Sinambung Lawak Indonesia

Ludruk Kartolo
Sumber :
  • VIVAnews/Fernando Randy

VIVA.co.id - Feni Rose nyaris terjatuh dari kursinya sembari terbahak-bahak. Dia mengambil sehelai kertas dan mengipaskan ke wajahnya. Berusaha kembali tenang.

Namun, presenter yang didaulat jadi juri sebuah acara komedi ini masih saja cekikikan. Beberapa kali terlihat memaksa bibirnya mengatup, usahanya itu seperti sia-sia.

Kipas kertas yang dipergunakannya untuk mengibaskan angin ke rambut panjangnya juga tak bisa berbuat banyak. Limabelas otot wajahnya yang sejak tadi sudah tertarik-tarik, membuat mukanya memerah.

Lalu, dengan jari telunjuk kiri terlipat, ia pun menyeka ujung matanya dengan kulit di punggung jari telunjuknya. Sepertinya air mata Feni keluar tanpa disengaja.

Hari itu, apa yang dialami Feni, hampir serupa dengan ratusan orang lain yang duduk di tribun penonton di belakang Feni. Penampilan lawak tunggal atau Stand Up Commedy – yang digelar sebuah stasiun televisi nasional beberapa waktu lalu itu – memang berhasil membuat suasana riuh.

Mimik dan gaya tutur khas Jawa Dodit Mulyanto, seorang komika yang kebetulan menjadi penampil di acara itu diakui benar-benar mengocok perut. Tak cuma tiga juri, ratusan penonton bahkan dibuatnya terpingkal.

Hingga kini, kepingan kehebohan itu tetap bisa disaksikan di layanan video Youtube. Meski acara itu telah setahun silam, terbukti tetap digemari. Faktanya, video ulangan ini telah menembus lebih dari 6,2 juta orang penonton.

Di Indonesia, diakui sejarah perlawakan memang minim literasi. Maklum sejak lampau ada anggapan bahwa humor itu hanyalah dunianya kaum jelata. Para priyayi atau pejabat harus berwibawa, serius dan harus selalu terlihat bisa disegani.

Meski begitu, komedi sejatinya telah dinikmati berpuluh tahun lalu umumnya dalam bentuk kesenian rakyat seperti Ludruk, ketoprak, lenong, atau pun pagelaran wayang.

Sejumlah aktor saat mementaskan pertunjukan Ludruk Kartolo di Graha Bhakti Budaya Jakarta, (12/04/2012). Foto:VIVAnews/Fernando Randy

Bentuk penampilan komedi ini bisa dilakukan berkelompok atau dilakukan sendiri (monolog). Usai kemerdekaan Indonesia, tahun 1949 misalnya, pernah populer sosok Cak Markeso. Sosok seniman ludruk tunggal ini berkeliling kampung dan melawak seorang diri.

Lalu ada juga nama Srimulat di tahun 1950-an. Kelompok pelawak yang mengkolaborasikan musik, tari dan komedi dalam satu paket. Mereka berkeliling dari Jawa Timur sampai Jawa Tengah.

Di tahun 1958, muncul grup lawak bernama Trio Los Gilos. Anggotanya Mang Udel, Mang Cepot dan Bing Slamet. Konon kelompok inilah yang akan menjadi figur contoh kelompok lawak generasi berikutnya.

Sejalan itu, kelompok-kelompok lawak pun makin berkembang. Beragam nama seperti Kwartet Jaya, Surya Grup, Pancaran Sinar Petromak, Warkop DKI, Sersan Prambors dan lain sebagainya pun lahir. [Baca juga: Warkop DKI, Berjaya Sepanjang Masa]

Begitu pun dengan sosok perorangan seperti Bing Slamet, Edi Sud, Ateng, Iskak, Benyamin S dan lainnya bersemi di Indonesia. [Lihat infografik: Sejarah Lawak Indonesia]

Sayang memang, sikap represif Orde Baru kala itu ditambah terbatasnya stasiun televisi membuat banyak grup lawak atau pun figur perseorangan timbul tenggelam.

Selanjutnya…Lawakan Dulu dan Kini

***

Lawakan Dulu dan Kini

Perjalanan dunia komedi di Indonesia mengalir dalam beragam kisah. Dari era ludruk, ketoprak, lenong di era 90-an hingga era milenium di tahun 2000, semua memiliki kekhasan tersendiri.

Tarzan (72 tahun), pentolan Grup Srimulat merasakan adanya perbedaan antara era panggung komedi di masa kejayaan mereka dengan kekinian. Lelaki pemilik nama asli Toto Muryadi ini melihat komedi era kini sebagai konten bisnis. "Yang laku dan tidak laku," ujarnya, Jumat 3 Agustus 2017.

Sebagai pegiat lawak Indonesia sejak 1962, Tarzan tak menampik jika panggung komedi tetap menjadi ajang menguntungkan di televisi di era setelahnya. Apalagi saat ini, komedian lebih mengedepankan cara apa pun agar penonton bisa tertawa.

"Saya kan tidak bisa melawak seperti anak sekarang. Banting-bantingan, hancur-hancuran kursi. Itu kan yang sekarang lagi trend, yang lagi laku," ujar Tarzan.

Pelawak Tarsan Srimulat (kiri). (ANTARA FOTO/Teresia May)

Menurut Tarzan, saat ini komedi yang ditawarkan ke publik lebih kepada menyesuaikan ke keinginan televisi yang menampung mereka. Sehingga banyak kemudian, pelawak 'zaman dulu' akhirnya mesti mundur pelan-pelan dan memilih tampil di luar hiruk pikuk dunia hiburan.

Mohamad Ali Sidik Zamzami, atau yang populer dengan panggilan Mo Sidik, mewakili generasi komedian masa kini. Kelahiran Jakarta tahun 1976, Mo Sidik mengakui ada perbedaan antara gaya komedi lama dengan masa kini.

Bahkan pria yang kini menjadi salah satu mentor peserta Stand Up Commedy Indonesia ini mengakui justru lawak lawas adalah sesuatu yang sulit. Sebabnya seorang pelawak saat itu dituntukan lebih banyak bakat atau kemampuan.

Mereka pun juga tak perlu dituntut menuliskan lebih dahulu konsep lawakannya. Sehingga semua mengalir berdasarkan bakat dan improvisasi para pelawak. "(Karena itu) Menurut saya lawak itu lebih sulit. Kalau SUC (Stand Up Commedy), bakat bisa dikalahkan dengan kerja keras," ujar Sidik.

Senada dikatakan Aditya Gumay, sutradara Lenong Bocah dan Sitkom, ia mengakui jika era kekinian seni komedi sudah dibatasi dalam bentuk naskah yang sudah disiapkan. Jika pun ada improvisasi, perbandingannya sangat minim.

Hal ini ditengarai oleh kebutuhan agar para pelawak tidak mengalami kelelahan ide serta bisa mensiasati jadwal pemain yang padat. "Skrip (juga) membantu pemain agar tidak mengeluarkan joke garing. Ceritanya juga jadi lebih jelas," ujar Aditya.

Aditya mengakui, kadang di era kini muncul pelawak atau komedian yang terkesan menghalalkan segala cara agar mendapat tawa dari penonton. Salah satunya adalah dengan menggunakan diri sendiri sebagai objek, misalnya menjatuhkan badan, mendorong lawan main dan lain sebagainya.

"Jadinya threat to be funny. Joke-joke an garing. Akhirnya segala cara," kata Aditya.

Ya, gaya lawak kekinian memang sarat dengan lucu yang tak orisinil. Bahan banyolan yang dibangun juga tak lagi berangkat dari sebuah kritik sosial atau pun ingin menyampaikan pesan kuat dalam bentuk parodi ke publik.

Lawak akhirnya mengurangi kualitas mereka. Tingginya jam terbang pelawak di televisi ditambah konsep televisi yang memprioritaskan menjual rating akhirnya memaksa pelawak mengikuti zaman.

Karena itu, juga fakta bahwa buruknya gaya komedi Indonesia di era kekinian ini bisa ditemukan dari kerapnya teguran dilayangkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

Sejumlah tayangan komedi yang kerap menampilkan gaya mencaci, menghina, bermuatan kekerasan di beberapa stasiun televisi pun akhirnya disemprot.

"Sekarang persaingan antar komedian semakin ketat untuk merebut perhatian masyarakat untuk dapat berbuat lucu," ujar pengamat komedi Maman Suherman.

Selanjutnya…Etika Melucu

***

Etika Melucu

Pesatnya perkembangan panggung komedi di Indonesia suka tak suka memang sejalan dengan suburnya pertelevisian. Banyaknya stasiun televisi menawarkan beragam program yang menyajikan hiburan.

Peluang untuk memanfaatkan ruang kepenatan terhadap isu politik dan lain sebagainya menjadi sumber duit bagi para pelawak. Tahun 2011 misalnya, muncul program lawak tunggal atau Stand Up Comedy di Kompas TV. Konsep lama yang sebelumnya pernah ada di Indonesia tahun 1970-an ini pun dikemas lebih moderen dan memiliki konsep yang terukur.

Perbedaannya, jika dahulu lawak tunggal seperti mencari ajang para pelawak untuk membuat kelompok atau grup lawak baru. Kini, lawakan solo ini lebih kepada menonjolkan figur perseorangannya.

Pandji Pragiwaksono. (VIVA.co.id/M Ali Wafa)

Hanya saja memang, lawak tunggal tak bisa luwes seperti melawak pada era dahulu. Mereka yang hendak menjadi komika atau pelaku stand up comedy mesti memiliki materi yang siap, fakta, dan ragam pakem lainnya.

"Komika itu harus nulis. Karena format tiap bit atau materinya memang format menulis," kata Mo Sidik, mentor stand up comedy.

Tak cuma itu, seorang komika dituntut untuk memiliki materi yang tidak mengandung unsur SARA, pornografi dan politis. Sehingga semua materi yang dipaparkannya di hadapan penonton bisa dikonsumsi oleh semua umur.

Sidik tak menampik jika di Indonesia lawak tunggal yang diimpor dari Inggris tersebut sedikit mereduksi pesan sesungguhnya dari stand up comedy sesungguhnya.

Sebab, jika berdasar hikayatnya, maka stand up bukan lah mengartikan posisi berdiri secara harfiah, namun lebih kepada bentuk sikap atas keyakinan yang dimilikinya. "Semacam stand up for your right, gitu lah. Jadi bukan sekadar lu ngelawak sambil berdiri," ujar Sidik.

Atas itu, secara prinsip melawak memang mesti tak sembarangan. Derai tawa yang lahir dari penonton tak sepatutnya muncul cuma karena menampilkan 'kebodohan' atau gesture kocak si pelawak.

Ia tetap harus mengedepankan etika. "Ada etika yang harus dijaga," tambah Tarzan, pelawak senior grup Srimulat.

Eko Patrio, pentolan grup lawak Bagito yang telah terkenal sejak 12 tahun lalu, juga mengisyaratkan pentingnya komedi tak serampangan demi mengejar tawa penonton.

Pria yang kini duduk menjadi anggota DPR ini tak menampik bila era kekinian telah banyak lahir para pelawak baru. Bahkan kata Eko, pelawak kini seolah telah menjadi profesi baru bagi setiap orang.

Sebabnya, jika di era lalu profesi pelawak itu tak lebih untuk menyiasati isi perut, dan bermodal pendidikan seadanya, asal bisa melucu. Namun kini para pelawak lebih variatif dan pastinya memiliki pendidikan yang tinggi.

"Dulu maaf-maaf ya, komedian itu kerjaan sampingan. Tapi sekarang jadi kerjaan utama," kata Eko.

Meski begitu, Eko mengingatkan bahwa melawak haruslah tetap mengedepankan pesan moral kepada para penontonnya. Sebab dengan mudahnya kini siapa pun bisa menjadi komedian asal ada kemauan, dan banyaknya ruang di televisi menuntut agar sebuah tontonan tidak mengabaikan publik.

"Sebuah tontonan (komedi) harus juga ada tuntunannya, ada pesan moral dan ilmunya," ujar Eko. "Pelawak harus punya karakter masing-masing," tambah Mpok Atik atau Atik Riwayati, pemain lenong senior yang kini telah beruimur 61 tahun.

Selanjutnya…Mengkritik Lawak

***

Mengkritik Lawak

Pandji Pragiwaksono, penyiar radio yuang kini populer dengan kepiawaiannya melakukan lawak tunggal, menilai sampai kapan pun Indonesia akan menjadi rumah subur untuk panggung komedi.

"Komedi selalu punya tempat di sini (Indonesia) dan selalu riuh dengan keragaman," ujar pria kelahiran Singapura, 38 tahun silam ini.

Apa yang disampaikan Pandji, memang sejalan dengan suburnya para komedian baru dan ruang yang diberikan televisi untuk menampilkan aksi para pelawak. "Genre komedi tidak akan pernah mati. Cuma ada pasang surut, naik turun," kata Maman Suherman, pengamat komedi.

Tessy Srimulat (tengah) saat tampil dalam suatu pementasan. (ANTARA FOTO/Teresia May)

Namun demikian, di luar pendapat para komedian itu. Ternyata faktanya publik justru mengkritik tajam panggung komedi saat ini. Penuhnya acara itu di televisi membuat publik jengah.

Ditambah lagi buruknya gaya lawak komedian kekinian yang hanya menampilkan komedi model slapstick comedy atau cacian hingga ke praktik kasar para pemainnya.

"Banyakan bully secara fisik. Omongannya kotor dan tindakannya keras," ujar Budi Tono (30), seorang warga Jakarta.

Penggemar grup lawak Warkop DKI ini berpandangan bahwa lawak pada masa dulu, justru jauh lebih baik. Budi menilai kala itu, lawakan yang disajikan jauh lebih segar dan memiliki karakter.

Sehingga membuat kesan tersendiri bagi penontonnya. Tak cuma itu, kekuatan hubungan antar tokoh lawak juga membuat lawakan itu begitu berkesan. "Warkop DKI misalnya, mereka terkesan natural. Chemistry satu anggota dengan yang lain begitu kuat. Kalau yang kini tek-toknya kurang greget," ujar Budi.

Senada di katakan Klara (25), pegawai swasta asal Jakarta ini juga menilai lawakan zaman dahulu jauh lebih lucu ketimbang kekinian. Menurutnya, kala itu lawakan seperti dibuat tidak sembarangan dan tidak menggunakan kata-kata yang menyudutkan orang lain.

"Yang dulu leluconnya lebih intelek dan bermutu tapi ringan. Sekarang banyakan ngatain orang atau nyinyir masalah privasi," ujar perempuan yang mengaku mengidolakan Warkop DKI ini.

Ya, secara keseluruhan hampir sebagian besar publik memang mengkritik gaya lawakan era kini. Meski ada beberapa yang memuji namun memang masalah etika dan gaya pelawak yang kerap berkata buruk menjadi masalah.

Menertawai lawak yang tak lucu akhirnya kini menjadi kebiasaan sekadar untuk menghilangkan penat dari rutinitas yang membosankan. Namun karena pilihan lawak berkualitas terbatas, akhirnya membuat publik mau tak mau mencicipi hal ini.

Kondisi ini pun juga menyasar ke program lawak tunggal yang belakangan menjadi acara 'ramai' di televisi. Meski sejak awal konsep lawakan ini memiliki alur dan norma yang jelas. Namun ruang untuk kekurangan itu tetap terbuka lebar.

"Industri SUC kita masih sangat muda. Kita baru lihat kebangkitannya, belum established-nya. Jadi masih banyak trial and error," ujar Mo Sidik, mentor komika.

Atas itu, butuh sebuah konsepsi jelas untuk membangun panggung komedi di Indonesia jauh berkualitas. Kuantitas pelawak tanpa kualitas maka akan melahirkan masalah di kemudian hari.

Selain itu, secara sadar atau tidak kini dunia lawak Indonesia faktanya sedang dirundung kesulitan untuk melahirkan grup lawak yang bisa melegenda seperti Warkop DKI atau Grup Srimulat pada masa lampau.

Banyaknya acara di televisi yang menyelipkan komedi, tak seiring dengan munculnya grup lawak. Semuanya hanya figur personal yang kadang belum tentu bisa berkolaborasi kuat dalam sebuah tim.

Dan pastinya, seperti yang diharapkan Sidik, Indonesia membutuhkan sebuah ruang khusus untuk melatih seni komedi. "Kayak di Amerika itu, school of art-nya ada S3 penulisan komedi. Di Indonesia sekolah seninya belum spesifik," ujar Sidik.

Ya, melawak bukan sekadar mengemis tawa. Namun juga menjadi sebuah pesan moral untuk mengkritik, membangun dan menanamkan motivasi kepada masyarakat.

Moto legendaris Warkop DKI 'Tertawalah sebelum tertawa dilarang' harus diakui menjadi pesan yang kuat hingga era kini. Namun, menertawai hal yang tak lucu juga tak ada guna. (ren)