Peritel Dunia Dihantam Badai
- REUTERS
VIVA.co.id – Kalau jalan-jalan ke Kota New York, kurang lengkap rasanya bila tak mampir ke Fifth Avenue. Kawasan ramai turis ini disebut "Surganya Belanja". Sederet butik maupun peritel kelas dunia berjejer di sana. Sebut saja Bergdorf Goodman, Tiffany & Company, Louis Vuitton, Gucci, Armani, Polo Ralph Lauren, dan lain-lain.
Toko-toko itu menampilkan busana-busana mewah kelas atas dengan dekorasi yang wah, sanggup membuat pengunjung berkantung tebal jadi "silap mata". Para peritel besar ini yang jadi salah satu motor penggerak ekonomi New York sehingga berjuluk "Kota yang Tak Pernah Tidur."
Namun, kemeriahan di Fifth Avenue itu tampak mulai berkurang. Belakangan ini toko-toko itu tampak tak seramai dulu. Ini yang membuat penjualan di sana lesu, bahkan sampai ada yang tutup.
Contoh yang telak menimpa Polo Ralph Lauren, toko busana spesialis pria. Perusahaan induknya yang juga dikenal sebagai merek busana kelas atas, Ralph Lauren, April lalu menutup toko besarnya yang berlokasi di jalan Fifth Avenue and 55th Street itu. Tidak ada lagi terlihat awning warna biru dan bendera logo khas Polo Ralph Lauren di sebuah gedung megah yang berada persis di sudut jalan.
Tak ada pula alasan spesifik yang dilontarkan selain hanya menyatakan bahwa penutupan itu untuk "Memastikan bahwa kami tetap menjalankan distribusi dan pengalaman bagi konsumen secara tepat," kata Jane Nielsen, Kepala Eksekutif Keuangan Ralph Lauren, seperti yang dikutip harian The New York Times (NYT).
Padahal, gerai besar Polo di Fifth Avenue itu masih tergolong baru beroperasi, yaitu 2013. Sewa gedung untuk itu pun sangat mahal. Menurut New York Post, untuk sewa gedung seluas total 3600 meter persegi itu, Ralph Lauren harus meneken kontrak sewa selama 16 tahun senilai $400 juta (sekitar Rp5,3 triliun).
Bila dirata-rata, harga sewa tahunan gedung yang harus dibayar sebesar $25 juta (Rp336,8 miliar) atau $68.493 (Rp922 juta) per hari. Belum ada yang berani menggantikan Ralph Lauren sebagai penyewa baru gedung semahal itu.
Beban ini tidak sebanding dengan pendapatannya. Dalam laporan triwulan yang berakhir pada 31 Desember 2016, revenue Ralph Lauren secara keseluruhan turun lebih dari 12 persen menjadi US$1,7 miliar. Maka, tak ada yang bisa dilakukan Ralph Lauren selain melakukan efisiensi, yaitu menutup puluhan gerai - termasuk yang di Fifth Avenue dan 125 pekerjanya di sana jadi korban PHK.
Suasana pembukaan gerai H&M di Jakarta beberapa waktu lalu. (VIVA.co.id/Rizky Sekar Afrisia)
Ralph Lauren tidak sendiri. NYT mencatat, dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah merek terkenal di Fifth Avenue itu telah tutup maupun pindah tempat. Menurut firma Cushman & Wakefield, mereka adalah Kenneth Cole, Juicy Couture, dan H&M.
"Menurut saya, merek-mereka itu kini lebih terfokus untuk mempromosikan produk untuk jangka waktu tertentu dan menjadi realistis dengan apa yang mereka butuhkan, termasuk pada ukuran toko," kata Robert Burke, konsultan produk-produk mewah yang pernah menjadi eksekutif di Ralph Lauren pada tahun 1990an. "Anda masih bisa membentuk pencitraan merek tanpa harus punya toko yang besar," lanjut dia.
Selanjutnya, Mewabah
Mewabah
Kisah Ralph Lauren di New York itu menunjukkan bahwa fenomena sepinya pusat perbelanjaan yang belakangan ini terjadi di Indonesia sejatinya bukanlah hal yang baru. Masalah ini seolah sudah mewabah sejak beberapa tahun lalu di sejumlah negara, termasuk Amerika Serikat.
Dilansir dari Business Insider, Jumat 29 September 2017, pada pertengahan tahun ini Credit Suisse merilis, diproyeksikan sebanyak 8.600 toko ritel akan ditutup pada tahun ini. Angka itu akan terus bertambah hingga akhir tahun.
"Penutupan toko telah meningkat. Bahkan menimpa toko-toko yang ada di level tier satu (Ritel besar)," tulis kajian tersebut.
Di AS, selain Ralph Lauren, ritel yang masuk ke level tier satu seperti Macy,s JCPenney dan Sears masuk dalam daftar perusahaan yang menutup toko-tokonya. Bersama dengan ritel lainnya seperti Payless, Rue21, Michael Kors, dan Babe.
"Ini adalah spiral kematian," tegas Profesor Pusat Kajian Realestat di Universitas Connecticut's, John M Clapp.
Kejadian ini tidak bisa dianggap remeh. Bagaikan penyakit, sepinya pusat perbelanjaan besar bisa menular dan berdampak negatif pada kegiatan ekonomi di sekitarnya. Karena, warung atau salon dan toko-toko kecil di sekitar mal itu, sangat bergantung dari ramainya lalu lintas konsumen yang datang ke mal besar itu.
Credit Suisse juga memproyeksikan sebanyak 20-25 persen, atau sekitar 220 sampai 275 pusat perbelanjaan di AS akan ditutup dalam lima tahun ke depan. Tanda-tanda akan terjadinya proyeksi itu sudah tercermin dengan apa yang terjadi pada tahun ini.
Hingga September 2017, diketahui sudah 6.403 toko ritel yang tutup di seluruh AS. Ribuan toko tersebut milik 29 perusahan ritel yang beroperasi di negeri paman Sam tersebut. Tiga peritel yang paling banyak menutup tokonya adalah Radio Shack (1.430), Payless (808), dan Ascena Retail Group (667).
Chief Executive Officer salah satu raksasa ritel AS, yang menjual peralatan oleh raga, Dick's, Edward Stack mengatakan, industri ritel sedang berada di dalam badai yang sempurna.
Lalu lintas ke pusat perbelanjaan yang semakin macet, membuat dan konsumen semakin enggan menghampiri. Dan pada akhirnya, transaksi e-Commerce seperti Amazon terus mengalami kenaikan.
"Saya pikir ritel saat ini dalam mode panik," ujarnya.
Selanjutnya, E-commerce Tumbuh
E-commerce Tumbuh
Merosotnya ritel di AS terjadi di tengah pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) di Negeri Paman Sam itu selama delapan tahun berturut-turut. Indikator baiknya kondisi AS saat ini juga terlihat dari rendahnya harga gas, tingkat pengangguran di bawah 5 persen, dan 18 bulan terakhir merupakan momentum yang sangat baik untuk pertumbuhan upah, terutama bagi orang Amerika berpenghasilan menengah dan bawah.
Jadi, apa yang sedang terjadi? Dilansir dari The Atlantic, ada beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya fenomena merosotnya ritel di AS. Yang pertama jelas karena tumbuhnya e-Commerce.
Penjelasan paling sederhananya terlihat meningkatnya transaksi di Amazon. Dari 2010 hingga 2016, hasil penjualan di Amazon naik lebih dari empat kali lipat, dari US$16 miliar menjadi US$80 miliar.
Petugas keamanan berada di dekat meja resepsionis di kantor Amazon yang ada di Bengaluru, India. (REUTERS/Abhishek N. Chinnappa)
Dibandingkan dengan peritel konvensional Sears yang hanya mencatatkan pendapatan sekitar US$22 miliar pada tahun lalu, Amazon tumbuh tiga kali lipat. Bahkan, saat ini separuh dari rumah tangga di AS dikatakan telah menjadi pelanggan Amazon Prime.
Terlebih lagi Di AS, layanan belanja online terus berkembang. Tidak hanya produk fesyen, start up yang menjual perabotan rumah tangga, pakaian dan kaca mata seperti Casper, Bonobos dan Warby Parker terus diminati. Kebangkitan e-Commerce tidak hanya menggerakkan penjualan individu secara online, tapi juga membangun kebiasaan belanja baru.
Penyebab kedua adalah terlalu banyaknya mal di AS, tumbuh dua kali lebih cepat dari populasi antara tahun 1970 dan 2015. Menurut analis riset Cowen and Company, saat ini ada sekitar 1.200 mal di AS, dalam satu dekade, jumlahnya naik 900 mal.
Menurut perusahaan riset realestat Chusman dan Wakefield, ruangan belanja per kapita di AS 40 persen lebih banyak dibanding Kanada. Kemudian, liba kali lebih besar dibanding Inggris dan 10 kali lebih banyak dari Jerman.
Jadi tidak heran bahwa rontoknya ritel di negara itu sangat terasa. Apalagi, riset itu juga mengungkapkan bahwa kunjungan masyarakat AS ke mal turun 50 persen antara 2010 sampai 2013. Dan terus jatuh setiap tahunnya sejak saat itu.
Kemudian yang ketiga adalah pergeseran pola pengeluaran konsumen di AS dari belanja barang ke belanja makanan atau berlibur. Hal itu terlihat dari turunnya belanja konsumen untuk pakaian hingga 20 persen selama satu abad terakhir.
Meningkatnya pengeluaran warga AS untuk liburan terlihat dari meningkatnya statistik hunian hotel, dan intensitas perjalanan maskapai di negara tersebut. Selain itu, pengaruh media solial juga besar mendorong pertumbuhan belanja perjalanan warga AS.
Dengan melakukan perjalanan atau liburan, anak muda di AS bisa membuat konten yang menarik di media sosial mereka dan mendapat kepuasan karena dilihat seluruh dunia. Hal itu lebih dipilih ketimbang meluangkan waktunya ke mal untuk belanja barang.
Sementara itu, sejak 2005 tercatat penjualan di restoran tumbuh dua kali lipat ketimbang belanja ritel lainnya. Bahkan pada 2016, untuk pertama kalinya tercatat bahwa orang AS lebih banyak menghabisakan uangnya di restoran dan bar dibanding belanja di toko kelontong.
CEO Ace Hardware, John Venhuizen menegaskan, peritel sebenarnya bisa terlepas dari jeratan permasalahan ini. Kuncinya adalah berinovasi dan meningkatkan layanannya.
Menurutnya ada tiga hal utama yang bisa melindungi pangsa pasar yang dimilikinya dari raksasa e-Commerce. Yaitu fokus pada apa yang mereka jual, peningkatan layanan khususnya online dan lokasi toko yang strategis.
Upaya tersebut terbukti, penjualan online Ace pada kuartal ke II 2017 tumbuh 61 persen, dan 93 persen produk dari transaksi tersebut diambil dari toko yang dimiliki.
"Banyak orang masih suka melihat dan menyentuh secara fisik," ungkapnya.
Selanjutnya, Kisah Singapura
Kisah Singapura
Penyakit yang diderita peritel di AS itu juga sudah terjadi di negara tetangga. Di Singapura, misalnya. Kawasan belanja di Orchard Road juga tak seramai biasanya. Gejala ini sudah terjadi sekitar satu tahun lalu.
Menurut kantor berita Reuters, akibat pengunjung yang sangat sedikit, kasir toko justru sibuk bermain games di ponsel mereka. Sementara itu, beberapa asisten toko memanfaatkan koridor sepi di pusat perbelanjaan sebagai arena mini golf. 13 dari 16 unit yang berada di lantai lima sebuah pusat perbelanjaan di kawasan itu juga kekurangan penyewa.
Bangunan kosong yang disewakan untuk berjualan pun sepi peminat. Misalnya, di daerah pinggiran kota di sisi barat dari Singapura, lebih dari dua per tiga pusat perbelanjaan bawah tanah yang telah dibuka selama hampir dua tahun tetap kosong.
Reputasi Singapura sebagai "surga belanja", di mana investor menggelontorkan dana sebesar US$7.25 miliar dalam lima tahun terakhir, mengalami pukulan perekonomian, karena melemahnya perekonomian lokal dan penurunan belanja turis.
Penurunan turis di Singapura, terjadi karena banyak faktor. China, salah satu negara penyumbang turis ke Singapura, beberapa waktu lalu mengalami perlambatan ekonomi. Negara tirai bambu itu juga telah membangun banyak pusat perbelanjaan mewah, bahkan mendirikan 'surga bebas pajak' di sebuah spot wisata lokal.
Pembeli memilih baju di toko Li Ning yang ada di China. (REUTERS/Jason Lee)
China melakukan itu untuk mengangkat konsumsi dan memacu pariwisata domestik. Kondisi itu dinilai berhasil, karena akhirnya banyak warga China yang memilih belanja di negaranya sendiri.
Sementara itu, Indonesia, Thailand, dan Malaysia memiliki beberapa produk lokal terbaik dengan versi yang lebih terjangkau. Misalnya saja, sebuah tas mewah yang dibuat oleh Coach, harganya bisa lebih murah dibandingkan di Singapura.
Di Bangkok dan Jakarta, ruang ritel telah meningkat 20-25 persen dalam lima tahun. Data tersebut, merujuk data dari perusahaan real estate CBRE, diindikasikan dengan berkurangnya ruang kosong.
Menurunnya animo belanja dan sepinya turis ini bukan sebuah permasalahan kecil untuk Singapura. Sebab, pedagang grosir dan eceran menjadi salah satu penyumbang terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) negara itu. Apalagi, ekonomi global yang lesu telah memperlambat dan mengurangi belanja Singapura, terutama para pekerja di sektor ekspor.
Dilansir dari Strait Times, pemerintah Singapura pun putar otak, mencari cara agar merosotnya penjualan ritel di kawasan tersebut bisa teratasi. Salah satu rencana yang muncul adalah dengan melarang mobil melintas Orchard Road dan membiarkan ritel-ritel berdagang di area tersebut. Mungkin mirip dengan konsep Car Free Day di Jakarta.
Masalahnya bukan jalan, tapi toko-toko yang berada di daerah tersebut terlalu banyak. Hal itu diperburuk dengan serupanya barang-barang yang dijual.
Sementara itu, gempuran belanja online juga menghantam raksasa ritel di negara itu. Apalagi berdasarkan statistik publik separuh dari penduduk Singapura berbelanja secara online.
Keluhan yang paling sering disampaikan konsumen di negara singa itu adalah barang yang dijual secara online di situs produk atau market place, lebih lengkap dibanding apa yang dijual pada pusat perbelanjaan. Hal tersebut semakin membuat mal-mal di negara-kota itu sepi pengunjung. (ren)