Nyonya Meneer Tak Lagi Kuat Berdiri
- VIVA.co.id/Dwi Royanto
VIVA.co.id – ‘OBYEK INI DALAM SITA UMUM’. Tulisan itu terpampang, persis di depan bangunan yang berlokasi di Jalan Kaligawe Km 4, Kota Semarang, Jawa Tengah ini. Pengumuman yang ditulis dalam huruf kapital itu terpampang di spanduk warna kuning berukuran 3x6 meter yang menempel di pintu pagar. Tak jauh dari pagar, terlihat papan nama atau plang bertuliskan ‘MUSEUM JAMU NJONJA MENEER’ dan ‘NJONJA MENEER’ berukuran besar.
Seorang karyawan mengamati tulisan pengumuman penyitaan di pabrik PT Nyonya Meneer, Jalan Kaligawe Semarang. (VIVA.co.id/Dwi Royanto)
Sore itu, Rabu, 9 Agustus 2017, bangunan yang berada persis di pinggir kali ini tampak sepi. Tak ada lalu lalang orang dan kendaraan laiknya sebuah perusahaan. Juga tak terdengar suara mesin yang sedang beroperasi. Bangunan berdinding putih dengan cat yang mulai kusam ini tampak lengang.
Perusahaan yang sudah berdiri sejak 1919 ini sedang terlilit utang. Akibat tak kuat membayar, perusahaan diputuskan pailit oleh Pengadilan Negeri Semarang. Pabrik jamu legendaris ini pun goyang.
Perusahaan Keluarga
PT Nyonya Meneer merupakan bisnis keluarga yang diwariskan secara turun temurun. Menurut buku Family Business: A Case Study of Nyonya Meneer, One of Indonesia’s Most Successful Traditional Medicine Companies, perusahaan ini didirikan oleh Lauw Ping Nio, nama asli dari Nyonya Meneer. Produk jamunya terkenal sejak 1919 dan memiliki pabrik pertama di Semarang, Jawa Tengah.
Nyonya Meneer sendiri lahir di Sidoarjo, Jawa Timur pada 1895 dan tinggal di Semarang dengan suaminya saat pendudukan Belanda. Besar di Sidoarjo, Meneer kecil menerima banyak didikan dari sang ibu, termasuk meracik tanaman untuk digunakan sebagai obat. Warisan orangtua ini yang kemudian menjadi cikal bakal industri jamu terbesar di Indonesia yang produknya berhasil menembus pasar internasional ini.
Salah satu bangunan pabrik PT Nyonya Meneer yang ada di Semarang. (VIVA.co.id/Dwi Royanto)
Sebutan Meneer ia dapatkan sejak masih berada di dalam kandungan. Ibunya gemar memakan butiran-butiran halus sisa tumbukan padi yang dalam bahasa Jawa disebut Menir. Maka saat Lau Ping Nio lahir, sang ibu kerap memanggilnya dengan sebutan Meneer.
Semasa kecil, wanita yang akrab disapa Nonie Meneer ini tak hanya diajarkan meracik jamu, namun juga beragam keterampilan rumah tangga seperti merawat tanaman, memasak dan mengurus rumah. Didikan tersebut membuatnya tumbuh menjadi wanita yang disiplin dan kreatif.
Paras Tionghoa Jawa Nonie Meneer yang cantik menarik perhatian pemuda asal Semarang berdarah Tionghoa, Ong Bian Wan. Pemuda yang berprofesi sebagai pedagang tersebut jatuh hati pada Meneer. Tanpa ragu, Ong menyunting Meneer yang saat itu masih berusia 17 tahun. Setelah menikah, muncullah panggilan baru yang melekat hingga kini, Nyonya Meneer.
Dikutip dari laman resmi Njonja Meneer, dikisahkan bahwa pada suatu ketika suaminya jatuh sakit. Ia mengeluhkan sakitnya di bagian perut. Sumber lain menyebutkan, suaminya jatuh sakit karena bekerja terlalu keras akibat kekejaman Belanda.
Namun, pada waktu itu mendapatkan pengobatan yang layak tidak mudah. Sejumlah dokter yang didatangi tak kunjung bisa menyembuhkan. Terdesak, Meneer pun mencoba meracik jamu dari tanaman obat dengan peralatan sederhana, berbekal ilmu yang diajarkan ibunya. Ajaib, suaminya sembuh. Sejak itu Meneer bersemangat mengasah kemampuannya membuat dan meramu jamu.
Ketika usia Meneer menginjak 24 tahun, jamu racikannya mulai dikenal. Kabar mengenai kemampuan Meneer yang jago meramu obat yang mujarab mulai terdengar masyarakat sekitar. Sejak itu Meneer mulai menyebarluaskan jamu buatannya untuk membantu orang-orang di sekitarnya yang sakit.
Nyonya Meneer yang ringan tangan dan peduli pada sesama dengan senang hati meracik untuk mereka yang demam, sakit kepala, masuk angin dan terserang berbagai penyakit ringan lainnya. Semakin banyak yang merasakan khasiat jamu racikan Nyonya Meneer, semakin banyak pula permintaan untuk mengantarkan sendiri jamu yang sudah mulai ia kemas.
Selanjutnya, Bisnis Jamu Terbesar di Indonesia
Bisnis Jamu Terbesar di Indonesia
Berawal dari niat membantu sesama, Meneer memanfaatkan kemampuannya itu untuk mencari uang. Awalnya, dia mengantarkan sendiri jamu racikannya ke rumah para pelanggannya. Bisnis Nyonya Meneer pun berkembang menjadi industri rumahan berskala kecil. Karena tak sanggup melayani berbagai pesanan sendiri, dia pun merekrut karyawan.
Tingginya jumlah pesanan membuat Nyonya Meneer nyaris tak bisa keluar dari ruang kerjanya. Padahal, saat itu dia hanya menggunakan perabot atau alat biasa dan resep warisan orangtuanya.
Karena terus berkembang, akhirnya pada tahun 1919, Nyonya Meneer mendirikan perusahaan bernama ‘Jamu Jawa Asli Cap Potret Nyonya Meneer’ di Semarang. Pada 1967 Nyonya Meneer menjadi Direktur Utama di perusahaannya tersebut. Salah satu anaknya, Hans Ramana dipercaya untuk mengurus perusahaan. Sedangkan ketiga anak lainnya yakni Lucy Saerang, Marie Kalalo, dan Hans Pangemanan diangkat menjadi anggota dewan komisaris.
Sebuah toko yang memasang logo jamu Nyonya Meneer di Semarang. (VIVA.co.id/Dwi Royanto)
Pada tahun 1970, persaingan dunia bisnis jamu semakin ketat dengan hadirnya sejumlah kompetitor. Rival Nyonya Meneer seperti PT Sido Muncul dan Air Mancur mulai menjual berbagai produk serupa dengan harga yang berbeda-beda. Di tengah persaingan tersebut, pada 1976 Hans Ramana meninggal dunia di Honolulu akibat kanker. Enam bulan sebelum kematian Hans, Nyonya Meneer terkena stroke dan sulit bicara.
Saat itu, keluarga sepakat merahasiakan kematian Hans agar tak mengganggu kesehatan Nyonya Meneer. Namun, dua tahun kemudian, Nyonya Meneer menyusul putranya. Dia meninggal dalam kondisi tidak mengetahui anaknya telah meninggal dunia lebih awal. Hal ini menjadi pukulan keras bagi perusahaan. Pasalnya, dua orang yang paling diandalkan perusahaan meninggal lebih dulu. Akibatnya, perusahaan mulai goyah.
Sepeninggal Nyonya Meneer terjadi perseteruan di antara kelima cucu pewaris Nyonya Meneer yang melibatkan ratusan bahkan ribuan pekerja. Akhirnya, pada 1995 konflik berakhir dengan pelepasan saham anggota keluarga. Perusahaan sepenuhnya dipegang oleh cucu Nyonya Meneer yang bernama Charles Saerang.
Selanjutnya, PT Nyonya Meneer di Tangan Charles Saerang
PT Nyonya Meneer di Tangan Charles Saerang
Ada mitos, bahwa dalam bisnis keluarga akan terjadi tiga fase. Generasi pertama melahirkan, generasi kedua membangun, dan generasi ketiga menghancurkan. Namun, hal tersebut tak berlaku bagi Charles Saerang. Penerus Nyonya Meneer Generasi ke-3 ini mengubah perusahaan keluarga yang tertutup menjadi lebih maju dan profesional.
Ia bahkan mampu mendorong perusahaan jamu asal Semarang ini melaju, menjadi perusahaan jamu yang disegani dan mampu menguasai 34 persen pangsa pasar nasional dan Internasional.
Meski demikian, hal itu tak mudah ia dapatkan. Anak dari putra kedua Nyonya Meneer, Hans Ramana ini harus berjuang keras ‘menaklukkan’ para pemegang saham keluarga. Selama lebih dari 24 tahun, ia menghadapi masa-masa sulit lantaran berseteru dengan keluarganya sendiri.
Kepada VIVA.co.id pada April 2009 Charles Saerang menuturkan, sebelum meninggal, Hans meminta agar Charles yang saat itu kuliah di Amerika untuk kembali ke Indonesia guna meneruskan bisnis keluarga. Charles memang menyelesaikan studinya di Miami University Ohio pada 1976 dan Master of Science Kensington University California AS pada 1976.
Tiba di Indonesia, bukan sambutan hangat yang didapat. Charles justru disambut dingin oleh keluarganya yang menjalankan usaha Nyonya Meneer sebelumnya. "Situasinya saat itu sangat sulit," katanya.
Charles yang terbiasa dengan pikiran independen ketika kuliah di luar negeri, harus menghadapi keluarganya yang tertutup. Dia dilempar ke sana kemari oleh paman dan bibinya. Ia mengaku pernah dibuang ke Ambon, Jambi, Palembang, Pekanbaru, Bali untuk menjadi tenaga pemasaran Nyonya Meneer. "Kalau tidak mempunyai komitmen yang kuat maka akan sulit dipercaya keluarga," ujarnya kala itu.
Berbekal komitmen, dia bertekad tak mau diremehkan keluarga ayahnya. Ibunya sempat menyarankan agar ia menjual sahamnya di Nyonya Meneer karena tekanan bertubi-tubi dari saudara-saudaranya. Mereka tak mau Charles menduduki jabatan nomor satu di perusahaan keluarga tersebut. "Bayangkan susahnya menghadapi keluarga. Itu sangat luar biasa sulitnya. Namun, saya harus gunakan kultur Timur, tidak boleh kurang ajar," ujarnya mengisahkan.
Selama 24 tahun, pertengkaran antarkeluarga tak kunjung berhenti. Sejak 1976 hingga 2000 Charles harus menghadapi sengketa keluarga. Perselisihan itu mulai dari soal ide yang ditolak hingga perebutan saham keluarga. Tak jarang, perseteruan dan perselisihan itu berujung di pengadilan.
Lelah menghadapi perselisihan yang tak berkesudahan, Charles akhirnya mengambil keputusan yang berani. Ia memborong semua saham milik keluarga. Saudara yang semula memegang operasional perusahaan jabatannya diganti menjadi komisaris. Dia kemudian menempatkan orang-orang profesional untuk mengelola Nyonya Meneer.
Hasilnya, sejak 2006, PT Nyonya Meneer berhasil memperluas pasar jamu hingga ke Taiwan, Malaysia, Brunei, Australia, Belanda dan Amerika Serikat. Karyawannya pun terus bertambah, dari yang semula hanya 140 menjadi 3.000 orang.
Namun, nasib baik sepertinya tak selalu berpihak pada Charles. Kondisi perusahaan terus memburuk karena terlilit utang. Bahkan pada 2013, terjadi aksi unjuk rasa karena perusahaan menunggak gaji karyawan. Hampir selama tujuh tahun belakangan, PT Nyonya Meneer memiliki banyak utang. Dan perusahaan tak sanggup membayar. Akibatnya, salah satu kreditur bernama Hendrianto Bambang Santoso membawa kasus ini ke pengadilan. Dan, pengadilan mengabulkan gugatan tersebut dan memutuskan perusahaan yang sudah berusia hampir satu abad itu dinyatakan pailit. (mus)