N219, Penyambung Asa

Pesawat N219 mendapat sambutan meriah dari masyarakat di Bandung begitu mendarat.
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Fahrul Jayadiputra

VIVA.co.id – “Dengan mengucap Bismillahirrohmanirrahim, inilah terbang perdana pesawat karya putra-putri bangsa Indonesia, N219!” Demikian sorak seorang pemandu acara yang menggema di landasan pacu Bandara Husein Sastranegara, Kota Bandung.

Tepuk tangan dan sorak-sorai pun bergemuruh dari pinggir lintasan yang jaraknya kurang dari satu kilometer dari landasan pacu itu. Di seberang sana, pesawat perintis itu berlari kencang. Lalu semakin kencang, sampai akhirnya tak lagi menyentuh aspal.

Laa hawla wala quwwata illa billah,” sahut Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin, saat mengiringi pesawat yang melakukan uji terbang pertama pada 16 Agustus 2017 itu.

Saat pesawat terbang semakin tinggi, tepuk tangan semakin bergelora menggetarkan panggung di sisi lintasan. Sorak sorai pun mengalun dari ribuan karyawan PT DI dan para pengunjung yang hadir. Pesawat yang dirintis PT DI sejak 2004 itu terbang dengan ketinggian sampai 1.000 kaki, membuat decak kagum semua orang yang merasa turut melahirkannya.

“Subhanallah!” seruan itu pun terdengar sayup-sayup. “Akhirnya, bisa juga terbang. Akhirnya! Waahhh, luar biasa,” kata Direktur Jenderal Perhubungan Udara dari Kementerian Perhubungan, Agus Santoso. Dia  tampak sangat bangga sambil melihat sang pesawat menghilang ditelan awan.

Para pejabat yang menyaksikan pun saling berpelukan dan meneteskan air mata. Selain Thomas Djamaluddin dan Agus Santoso ada juga Direktur Utama PT Dirgantara Indonesia, Budi Santoso. Pesawat berkapasitas 19 penumpang itu mengudara mengelilingi langit Bandung Barat selama 40 menit sejak lepas landas pukul 09.00 WIB.

Saat mendarat di landasan pacu yang sama, dua baling-baling yang berada di depan pesawat terus menerus berputar seraya membawa pesawat ke depan para penonton. Pintu pun terbuka dan seorang pilot wanita keluar dari sisi kiri pesawat, berlari ke arah kerumunan dengan mata berkaca-kaca. Chief Test Pilot dari PT DI itu, Capt. Esther Gayatri Saleh, langsung disambut jajaran direksi PT. DI dan instansi lainnya yang ikut merasakan haru.

"Merdeka untuk Indonesia, kita bisa hadirkan produk anak bangsa. Ini masih baru perdana terbang, semua unsur pesawat merespons dengan baik," kata Esther seraya menghapus linangan air matanya.

Sejatinya, master testing plan N219 semula dijadwalkan pada 2009, kemudian target maiden flight pada awal 2016. Menurut Kepala Program N219 dari Lapan, Agus Aribowo, yang menyebut uji coba kemarin sebagai The First Engineering Development Flight Test, lamanya kemunduran yang ditargetkan dari jadwal sebelumnya, dikarenakan PT DI kehilangan banyak engineer terbaik yang merancang N219 sejak awal. Ini memberikan pengaruh psikologis engineer yang lain sehingga tidak yakin 100 persen dengan hasil perhitungan dan analisa mereka. [Baca juga: Kepak Sayap Adik Gatotkaca]

“Ini menyebabkan terjadiya iterasi desain hingga berkali-kali sampai mendekati sempurna. Desain mundur cukup lama. Ini dimaklumi karena tidak ada satu orang bule atau technical assistant dari luar negeri yang mendampingi mereka. Terbang kemarin itu membuktikan dan memberikan kepercayaan luar biasa kepada para engineering bahwa perhitungan dan analisa mereka tidak perlu diragukan,” kata Agus. [Lihat infografik: Jatuh Bangun PT DI]

Meski bergeser jauh dari target, semua orang bangga dengan suksesnya uji terbang pesawat perintis N219 hari ini. Ini artinya, pintu pasar pesawat perintis di Indonesia terbuka lebar.

Selanjutnya...Trauma N250

***

Trauma N250

Proyek pesawat N250 dipaksa berhenti akibat krisis ekonomi 1997. (Eka Viation)

Pesawat N219 ini membawa pula kenangan akan N250, lebih dari 20 tahun lalu. Pada 10 Agustus 1995, Indonesia mencetak sejarah dengan menerbangkan pesawat lokal, Gatotkaca N250. Suasana kesuksesan terbang perdana N250 disambut meriah, lebih meriah ketimbang N219. Disaksikan pejabat tinggi pemerintahan - termasuk Presiden Soeharto dan Menristek BJ Habibie -  disiarkan televisi, dan ditunggu oleh masyarakat Asia.
 
Namun kegembiraan itu ternyata tak berlangsung lama. Dua tahun kemudian krisis ekonomi melanda Asia dan Indonesia pada 1997. Proyek ini dipaksa berhenti oleh IMF yang datang memberi bantuan ke Indonesia untuk keluar dari krisis. IMF mencairkan bantuan dengan berbagai syarat. Mantan Menteri Perhubungan, Jusman Syafii Djamal dengan tegas mengatakan IMF menjadi biang kegagalan Indonesia untuk mendiri membuat pesawat.
 
Dalam nota kesepakatan (letter of intent) yang ditandatangani oleh Presiden Soeharto dengan IMF pada 15 Januari 1998, pemerintah/APBN dilarang menggelontorkan dana seperak pun untuk IPTN (sekarang PTDI). Praktis proyek N250 kemudian dimatikan. Padahal industri penerbangan nasional kala itu sudah siap menjadi system integrator.

Dalam industri penerbangan ada yang namanya system integrator dan second layer. Untuk system integrator, artinya, industri penerbangan mampu menghasilkan pesawat terbang secara utuh. Adapun, second layer, artinya, memproduksi komponen pesawat terbang. Dari situ, Indonesia diklaim bisa bersanding dengan Airbus dan Boeing, bisa membuat uji coba dan ekspor komponen pesawat terbang.
 
"Kita mati suri di system integrator akibat krisis tahun 1998 dan perjanjian dengan IMF. Namun tidak untuk second layer. Indonesia masih dipercaya membuat komponen pesawat A380," papar  Jusman, yang merupakan salah satu dari Empat Sekawan pengembang N250.

Namun apakah N219 akan bernasib sama dengan N250? Jawabannya tidak. PT DI yakin jika N219 dibuat tidak berdasarkan mode melainkan fungsi dan kebutuhan. Oleh karena itu akan terus memiliki pasar meskipun di negeri sendiri.

Pengamat penerbangan yang juga Direktur Arista Indonesia Aviation Center,  Arista Atmadjati, yakin bahwa dukungan pemerintah sangat berarti untuk mencegah insiden N250 terulang kembali pada N219.

“Pemerintah harus mendukung N219 karena saingannya sedikit. Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mem-backup karena ini merupakan inovasi teknologi tinggi, terobosan baru kalau kita bisa membuat pesawat. Pasarnya luas, dari domestik sampai Asia Tenggara,” ujar Arista.

Selanjutnya...Asa di Pesawat Perintis

***

Asa di Pesawat Perintis

N219 akan mampu bertahan jika pemerintah turut campur dan memberikan dukungan yang kuat. (Twitter/@LAPAN_RI/Donny Hidayat)

Semua pihak memiliki harapan besar dengan berhasilnya uji terbang N219. PT DI akan semakin percaya diri dengan pesawat buatan lokal. Selain itu, Lapan bisa membantu pemerintah menghubungkan banyak pulau di Indonesia dan mimpi untuk bisa memiliki pesawat sendiri pun terwujud, sedangkan Kemenhub berharap N219 bisa menggantikan pesawat perintis yang hampir semua usianya sudah tua.

Asisten Khusus Pengembangan Pesawat PT. DI, Andi Alisjahbana berkisah, butuh proses yang panjang untuk bisa membuat pesawat perintis ini. Tidak heran jika kemudian pesawat yang ditujukan untuk menerbangkan penumpang dengan jarak pendek ini rampung dalam kurun 13 tahun sejak diinisiasi. Apalagi sebelum memutuskan untuk mengembangkannya, PT DI terlebih dulu melakukan survei ke masyarakat.

“Ini berangkat dari survei, ‘apa sih yang dibutuhkan negara ini di dunia penerbangan?’ Kebanyakan tidak menyebutkan pesawat tempur atau jet, tapi justru pesawat perintis ini. Pasalnya Indonesia punya 17.000 pulau, landasannya pendek-pendek. Survei itu menyimpulkan, kita butuh pesawat yang bisa mendarat di landasan 500 meter, masuk ke pelosok. Jadilah pesawat perintis ini, N219, yang sebagian besar dananya sebagian besar dari Lapan,” ujar Andi.

Menteri Riset dan Teknologi serta Pendidikan Tinggi, Muhammad Nasir, mengungkapkan bahwa N219 sudah memiliki “pembeli potensial” untuk 200 unit. Nasir pun menyarankan agar PT DI menambah kapasitas produksi. Saat ini, kata Nasir, kapasitas produksi PT DI masih pada angka 24 unit setahun.

Dengan potential buyer sebanyak itu, tidak heran jika pesawat yang dikatakan telah menghabiskan dana sampai US$62 juta dolar itu pun digadang-gadang akan mampu membuat Indonesia masuk ke pasar pesawat perintis global. Analis Kebijakan Pengembangan Pesawat Nasional, Kasie Kebijakan Iptek Kemenristekdikti, Muhammad Athar Ismail Muzakir, mengatakan sejatinya ada dua pesaing berat N219, yakni twin otter de Havilland Canada (DHC) dan Y-12F dari China. Namun DHC sudah pensiun sehingga pesaing satu-satunya adalah Y-12F yang sudah mendapatkan  sertifikasi kelayakan mengudara dan FAAR 23.

Ditambahkan Arista, selain Y-12F China, pesaing domestik untuk N219 juga banyak. Jumlahnya di bawah 10, seperti Lion, Tri Nusa di NTT, atau Sky Aviation di Kalimantan. Namun yang besar adalah nama Susi Air, milik Menteri  Perikanan dan Kelautan Susi Pudjiastuti.

“Pesawatnya brand new semua kalau di Susi Air. Armadanya ada 50 unit, beli dari Amerika semua,” ujar Arista.

Namun begitu, baik Arista maupun Muhammad Athar sepakat jika N219 akan mampu bertahan jika pemerintah turut campur dan memberikan dukungan yang kuat. Tidak hanya masalah kebijakan tapi juga mencegah masuknya pesawat-pesawat perintis buatan asing masuk dan mengacak pasar di Indonesia.

“Kalau mau industri pesawat kita besar, komitmen dari pemerintah harus tetap terjaga untuk pesawat terbang. Harus ada political will agar N219 ini bisa tetap eksis dan terjaga. Kalau masalah teknologi saya pikir N219 ini sudah cukup memadailah. Di masa pemerintahan Jokowi sudah dinyatakan dalam RPJMN yang legal standingnya jelas. Namun dari sisi kebijakan sektoral, masih rentan. Jadi penting bagi kita jika pemerintah memberi jaminan kredit pembelian pesawat,” ujarnya.

Dia mencontohkan China, yang mengadakan fasilitas leasing pesawat. Dalam mekanisme ini, pihak perbankan mengeluarkan dana talangan. Industri penerbangan mendapat uang pembelian utuh dari bank, kemudian pembeli akan membayar secara mencicil. Skema yang sama dengan pembelian mobil atau sepeda motor.

Selanjutnya...Terbang di Masa Depan

***

Terbang di Masa Depan

Usai uji terbang, Lapan dan PT DI tidak akan berhenti sampai di sini. Thomas mengungkapkan jika N219 akan dituntaskan sampai mendapat production certificate. Dengan ini langkah untuk memulai proses produksi. N219 ditargetkan mulai diproduksi pada 2018 mendatang, dengan target memangkas hambatan-hambatan transportasi udara di Indonesia untuk kawasan pelosok.

“Ke depannya kami juga akan mengkaji N219 versi Amfibi agar bisa mendarat di segala landasan, termasuk pantai. Setelah itu adalah N245,” ujar Thomas.

Ditambahkan Agus, Lapan kembaran N219 itu akan melakukan uji terbang pada November besok. Untuk mendapatkan kredit sertifikasi, semua pesawat N219 itu akan menjalani uji terbang selama 630 jam.

Thomas maupun PT DI yakin Indonesia bisa memimpin dan berjaya di pasar industri pesawat dunia. Apalagi dengan dukungan 240 juta penduduk RI yang mau menggunakan produk dalam negeri.
“Kami melalukan ini untuk regenerasi, kita harapkan generasi berikutnya mampu N245 diselesaikan, juga ada program fighter diselesaikan. 10 tahun lagi Indonesia penuh dengan inovasi, lapangan kerja yang berkualitas dan mengharuskan orang mesti menggunakan seluruh kemampuan otaknya,” kata Andi.

Sejatinya kepercayaan PT DI untuk membuat pesawat telah diakui dunia. Selain berhasil mengembangkan N250 di masa lalu dan sekarang N219, perusahaan BUMN itu sudah mampu memproduksi pesawat militer untuk dalam dan luar negeri serta pesawat untuk segmen pemerintahan.  Beberapa karya PT DI di antaranya produksi pesawat CN235 bekerja sama dengan CASA Spanyol, CN295 dan NC212i bekerja sama dengan Airbus Defence and Space (ADS), helikoper BELL412EP, BELL412EPI bekerja sama dengan Bell Helicopters Textron Inc, serta lainnya. Semua berhasil dibuat. Secara jumlah unit, sejak 1976-2017, PT DI sudah mampu mengirimkan pesanan 407 unit untuk pesawat terbang dan helikopter.
 
Pesawat CN235 dan NC212 sudah laku ke berbagai belahan dunia. Secara jumlah unit, PT DI sudah mengirimkan 64 unit CN235 dan 105 unit NC212. Secara sebaran pengguna CN235, beberapa negara yaitu Venezuela, Senegal, Guinea Conakry, Burkina Faso, Uni Emirat Arab, Turki, Pakistan, Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam, Korea Selatan. Sedangkan untuk NC212 sudah dipakai Vietnam, Filipina dan Indonesia sendiri.

“Sepuluh tahun lagi, saya yakin prospek industri pesawat di Indonesia sangat bagus. Transportasi udara untuk konektivitas wilayah Indonesia yang sangat luas memerlukan banyak pesawat,” ujar Thomas. (ren)