Katupek Sumatera Barat, Tak Hanya Saat Lebaran
- ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal
VIVA.co.id – Bagi masyarakat Indonesia, bukan Lebaran namanya kalau tidak makan ketupat. Bahkan di beberapa daerah di Tanah Air ada yang dinamakan Lebaran Ketupat. Jawa menjadi daerah yang paling kental akan tradisi Lebaran kedua yang biasanya dirayakan seminggu setelah Hari Raya Idul Fitri tersebut. Ternyata itu bermula dari Raden Mas Sahid, anggota Wali Songo yang dikenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.
Dialah yang memperkenalkan dan memasukkan ketupat, simbol yang sebelumnya sudah dikenal masyarakat, dalam perayaan Lebaran Ketupat yang dilaksanakan pada tanggal 8 Syawal atau sepekan setelah Hari Raya Idul Fitri dan enam hari berpuasa Syawal.
Menurut kajian H.J. de Graaf dalam Malay Annal, ketupat sudah merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang dipimpin Raden Patah pada awal abad ke-15. De Graaf menduga kulit ketupat yang terbuat dari janur kelapa berfungsi untuk menunjukkan identitas budaya pesisiran yang ditumbuhi banyak pohon kelapa. Warna kuning pada janur dimaknai de Graff sebagai upaya masyarakat pesisir Jawa membedakan warna hijau dari Timur Tengah dan merah dari Asia Timur.
Ketupat usai dianyam dan siap dijual oleh pedagang di Jakarta. (VIVA.co.id/Shintaloka Pradita Sicca)
Ketupat sendiri memiliki makna yang luar biasa di balik namanya. Menurut Slamet Mulyono dalam Kamus Pepak Basa Jawa, kata ketupat berasal dari kupat. Parafrase kupat adalah 'ngaku lepat', yang artinya 'mengaku bersalah'. Janur atau daun kelapa yang membungkus ketupat merupakan kependekan dari kata 'jatining nur', yang bisa diartikan 'hati nurani'. Secara filosofis, beras yang dimasukan dalam anyaman ketupat menggambarkan nafsu duniawi. Jadi, bentuk ketupat melambangkan nafsu dunia yang dibungkus dengan hati nurani.
Hal yang sama diungkapkan Pakar Kuliner Indonesia, Linda Farida Rahmat. Selain ngaku lepat, ada istilah laku papat yang juga ada di balik makna ketupat. Laku papat adalah empat hal yang harus dilakukan di Idul Fitri, yaitu lebaran, luberan, leburan dan laburan.
"Kalau lebaran setelah puasa, kita meminta maaf, dilebarkan hatinya untuk memaafkan orang lain dan berhati besar untuk minta maaf sama orang. Kalau luberan, luber itu artinya melimpah. Jadi karena banyak, kita harus berbagi dengan orang yang kurang beruntung, kita suka kasih sedekah, itu jadi kebiasaan sebelum Lebaran, seperti zakat misalnya," ujar Linda saat dihubungi VIVA.co.id lewat sambungan telepon beberapa waktu lalu.
"Leburan, kita melebur setelah bermaaf-maafan karena di Islam kita harus bermaafan walaupun tidak selalu saat Lebaran. Sementara laburan setelah tiga tindakan itu kita labur lagi, kita cat putih lagi hati kita. Artinya hatinya kembali dibersihkan dari sifat yang tidak baik. Dilabur hati kita jadi putih lagi, bersih lagi," ucap wanita yang juga merupakan anggota Tim Ahli Bidang Kuliner Warisan Budaya Takbenda Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia itu.
Selanjutnya, Tak Sepopuler di Jawa
***
Tak Sepopuler di Jawa
Pengaruh Wali Songo membuat tradisi Lebaran Ketupat meluas ke daerah-daerah lain dalam dan bahkan luar Pulau Jawa. Namun, menurut Linda, dengan berjalannya waktu, ketupat juga menjadi sarana sosialisasi.
"Masa makan ketupat setahun sekali doang? Di Betawi jadi ketupat sayur dan dijual. Ketupat juga dipakai sarapan. Di Betawi ketupat dibuat ketoprak juga," kata Linda.
Nah, hal yang sama juga terjadi di Sumatera Barat, di mana ketupat yang disebut katupek sudah menjadi hidangan sehari-hari. Meski begitu, katupek juga lazim disantap di Hari Raya Idul Fitri. Hanya saja, tradisi Lebaran Ketupat tampaknya tidak begitu kental di daerah ini.
Puti Raudha Thalib, Ketua Bundo Kanduang Sumatera Barat mengatakan, di Minangkabau, katupek bukanlah kuliner khas dan atau hidangan utama untuk sajian perayaan Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha maupun perayaan keagamaan lain.
Di Minangkabau, katupek merupakan pilihan makanan pendamping lain selain nasi. Karena bagi masyarakat Minangkabau, makanan utama yang disajikan di setiap perayaan besar, baik agama maupun adat adalah nasi dengan berbagai macam jenis gulai dan sambal, serta sejumlah olahan kue, baik kue basah maupun kue kering dan lamang. Menu-menunya pun berbeda tergantung pada adat di salingka Nagari (selingkaran Nagari atau desa).
"(Katupek) hanya merupakan makanan pendamping dan biasanya dimakan oleh keluarga besar saja, karena untuk jamuan menu pokok bagi tamu yang datang itu adalah nasi. Di samping itu juga ada kue dan minuman. Tapi tidak menutup kemungkinan, ada juga kadang tuan rumah yang menawarkan katupek sebagai menu pilihan. Tapi pasti ditawari makan nasi dulu atau kue-kue," kata Puti.
Walau demikian, Puti tak menepis jika katupek sayur juga merupakan salah satu kuliner favorit di perayaan Idul Fitri. Bahkan seusai melaksanakan ibadah salat Id dan bermaaf-maafan, kebanyakan masyarakat Minangkabau akan memilih menyantap katupek sayur sebagai menu pembuka.
Ia pun mengatakan bahwa sajian katupek di Padang memiliki keistimewaannya sendiri.
"Beda dengan wilayah lain yang menyajikan katupek dengan gulai opor ayam dan lain-lain, di Sumbar, katupek cenderung disajikan dengan gulai cubadak dan tauco. Di samping rasanya enak, rasa gulai ini tetap khas jika dicampur dengan dedak rendang, keripik singkong pedas dan menu lainnya. Yang jelas, masing-masing daerah di Sumbar akan menyajikan cita rasa ketupat yang berbeda karena Minangkabau memang banyak varian rasa khas," ucapnya menambahkan,
Selanjutrnya, Ketupat di Padang
***
Ketupat di Padang
Tradisi Lebaran Ketupat di Sumatera Barat memang tidak begitu populer seperti di Jawa. Namun, tidak dengan ketupatnya. Katupek sayur dengan gulai cubadak (nangka), gulai paku (pakis), gulai talas, gulai stengkel (kaki sapi), gulai tauco dan gulai tunjang (lemak daging) adalah sebagian kecil dari sajian katupek yang ada di Ranah Minang. Ada pula katupek yang disajikan bersama rendang.
Di Padang, katupek bahkan tidak hanya dijumpai di perayaan hari raya besar Islam atau perayaan adat. Panganan ini bisa ditemui setiap saat, dari pagi, siang, sore hingga malam hari. Rata-rata hampir semua warung makan atau kedai kopi sederhana menyajikan katupek sayur yang disajikan dengan berbagai macam gulai. Bahkan di Kota Padang dan sekitarnya, katupek sayur merupakan salah satu menu kuliner malam favorit.
Untuk harga, di masing-masing warung atau daerah menjual katupek sayur dengan harga yang bervariasi, mulai dari Rp4 ribu hingga Rp15 ribu, tergantung jenis gulai yang dipesan. Selain itu katupek sayur juga biasa dimakan dengan menu pendamping seperti gorengan bakwan, tahu ataupun sala lauk (sejenis kudapan dari ikan dan tepung). Selain itu, katupek juga digunakan dalam menu sate Padang.
Bagi pengusaha katupek, jelang Hari Raya Idul Fitri atau hari raya besar lainnya bukanlah perkara yang luar biasa untuk jumlah permintaan pasar. Walau memang ada sedikit peningkatan, namun masih dalam batas normal, karena setiap hari permintaan soal katupek tetap banyak.
Sayur katupek khas Padang. (VIVA.co.id/Andri Mardiansyah)
Nurmala, salah satu pedagang katupek di Pasar Raya Padang mengaku, setiap hari permintaan konsumen akan katupek tetap banyak, kisaran 200 hingga 500 ikat. Jadi walau ada peningkatan di saat hendak memasuki Lebaran, itu merupakan hal yang wajar.
"Saya menjual katupek ini sudah sejak tujuh tahun yang lalu. Semua janur kelapa untuk bahan katupek didapati dari petani kelapa. Biasanya mereka menawarkan langsung ke rumah," ujarnya kepada VIVA.co.id baru-baru ini.
Meski begitu, ia mengaku tetap mengantisipasi lonjakan permintaan katupek jelang hari Raya Idul Fitri. Di samping mempersiapkan stok, ia juga bekerja sama dengan pedagang lain. Dalam artian, apabila stok miliknya habis, ia dapat meminta stok kepada pelanggan lain.
Sementara itu, Mayrita, salah satu pedagang katupek sayur di kawasan Pondok, Kota Padang selalu menyediakan ketupat sebanyak 200 buah setiap hari. Setiap tiga hari jelang hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, Mayrita menuturkan, permintaan katupek meningkat.
"Kebanyakan pelanggan membeli katupek jadi yang sudah dimasak, agar tidak terlalu repot dan hanya tinggal memasak gulainya saja. Saya jual katupek dengan gulai cubadak, paku dan talas," kata Mayrita.
Lain halnya dengan Firman, pedagang katupek sayur di kawasan Ujung Gurun. Setiap hari mulai dari pukul 18.00 WIB hingga pukul 00.00 WIB ia menjual katupek sayur khusus untuk gulai cubadak stengkel (kaki sapi). Bahan stengkel ia beli setiap pagi di kios daging pasar raya.
Menggunakan stengkel sebagai bahan dasar gulai, kata Firman, membuat cita rasa katupek sayur berbeda. Walau cara makannya sedikit merepotkan, namun kebanyakan pelanggan suka dengan gulai stengkel. Bahkan banyak yang minta dibungkus untuk dibawa pulang, karena kuah gulai stengkel juga enak dimakan dengan nasi.
"Rasanya memang beda jika tanpa stengkel. Lubang kaki sapi juga bisa dinikmati dengan cara dihisap menggunakan pipet. Saya perhatikan, kadang tetap saja pelanggan kembali menghisap kuah yang dimasukkan ke dalam lobang stengkel dengan pipet. Enak kata mereka," ucapnya. (umi)