi menegaskan, penggunaan kartu uang elektronik akan memperlancar lalu lintas dan akurasi pembayarannya lebih baik. "Ini kan sekali lagi memperlancar lalu lintas, memperbaiki pelayanan, kemudian pembayaran, akurasinya lebih baik, lebih aman," tutur mantan gubernur DKI Jakarta itu. [Lihat Infografik: Mengenal Uang Elektronik]
Assistant Vice President Corporate Communication PT Jasa Marga, Tbk, Dwimawan Heru Santoso, mengatakan, dalam penerapkan 100 persen non tunai di jalan tol, pengelola jalan tol itu membagi dua periode perubahan metode pembayaran transaksi yang dimulai sejak September hingga akhir Oktober 2017.
Yang pertama dilakukan pada 17 dan 24 September 2017. Periode kedua pada 5-30 Oktober 2017. Adapun uang elektronik yang digunakan adalah e-mOney (Bank Mandiri), Brizzi (BRI), serta TapCash (BNI).
Selain itu, Heru melanjutkan, Jasa Marga terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat untuk bersiap melakukan perubahan transaksi di jalan tol. Hingga 9 Oktober 2017, pengguna non tunai sudah mencapai 79 persen atau meningkat cukup tajam dibandingkan akhir tahun lalu yang hanya 25 persen. [Baca juga: Lima Detik Menyulut Pelik]
"Dari sisi kesiapan sudah sangat siap, sosialisasi juga cukup bagus. Buktinya sekarang sudah 79 persen per 9 Oktober (pengguna e-money Jasa Marga), itu luar biasa, dan kami punya waktu dua minggu. Responsnya cukup baik," tutur Heru kepada VIVA.co.id.
Ia menuturkan, selain aspek infrastruktur, perseroan bersama perbankan juga terus mendorong kesiapan masyarakat beralih ke non tunai, yaitu menyediakan kartu non tunai dari 21 persen warga yang belum memiliki.
Adapun bentuk penyediaan kartu tersebut dilakukan dengan memberikan diskon sebesar 100 persen untuk pembelian uang elektronik baru. Diskon tersebut, bukan berarti masyarakat tidak mengeluarkan uang sepeser pun.
Pembelian tetap dilakukan, namun saldo yang akan diterima masyarakat akan sesuai dengan nominal yang dikeluarkan untuk pembelian satu uang elektronik. Program itu akan dilakukan pada 16 Oktober hingga 31 Oktober 2017.
Sekretaris Perusahaan PT Bank Rakyat Indonesia, Tbk, Hari Siaga, mengatakan, untuk mendukung implementasi 100 persen elektronifikasi jalan tol, perseroan telah menyiapkan Brizzi di 26 ruas tol yang terdiri atas 283 gerbang tol di seluruh Indonesia.
Selain itu, BRI, lanjut Hari, melakukan penjualan Brizzi langsung ke konsumen di gerbang-gerbang tol. Penjualan dilakukan pada 97 titik gerbang tol, sejak 14 Agustus hingga 7 Oktober 2017 dan menyediakan 1,5 juta kartu.
Heru menambahkan, sejumlah langkah yang sedang dikerjakan perseroan tentunya adalah untuk meningkatkan mutu pelayanan, percepatan transaksi di gerbang tol dan tentunya mendukung Gerakan Nasional Non Tunai.
Selanjutnya, Gerakan Nasional Non Tunai
Gerakan Nasional Non Tunai
Penggunaan transaksi non tunai di gerbang tol bukan tanpa tujuan. Selain mempercepat transaksi, upaya itu untuk mendukung program pemerintah.
Direktur Program Elektronifikasi Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI, Pungky Purnomo Wibowo, mengatakan, penggunaan non tunai untuk jalan tol pada dasarnya ditujukan untuk mendukung GNNT.
Dukungan tersebut kemudian didorong oleh Instruksi Presiden Joko Widodo yang meminta untuk mengurangi antrean kendaraan di gerbang tol dan menginginkan penggunaan transaksi efektif yang terhubung langsung dengan perbankan.
"Harapannya dengan elektronifikasi di jalan tol akan membuat arus lalu lintas lancar, transaksi nyaman, transaksi lebih aman dan akses pembayaran menjadi lebih mudah," tuturnya.
Selain itu, lanjut dia, dengan digunakannya sistem elektronifikasi itu tingkat efisiensi ekonomi yang didapat oleh masyarakat maupun Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) bisa semakin meningkat.
Pungky mengungkapkan, selama ini dengan menggunakan transaksi tunai, BUJT tidak bisa langsung menggunakan dana yang terkumpul untuk melakukan investasi karena harus dilakukan proses audit dan lain-lain selama enam bulan.
Sementara itu, bila menggunakan elektronifikasi di jalan tol tentu data tersebut bisa langsung terlihat, sehingga dana yang terkumpul bisa terlihat real time dan bisa digunakan H+1 oleh BUJT melakukan investasi.
GNNT itu telah dicanangkan oleh Bank Indonesia pada 14 Agustus 2014 dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap penggunaan instrumen non tunai.
Gerakan itu pun kemudian didukung oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif.
GNNT tersebut diharapkan dapat membuat suatu komunitas atau masyarakat yang bertransaksi non tunai dengan menggunakan instrumen non tunai (Less Cash Society/LCS) dalam kegiatan ekonominya.
Adapun tujuannya adalah pertama, kepraktisan bertransaksi dan keamanan dalam membawa instrumen non tunai dibandingkan dengan uang tunai. Kedua, efisiensi biaya antara biaya produksi instrumen non tunai dengan biaya pencetakan, peredaran serta pengelolaan uang tunai tunai.
Ketiga, pencatatan transaksi secara otomatis sehingga memudahkan dalam menghitung aktivitas ekonomi. Hal tersebut tentu dapat mencegah underground economy yang umumnya dilakukan dalam bentuk tunai. Dan keempat, penggunaan alat pembayaran non tunai akan meningkatkan sirkulasi uang dalam perekonomian.
Gubenur Bank Indonesia Agus Martowardojo (kiri) dan Menteri Keuangan Chatib Basri (kanan) saat peluncuran uang NKRI pecahan Rp 100 ribu yang baru di Jakarta, pada 18 September 2014. (VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar)
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri, mengatakan, pada dasarnya upaya menerapkan GNNT di Indonesia memiliki tujuan yang sangat baik, yaitu agar transaksi lebih efisien, transparan, dan mencegah korupsi.
Pembayaran secara non tunai, lanjut dia, juga dapat membantu upaya perbaikan di sistem kepemerintahan. Sebab, upaya perbaikan di governance hanya bisa dilakukan jika sistem pembayaran ke depan itu lebih banyak memanfaatkan yang sifatnya non tunai atau e-base atau yang berbentuk elektronik.
Namun, ide bagus tersebut tentunya perlu dilakukan dengan melihat kesiapan masyarakat dan implementasinya harus dilakukan secara bertahap, karena dapat memengaruhi kondisi ekonomi nasional.
"Ini ide yang sangat bagus, tapi implementasinya harus bertahap. India mencoba menerapkan ini secara radikal, akibatnya pertumbuhan ekonomi mereka drop dari 7 persen menjadi 5,6 persen," tuturnya kepada VIVA.co.id.
Anggota Komisi Keuangan dan Perbankan DPR RI, Johnny G. Plate, mengatakan penerapan GNNT di Tanah Air secara langsung memang memperlancar transaksi di merchant-merchant.
Namun, ada satu hal yang perlu menjadi perhatian Bank Indonesia dan pemerintah ke depan agar GNNT ini berjalan efektif, yaitu tidak menambah beban biaya tambahan bagi user atau nasabah. Khususnya nasabah mikro, kecil, dan menengah.
Selanjutnya, Non Tunai untuk Bidang Jasa
Non Tunai untuk Bidang Jasa
Penerapan GNNT di Indonesia sebenarnya sudah mulai berkembang di sejumlah korporasi. Tidak hanya jasa transportasi melainkan jasa kuliner, retribusi parkir hingga penyaluran bantuan sosial secara non tunai kepada penerima.
Wakil Direktur Utama Bidang Komunikasi PT Kereta Commmuter Indonesia (KCI), Eva Chairunisa, mengatakan, jasa KRL Jabodetabek telah menerapkan non tunai atau e-ticketing sejak 2013, sebelum pencanangan GNNT.
Langkah tersebut, dilakukan perseroan dengan melakukan sterilisasi stasiun dan meningkatkan kapasitas angkut yang tidak mungkin lagi dilayani secara manual, sehingga semuanya harus menggunakan sistem.
Selain itu, lanjut Eva, penerapan non tunai diakui sangat menguntungkan perseroan, sebab secara pendataan menjadi lebih membantu dan sejumlah risiko seperti complain kurangnya kembalian bisa segera diminimalisasi.
"Banyak yang diuntungkan, dari sisi penumpang sangat untung karena jadi lebih mudah dengan hadirnya KMT (Kartu Multi Trip). Penumpang tidak setiap saat lakukan transaksi ke loket. Jadi ada proses yang efisien," ujarnya.
Eva menuturkan, penggunaan non tunai di KCI selain menguntungkan dari sisi bisnis, ternyata juga bisa dimanfaatkan untuk memetakan volume penumpang di setiap stasiun, sehingga bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan pelayanan.
Adapun untuk jumlah transaksi dari non tunai di KCI, Eva menyebut rata-rata sebanyak 970 ribu penumpang. Sebesar 15 persennya menggunakan uang elektronik dari perbankan, 45 persen dari KMT, dan 40 persen tiket harian berjamin.
Saat ini, kata Eva, perbankan yang bekerja sama dengan KCI adalah BNI, Bank Mandiri, BRI, dan BCA. Ke depan, KCI mengakui terus berupaya mendorong semua kartu elektronik dapat terkoneksi, dan hal ini tentunya dalam tahap proses.
Sejumlah masyarakat menaiki bus Transjakarta di halte Bus way Cipinang, Jakarta Timur. (ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah)
Pejabat Humas PT TransJakarta, Wibowo, mengatakan, implementasi non tunai telah diterapkan perusahaan sejak lama. Bahkan, kartu non tunai yang dipakai konsumen bisa terintegrasi dengan alat pembayaran lainnya.
Menurut dia, saat ini penerapan non tunai di perusahaannya telah membuat kinerja perusahaan menjadi efisien. Dan untuk penerapan pada seluruh kartu milik perbankan masih terus dibenahi, khususnya pada bus-bus pengumpan.
Sementara itu, Area Manager Eat And Eat Pejaten Village, Faisal Hakim, mengatakan, penerapan non tunai di usaha kulinernya sangat efektif, dan kegiatan ini sudah dilakukan sejak 2008.
Menurut dia, menggunakan non tunai dengan sistem deposit sama saja dengan menggunakan uang tunai untuk bertransaksi. Bahkan, jika masih tersisa saldo non tunainya bisa dikembalikan secara tunai.
Selama penggunaan non tunai tersebut, lanjut Faisal, konsumen sangat merasakan dampak positifnya. Hal itu karena dengan non tunai uang untuk transaksi tidak banyak tercecer baik di counter maupun konsumen.
Pengembangan non tunai juga akan diterapkan untuk mendukung sektor pariwisata. Dua perusahaan BUMN telah sepakat menggelar ajang pariwisata dengan sistem non tunai.
Dua perusahaan itu adalah PT Pengembangan Pariwisata Indonesia atau disebut juga Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) bersama dengan PT Bank Mandiri, Tbk yang menyelenggarakan acara bertajuk Pesona Nusa Dua Fiesta 2017 (NDF) 2017 di Pulau Peninsula The Nusa Dua, Bali.
Staf Khusus Komunikasi Kementerian BUMN, Devy Suradji mengatakan, dengan adanya alat bayar dalam satu kartu maka akan memudahkan para wisatawan dalam berbelanja. Ini juga dilakukan termasuk untuk wisatawan asing yang berbelanja wajib menggunakan e-money.
Selanjutnya, Jangan Bebani Konsumen
Jangan Bebani Konsumen
Penggunaan kartu tol elektronik diklaim sebagai bentuk perbaikan layanan jalan tol. Tujuannya untuk melancarkan transaksi di gerbang tol. Antrean kendaraan pun diharapkan berkurang.
Namun, Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati, mengingatkan, meski transaksi non tunai sangat baik diterapkan, upaya tersebut jangan memberikan beban yang tak penting bagi konsumen.
Hal itu, bisa dilihat dari upaya Bank Indonesia yang mengenakan biaya isi ulang uang elektronik. Langkah itu bisa menjadi kontraproduktif dengan upaya GNNT yang sedang digadang-gadang.
Pengenaan biaya dari isi ulang uang elektronik oleh perbankan dinilai sejumlah pengamat tak adil dan terlalu banyak mengambil untung. Kebijakan itu pun disebut-sebut justru merugikan konsumen atau nasabah.
Ekonom Indef, Bhima Yudhistira Adhinegara, mengungkapkan, kontradiktifnya kebijakan biaya isi ulang tersebut adalah ketika BI mendorong masyarakat lebih banyak menggunakan e-money, justru pungutan diterapkan.
Dengan demikian, hal itu jelas menjadi disinsentif bagi nasabah yang ingin menggunakan fasilitas tersebut. Padahal, bisnis uang elektronik sudah sangat menguntungkan bagi perbankan.
Dia menyebut, keuntungan bisnis tersebut terjadi saat pelanggan membeli kartu e-money, karena di situ ada biaya yang dibebankan ke pelanggan. Sebenarnya uang hasil penjualan kartu tercatat sebagai fee based income bank.
Bhima mencatat, pada 2016, nilai transaksi e-money mencapai Rp7 triliun. Lalu, jika diasumsikan fee based income sebesar lima persen, bank penerbit e-money sudah meraup untung Rp350 miliar.
"Harusnya dengan keuntungan sebesar itu tidak perlu lagi memungut fee top up, meskipun (misalnya) hanya Rp1.000 sekali transaksi top up. Karena hal tersebut memberatkan konsumen," ujar dia.
BI dalam Peraturan Anggota Dewan Gubernur No.19/10/PADG/2017 tanggal 20 September 2017 tentang Gerbang Pembayaran Nasional/National Payment Gateway (PADG GPN)menetapkan mekanisme untuk memastikan tercapainya sasaran GPN, yaitu menciptakan ekosistem interkoneksi (saling terhubung), interoperabel (saling dapat beroperasi) dan mampu melaksanakan pemrosesan transaksi pembayaran ritel domestik yang aman, efisien, andal, dan lancar.
Upaya itu juga untuk mendukung program pemerintah seperti bantuan sosial non tunai, strategi nasional keuangan inklusif, elektronifikasi jalan tol, dan GNNT yang ditujukan untuk efisiensi perekonomian nasional.
Sejumlah masyarakat melakukan transaksi keuangan di gerai ATM, Jakarta. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja)
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Agusman, dalam keterangan persnya mengatakan, salah satu yang diatur dalam PADG GPN itu adalah terkait biaya isi ulang atau top up uang elektronik.
Skema harga uang elektronik untuk transaksi top up itu dilakukan dengan dua cara. Pertama, top up on us (pengisian ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu), untuk nilai sampai dengan Rp200 ribu, tidak dikenakan biaya. Sementara itu, untuk nilai di atas Rp200 ribu dapat dikenakan biaya maksimal Rp750.
Kedua, adalah top up off us (pengisian ulang yang dilakukan melalui kanal pembayaran milik penerbit kartu yang berbeda/mitra), dapat dikenakan biaya maksimal sebesar Rp1.500.
Bank Indonesia berdalih, penetapan kebijakan skema harga berdasarkan mekanisme ceiling price (batas atas), untuk memastikan perlindungan konsumen dan pemenuhan terhadap prinsip-prinsip kompetisi yang sehat, perluasan akseptasi, efisiensi, layanan, dan inovasi.
Dengan rata-rata nilai top up dari 96 persen pengguna uang elektronik di Indonesia yang tidak lebih dari Rp200 ribu, kebijakan skema harga top up diharapkan tidak akan memberatkan masyarakat.
Dedi Suryadi (53), warga Kemanggisan, Grogol, Jakarta, mengatakan, penerapan e-money bagus dan praktis. Namun, ia mengingatkan, kemacetan masih saja terjadi, seperti di Kayu Besar, Jakarta.
"Itu malah tambah panjang macetnya sekarang (sudah e-toll). Makanya saya juga bingung, kok bisa tambah parah," tuturnya kepada VIVA.co.id.
Pekerja yang bolak-balik menggunakan layanan tol itu lalu menyinggung kesulitan pengendara dari luar Jakarta. Dia sering menemui pengguna jalan tol dari daerah yang kebingungan saat akan masuk tol.
"Mereka bingung mau lewat mana kalau ke Jakarta. Nah, yang seperti ini kan kasihan," tuturnya. Dedi menyarankan, meski di gerbang tol diberlakukan pembayaran non tunai, petugas diharapkan tetap bisa menerima pembayaran secara tunai.
Bagi Budi Cahyono (40), warga Pasar Minggu, Jakarta Selatan, penerapan transaksi non tunai cukup merepotkan. Apalagi, bila saldo di kartu uang elektronik tidak mencukupi. "Ribet, karena kalau saldo kurang, terhambat masuk tol," ujar Budi kepada VIVA.co.id.
Dia setuju penerapan transaksi non tunai di jalan tol. Namun, pengelola juga seharusnya bisa menyiapkan isi ulang di gerbang-gerbang tol.
Selain itu, Budi menambahkan, bila belum siap dengan teknologinya, pemerintah sebaiknya tidak menerapkan dulu kebijakan transaksi non tunai di jalan tol.
Pengguna e-toll lainnya, Fitri Almaidah (25), sependapat, fasilitas isi ulang kartu elektronik sebaiknya dipermudah dan diperbanyak. Karena, ia menilai, penggunaan e-toll lebih praktis dalam pembayaran.
Meskipun, dia menambahkan, antrean saat transaksi di gerbang tol masih saja terjadi. "Kalau dulu sebelum 100 persen e-toll, pakai e-toll enak banget, di gerbang tol enggak antre," ujarnya kepada VIVA.co.id. (art)