Mimpi Negara Antariksa

Warga menyaksikan peluncuran pesawat ulang alik ke luar angkasa dari Wenchang Satellite Launch Center di Wenchang, Provinsi Hainan, China
Sumber :
  • REUTERS/Stringer

VIVA.co.id – Pemuda usia 19 tahunan itu terlihat bergegas keluar dari salah satu kelas di Kampus Universitas Pertamina. Napasnya masih terengah ketika menyapa VIVA.co.id yang sudah 15 menit menunggunya.

Hari itu, Syafriza Bakri, nama pemuda berkaca mata itu, usai menjalani ujian akhir semester. Mahasiswa jurusan Teknik Perminyakan itu sudah tiga semester berkuliah di kampus yang terletak di kawasan Simprug, Jakarta Selatan.

Mengenakan kaus berkerah abu-abu bergaris dan tas hitam yang disandang di punggungnya, penampilan Syafriza cukup kasual. Namun, siapa menyangka, dia adalah juru bicara untuk Asgardian di Indonesia.

Juru Bicara Asgardia Indonesia, Syafriza Bakri saat ditemui VIVA.co.id di Jakarta. (VIVA.co.id/Rifki Arsilan)

Saat VIVA.co.id menghubungi Asgardia pusat melalui email, ditegaskan bahwa hanya pemuda berkulit putih itu yang boleh berbicara atas nama mereka di Indonesia.

Ya, Asgardia. Nama ini belakangan mulai heboh setelah ditemukan ada sekitar 5.000 lebih orang Indonesia, di antara 283.000 penduduk dunia, yang mendaftar menjadi warga sebuah negara yang akan dibangun di antariksa itu. [Baca juga: Cari Kehidupan di Luar Bumi]

Termasuk Syafriza Bakri ini. Dia pun bercerita awal mula mengenal Asgardia dan alasannya mendaftar menjadi warga dari negara, yang namanya mirip dengan tanah kelahiran superhero ala Marvel, Thor. [Lihat Infografik: Rumah Pengganti Bumi]

Selanjutnya, Asgardia untuk Dunia

***

Asgardia untuk Dunia

Seraya melepas kacamata hitam yang dikenakannya, Syafriza menceritakan bahwa dia menemukan Asgardia tanpa sengaja pada Februari 2017 melalui dunia maya. Kala itu, dia sedang iseng mencari kesempatan menjadi volunteer di luar negeri.

Kebetulan, situs Asgardia sedang mencari volunteer. Meski awalnya sempat skeptis dengan proyek ini, Syafriza mengaku memberanikan diri untuk ikut terjun, karena pendaftaran menjadi anggota negara itu pun gratis.

“Saya lihat di situ ada forum yang isinya orang profesional semua, baik ahli luar angkasa, astronomi maupun teknik. Saya juga orang teknik. Ini artinya, mereka bukan orang sembarangan," kata Syafriza kepada VIVA.co.id, Kamis, 27 Juli 2017.

Dia bergabung karena terdorong juga untuk bisa menjadi salah satu pembuat sejarah dari sebuah negara pertama yang diluncurkan di antariksa. Syafriza pun makin yakin, ini bukan proyek sembarangan. 

"Sampai akhirnya saya di-interview secara online dan diangkat sebagai staf relawan, satu bulan setelah bergabung,” tuturnya.

Skeptisme Syafriza itu semakin terkikis saat melihat jumlah warga negara Indonesia (WNI) yang bergabung dengan Asgardia semakin banyak, dari hanya 1.100 orang menjadi 5.182 orang. Semua warga yang mendaftar akan mendapatkan sertifikat sebagai bukti kewarganegaraan di Asgardia, lengkap dengan nomor identitas.

Juru Bicara Asgardia Indonesia, Syafriza Bakri bercerita banyak perihal Negara Asgardia kepada VIVA.co.id di Jakarta. (VIVA.co.id/Rifki Arsilan)

Di balik keyakinan akan terwujudnya Asgardia, Syafriza juga menyadari jika butuh waktu yang tidak sebentar untuk mewujudkan negara di antariksa itu. Sebab, banyak tahapan yang harus dilakukan para pemimpin bangsa Asgardia untuk bisa membangun negara di luar angkasa. 

Langkah pertama yang harus mereka raih adalah pengakuan dunia melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Memilih pejabat pemerintah, bendera negara, lagu kebangsaan, dan lambang negara melalui sistem voting online. 

Lalu, pada 12 September tahun ini, mereka juga mengaku telah siap meluncurkan satelit kecil berisi data Asgardian.

“Satelit itu ukurannya tidak besar dan akan membawa semacam harddisk berisi data-data warga (Asgardia). Mungkin orang menilai tidak terlalu penting, tapi itu dilakukan untuk menandakan keberadaan kita di luar angkasa," tuturnya. 

Sejatinya, Asgardia itu bukan ingin membuat planet, bukan ingin mengambil teritori planet. Itu akan melanggar hukum luar angkasa internasional. 

Jadi yang akan dilakukan Argardia adalah membuat platform seperti space station atau kapal induk luar angkasa. Kapal induk itu nantinya bisa menampung jutaan orang. 

"Kami juga memiliki perangkat pertahanan untuk melindungi Bumi dari serangan atau bahaya luar angkasa. Konsep kapal induk itu, intinya, akan menjadi pelindung Bumi,” kata pemuda yang mencalonkan diri jadi ‘wali kota’ di Asgardia itu.

Soal keuangan, negara ini pun akan memiliki sumber sendiri, yang akan digunakan untuk kelangsungan pemerintahan. Termasuk dalam upaya membuat satelit dan kapal induk. 

Dari situsnya terlihat jika pendanaan kebanyakan didapat dari donasi. Namun, akan ada rencana juga untuk membuat semacam Non Governmental Organization (NGO) berbayar dan penjualan merchandise Asgardia. 

Bukan tidak mungkin jika situs tersebut kemudian akan menjadi ajang jual beli barang (e-commerce). Bahkan, dalam Term and Condition di situs tersebut, telah ada aturan tersendiri terkait "shopping".

Selanjutnya, Ambisi Semata?

***
 
Ambisi Semata?

Mendengar kisah Syafriza, memang tebersit pemikiran bahwa proyek ini hanya mimpi semata, Tepatnya, mimpi ambisius seorang ilmuwan, sekaligus pengusaha Rusia keturunan Azerbaijan, Igor Ashurbeyli. 

Kebetulan sebagai pendiri, Igor dinobatkan juga menjadi pemimpin bangsa Asgardia. Di tangannya nanti, menurut penjelasan Syahriza, Asgardia akan menjadi negara monarki konstitusional tanpa partai politik. Di negara ini pula akan dianut paham sekuler, yang membebaskan warganya dalam hal beragama. 

Igor merupakan ahlinya luar angkasa. Selain menjadi pemimpin redaksi di jurnal luar angkasa ROOM, dia pemegang saham Seraphim Capital, perusahaan pendanaan untuk teknologi berbasis luar angkasa. 

Yang terpenting, dia adalah salah satu pendiri Aerospace International Research Center di Austria. Dengan seabrek pengalaman ini, tema luar angkasa sudah ‘khatam’ dia kuasai. Itulah mengapa, ia berani mendeklarasikan Asgardia pada 17 Juli 2017 (17717).

Kemustahilan proyek ini tidak hanya digaungkan oleh para ilmuwan di negara asalnya. Meski Syafriza mengatakan Asgardia ditargetkan terwujud satu abad lagi, ilmuwan luar angkasa di Indonesia pun pesimistis. 

Misalnya saja Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Thomas Djamaluddin, yang menganggap  proyek itu sulit direalisasikan, jika dipandang dari aspek legal dan teknologi. 

“Legalitas menurut hukum keantariksaan internasional hanya terkait dengan negara peluncur objek antariksa. Legalitas untuk koloni antariksa masih diperdebatkan. Asgardia masih mimpi," ujarnya. 

Kendala terbesar mewujudkan koloni di antariksa adalah teknologi daya dukung kehidupan di antariksa, untuk jumlah manusia yang belum banyak ada. Warga yang akan tinggal di negara itu juga pasti dikenai biaya sangat mahal. 

"Meskipun ada beberapa planet yang ditemukan secara teoretis bisa dihuni manusia, namun belum bisa dipastikan,” ujar profesor astronomi yang mengaku tidak tertarik untuk tinggal di luar angkasa itu.

Menurut Thomas, pembentukan Asgardia bukan semata karena banyak masyarakat yang merasa tidak nyaman dengan keadaan Bumi. Namun, lebih kepada protes dari sang pendiri yang merasa hukum keantariksaan yang didasarkan pada kepemilikan negara, mengekang program keantariksaan independen. 

“Agar tidak terkekang oleh negara-negara yang ada sekarang, dia (Igor) membuat negara di antariksa supaya bisa mendaftarkan wahana atas nama Asgardia,” tutur Thomas.

Petugas dari BMKG tengah melakukan observasi di Malang, Jawa Timur. (VIVA.co.id/D.A Pitaloka)

Meski senada dengan Thomas, Suaidi Ahadi, kepala Sub Bidang Analisis Geofisika Potensial dan Tanda Waktu di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), menanggapi Asgardia sebagai terobosan teknologi. 

Dia setuju dengan ide mendirikan koloni di antariksa, namun tidak setuju dengan alasan perubahan iklim di Bumi yang menjadi dasar perpindahan manusia itu.

“Saya pribadi, bukan BMKG, termasuk orang yang tidak percaya dengan perubahan iklim signifikan. Sebenarnya Asgardia ini tidak membangkitkan isu tentang Bumi sudah tidak layak huni," katanya. 

Dia membangkitkan isu teknologi bahwa manusia ternyata bisa hidup di luar angkasa. Ide-ide seperti ini kan sudah ada lama, seperti di Mars. 

Ini proyek ambisius dari penciptanya. Dia sudah punya rancangan di mana satelit akan dikirim. "Cuma apakah bisa membawa manusia sebanyak ratusan ribu ke atas sana? Sumber dayanya dari mana?” kata Suaidi.

Selanjutnya, Perjalanan Panjang

***

Perjalanan Panjang

Suaidi membeberkan banyak hal yang diperkirakan menjadi kendala bagi Asgardia untuk bertahan di luar atmosfer. Misalnya, lapisan terselubung Bumi yang punya efek badai elektronik (ionosfer), yang akan membakar benda apa pun yang melewati. 

Lalu, juga soal bagaimana Asgardia bisa bertahan kalau terjadi badai Matahari. Bukan hanya masalah sains yang harus menjadi perhatian Igor, tapi juga isu tata negara yang harus diikuti. 

Menurut pakar hukum tata negara, Margarito Kamis, yang terheran-heran mendengar ide ini, mengatakan, setidaknya ada tiga hal yang harus dimiliki untuk membangun sebuah negara.

“Kalau kita bicara pembentukan negara, syarat pembentukan suatu negara itu kan batas wilayahnya," katanya.

Dalam hukum internasional juga diatur demikian. Syarat membentuk negara itu, pertama harus ada wilayah, kedua pemerintah, dan ketiga rakyatnya. 

Dan wilayah itu harus menunjuk fisik. "Kalau di antariksa itu, wilayahnya gimana?” kata Margarito.

Dia pun yakin jika membangun negara di antariksa itu merupakan hal yang mustahil, bahkan cenderung tidak masuk akal. Meski ada rakyat dan struktur pemerintahan, sulit menentukan teritori wilayah di antariksa yang terbentang luas tanpa batas.

“Tidak dapat diverifikasi. Negara itu mesti dapat diverifikasi, kalau itu verifikasinya gimana? Wilayahnya di mana coba?" tuturnya. 

Tampilan jumlah populasi warga Indonesia yang menjadi Asgardian, warga negara Asgardia. (www.asgardia.space)

Menurut dia, syaratnya harus wilayah yang berbentuk fisik. Bukan hanya tak masuk akal dan tidak bisa diverifikasi, negara Asgardia juga akan membolehkan warganya memiliki dua kewarganegaraan. Kondisi ini jelas bertolak belakang dengan aturan yang ada di Indonesia, yakni melarang warganya memiliki dua kewarganegaraan. 

Namun, Syafriza yakin jika pemerintah akan mau mengubah kebijakan tersebut atas nama inovasi positif yang harus didukung. Upaya ini juga agar Indonesia bisa menjadi bagian dari sejarah baru dunia. 

Lagipula, dia menegaskan bahwa ini bukanlah proyek main-main. Apalagi dengan rencana peluncuran satelit, yang harganya sampai miliaran rupiah, untuk menandakan entitas mereka di luar angkasa, atau upaya pembentukan parlemen Asgardia tahun depan.

“Ayo, terbuka untuk menerima perubahan. Ayo bergabung dengan negara Asgardia. Masa iya kita tidak mau menjadi bagian dari sejarah baru di dunia?” tuturnya. (art)