Kala Kartu Sakti Tak Diakui
- ANTARA FOTO/Agus Bebeng
VIVA.co.id – Minggu dini hari, 3 September 2017 menjadi mimpi buruk bagi Rudianto Simanjorang dan Henny Silalahi. Pasangan suami istri itu kehilangan Debora Simanjorang, anak kelimanya yang baru berusia empat bulan.
"Malam itu saya sangat panik. Saya dibangunin istri saya dan langsung ambil motor untuk bawa anak saya ke rumah sakit," ujar Rudianto saat VIVA.co.id menyambangi rumahnya di Jalan Husen Sastranegara, Gang H Jaung RT 02/01 Kampung Baru, Kecamatan Benda, Tangerang, Banten, Kamis malam 14 September 2017.
"Saya ngebut, karena istri saya juga panik. Kita enggak bawa apa-apa. Pokoknya gimana caranya cepat sampai ke rumah sakit. Istri saya juga enggak pakai sendal, cuma pakai daster. Anak saya langsung digendong pakai selimut, sudah langsung tancap. Paling 10 menit itu sudah sampai RS. Mitra Keluarga," ujar ayah lima anak ini mengenang.
Setibanya di rumah sakit, istrinya langsung membawa Debora ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) guna mendapatkan pertolongan. Debora pun sempat mendapatkan perawatan di IGD itu.
Tak lama berselang, seorang dokter keluar dan menemui Rudianto. Ia diminta memasukkan Debora ke ruangan pediatric intensive care unit (PICU) agar mendapatkan perawatan secara khusus.
Rudianto dan Henny Silalahi pun bergegas menuju kasir untuk mengurus administrasi agar anaknya bisa masuk ruang PICU. "Nah, di situ kami diminta untuk menyiapkan biaya administrasi. Kami harus menyerahkan uang jaminan Rp19,8 juta," ujar pria yang sehari-hari bekerja sebagai tukang air isi ulang ini menuturkan.
"Kami kebingungan. Kami enggak punya uang sebanyak itu. Akhirnya karena saya tidak bawa apa-apa waktu berangkat ke rumah sakit, saya pulang dulu ke rumah ambil dompet, ATM, dan hp," tuturnya.
Setelah itu, Rudianto mengambil uang tabungan di ATM yang tersisa Rp5 juta. "Saya serahkan ke administrasi. Mereka bilang, ini saya terima dulu, saya tanyakan ke dokternya dulu bisa atau tidak kalau uang jaminannya hanya Rp5 juta, dan saya disuruh menunggu," ujar pria 47 tahun ini.
Malang bagi Rudianto dan Henny, pihak rumah sakit menolak memberikan ruang PICU untuk Debora. Alasannya, uang jaminan Rudianto masih kurang.
Tak putus asa, Rudianto langsung pergi mencari rumah sakit yang memiliki fasilitas ruangan PICU dan menerima pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan di sekitar Tangerang.
Rudianto kembali memacu sepeda motornya dan menyambangi satu demi satu rumah sakit yang ada di Jakarta Barat. Sayangnya, hasilnya nihil. Rudianto pun kembali ke RS Mitra Keluarga, Kalideres mengupayakan Debora bisa dirawat di ruang PICU rumah sakit tersebut.
"Kami bilang kepada dokter dan orang administrasi di Mitra Keluarga bahwa di rumah sakit lain PICU tidak tersedia. Kami minta tolong agar Debora dimasukkan ke ruang PICU di situ. Kami akan mencari kekurangan uang mukanya. Ternyata tetap tidak bisa,” ujarnya.
Kartu BPJS yang ia sodorkan tak bisa membantunya. RS Mitra Keluarga Kalideres berdalih, mereka tak bekerja sama dengan program kesehatan pemerintah tersebut.
“Sekitar pukul 10.00, saya dan istri dipanggil oleh dokter. Saya disuruh masuk ke UGD lagi, mereka bilang anak saya sudah kritis. Istri saya sudah nangis. Kami masuk, saya pegang tangan anak saya memang sudah dingin, ternyata Debora sudah pergi," ujar Rudianto dengan mata berkaca-kaca.
“Saya sudah minta-minta tolong, mengemis dan tetap tidak dikasih,” ujar Henny dengan mata sembap.
Selanjutnya, Perlakuan Berbeda
Perlakuan Berbeda
Kementerian Kesehatan mengakui, RS Mitra Keluarga Kalideres memang belum bermitra dengan BPJS. “Masih proses kelengkapan berkas,” ujar Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes RI, drg. Oscar Primadi, MPH kepada VIVA.co.id di Jakarta, Rabu 13 September 2017.
Menurut dia, tidak ada aturan yang mewajibkan rumah sakit swasta untuk ikut BPJS. Meski demikian, tak berarti rumah sakit bisa memperlakukan pasien seenaknya.
Kementerian Kesehatan mengakui, RS Mitra Keluarga Kalideres memang belum bermitra dengan BPJS.
Sebab, ada sejumlah regulasi yang harus dipatuhi. Menurut dia, kebijakan uang muka yang diterapkan rumah sakit tak sejalan dengan peraturan dan perundang-undangan, khususnya kewajiban sosial rumah sakit sesuai UU No 44 Tahun 2009.
Kepala Humas BPJS Kesehatan, Nopi Hidayat, mengatakan, sesuai aturan dan undang-undang, pelayanan emergency di fasilitas kesehatan baik tingkat pertama maupun tingkat lanjutan baik yang kerja sama maupun tidak wajib memberikan pelayanan kepada pasien.
“Biaya yang muncul dari tindakan emergency oleh fasilitas kesehatan tadi bisa ditagihkan ke BPJS sesuai dengan tarif yang berlaku,” ujarnya kepada VIVA.co.id di Jakarta, Jumat 15 September 2017.
Menurut dia, kartu BPJS berlaku nasional. Artinya, di mana pun pasien berada jika mengalami keadaan gawat darurat bisa dilayani fasilitas kesehatan tingkat pertama maupun tingkat lanjutan, baik yang kerja sama maupun tidak. “Prosedurnya langsung masuk UGD dan dilakukan pelayanan,” dia menambahkan.
Nopi menuturkan, sudah 80 persen fasilitas kesehatan milik pemerintah atau swasta yang sudah kerja sama dengan BPJS Kesehatan. Namun ia mengakui, yang wajib ikut BPJS hanya fasilitas kesehatan milik pemerintah. Sementara itu, yang swasta sifatnya ‘sunah’.
“Sampai saat ini rumah sakit swasta tidak ada ketentuan yang mewajibkan, kalau pemerintah kan wajib,” ujarnya.
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyatakan, seharusnya tak ada perbedaan perlakuan antara pasien BPJS maupun non-BPJS. “Sebenarnya tidak boleh dibedakan. Menggunakan BPJS atau non-BPJS seharusnya standar pelayanannya sama," ujar Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi kepada VIVA.co.id, Kamis 14 September 2017.
Tetapi, Tulus menambahkan, praktiknya masih ada diskriminasi yang menggunakan BPJS dan non-BPJS. "Kalau yang bayar rumah sakit mandiri, itu selalu diprioritaskan. Kalau ada yang pakai asuransi yang lebih tinggi, juga diprioritaskan. Tidak boleh seperti itu,” kata Tulus.
Wakil Ketua Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, Saleh Partaonan Daulay mengatakan, banyak rumah sakit yang deskriminatif terhadap pasien yang menggunakan BPJS. Menurut dia, rumah sakit takut seolah-olah ini gratis. Padahal tidak.
“Ini saya kira penting dan harus dicermati. Karena kalau tidak, saya khawatir kasus-kasus yang selama ini enggak diomongkan di luar itu akan terulang lagi,” ujarnya kepada VIVA.co.id di Jakarta, Selasa 12 September 2017.
Menurut dia, UU Kesehatan orientasinya bukan finansial tapi kemanusiaan dan kebersamaan dalam kehidupan sosial. “Kalau ada rumah sakit yang minta duit dulu, baru mau pegang, dunia medis kita mau diarahkan ke mana?” tuturnya.
Selanjutnya, Puncak Gunung Es
Puncak Gunung Es
Saleh Partaonan Daulay mengatakan, kasus Debora bukan yang pertama dan satu-satunya. Ia yakin, masih banyak kasus serupa yang tak terungkap di publik.
Menurut dia, soal hak warga negara terkait layanan kesehatan sudah diatur secara jelas. “Oleh karena itu kita minta tidak ada alasan bahwa ini hanya satu orang. Saya sampaikan, satu orang di mana pun berada, kalau ada masalah perlindungan yang tidak dilakukan oleh negara, kita anggap itu melanggar Undang Undang Dasar 1945,” ujarnya.
Selain itu, di UU Kesehatan ditegaskan, ketika seseorang datang ke rumah sakit dalam suasana emergency atau darurat, rumah sakit pertama, tidak boleh menolak. Selain itu, rumah sakit tidak boleh memungut biaya dahulu atau mewajibkan bayar uang muka dalam situasi darurat.
Hal yang sama disampaikan Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Koesmedi Priharto. Ia mengatakan, menurut UU Rumah Sakit dan UU Kesehatan, seseorang yang dalam keadaan darurat harus dilakukan pertolongan pertama dan tidak boleh menarik biaya. “Entah itu pasien BPJS atau bukan BPJS,” ujarnya kepada VIVA.co.id.
Ia mengatakan, RS Mitra Keluarga Kalideres memang belum bermitra dengan BPJS. Meski belum bermitra, jika pasien mempunyai kartu BPJS, maka BPJS akan mengganti biaya emergency.
Menurut dia, bagi rumah sakit yang melanggar akan diberi sanksi. Sanksinya mulai dari teguran lisan, teguran tertulis, denda hingga pencabutan izin operasional. “Tergantung seberapa besar kesalahannya dan seberapa sering membuat kesalahan,” ia menambahkan.
Kosmedi mengakui, kasus Debora bukan yang pertama. Sebelumnya kasus serupa juga kerap terjadi. “Dulu kan pernah ada yang muter-muter cari rumah sakit. Ada juga yang kayak gitu,” ujarnya.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan, kasus Debora seperti gunung es. “Ini bukan kasus yang pertama dan sering terjadi,” ujar Sekretaris Jenderal IDI dr. Adib Kumaidih kepada VIVA.co.id.
Menurut dia, setiap kasus yang akhirnya menjadi hal yang dipermasalahkan masyarakat pasti bermula dari permasalahan di unit emergency. Sebab, unit ini yang pertama kali menerima pasien saat masuk rumah sakit.
Saat bicara layanan, setiap pasien yang masuk ke UGD, dokter dan tim akan melakukan tindakan. Tim dokter di UGD akan melakukan initial stabilization (stabilisasi awal).
“Saat initial stabilization ini lah yang kemudian dia butuh maintenance stabilization, apakah dia butuh tindakan operasi, masuk ICU atau PICU, atau cukup rawat biasa,” dia menjelaskan.
“Ini yang kemudian cut off larinya ke administrasi. Kalau dia swasta masuk ke pembiayaan,” ujarnya.
Adib mengatakan, bagi dokter, prioritasnya adalah menyelamatkan nyawa seseorang. Namun, karena menjadi salah satu bagian dari unit di rumah sakit, mereka harus patuh dengan peraturan di rumah sakit yang bersangkutan. “Kami selalu ingin menyelamatkan mereka,” Adib menegaskan.
Ia mengakui, tak sedikit dokter yang berseberangan dan berbenturan dengan pihak rumah sakit tempat mereka bekerja. Menurut dia, dokter selalu berorientasi pada pelayanan medis. Dokter tidak ikut dalam masalah administrasi.
Namun, tak jarang dokter diminta memberikan sebuah keputusan yang berkaitan dengan administrasi. “Ini yang dikeluhkan kawan-kawan,” ujarnya.
Menurut dia, kunci utamanya ada di pihak rumah sakit. Ia mengatakan, rumah sakit harus memberikan komunikasi yang efektif ke pasien. Kalau ada hal-hal seperti ini jangan sampai panik. “Siapa yang enggak shock tiba-tiba suruh bayar sekian-sekian. Kebijakan internal rumah sakit harus ada pengecualian khusus. Tolong rumah sakit memprioritaskan pasien,” tuturnya.
Selanjutnya, Pemerintah Dinilai Tak Tegas
Pemerintah Dinilai Tak Tegas
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyatakan, kasus Debora harus menjadi pintu masuk untuk mengevaluasi dan memperbaiki sistem rumah sakit. Ketua KPAI Susanto mengatakan, pemerintah bukan hanya sebagai regulator, tapi harus memberikan pembinaan dan pengawasan agar semua layanan kesehatan taat peraturan perundang undangan.
“Jika ada yang melanggar ya berikan punishment yang sesuai,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis 14 September 2017.
Menurut dia, KPAI banyak menerima laporan serupa kasus Debora. Untuk itu, pemerintah diminta melakukan kontrol, pembinaan, dan mengevaluasi sistem layanan agar semua layanan kesehatan ramah anak.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Susanto.
“Sejatinya UU Kesehatan sudah maju dan berpihak pada pasien. Namun pemastiannya masih membutuhkan komitmen besar dari semua pihak,” dia menambahkan.
“Masih ada sejumlah layanan kesehatan yang hanya fokus pada hitung-hitungan bisnis ketimbang berorientasi pada keselamatan pasien.”
Oscar Primadi berdalih, kontrol dan pengawasan rumah sakit merupakan kewenangan pemda bukan Kemenkes. Ia mengklaim bahwa pengawasan terus dilakukan.
Meski kontrolnya dilakukan provinsi, tapi Kemenkes tidak lepas tangan. Oscar berharap, kasus bayi Debora menjadi pelajaran agar rumah sakit memperbaiki pelayanan.
Belajar dari kasus Debora, IDI mengusulkan agar memaksimalkan badan pengawas rumah sakit independen di bawah Dinkes atau Kemenkes di tiap daerah. “Harus ada pembinaan supaya enggak ada kejadian seperti ini,” ujar Adib.
Harapan yang sama disampaikan Henny. Ia mengatakan, anaknya memang sudah meninggal. Namun, ia berharap, kasus yang menimpa Debora bisa menjadi pelajaran.
“Saya hanya berharap, ini menjadi pembelajaran buat kita semua, terutama pemerintah, rumah sakit agar lebih mengutamakan orang yang membutuhkan perawatan,” ujar ibu 37 tahun ini sambil menyeka air mata.