Kota yang Tak Lagi Tua
- Antara/R. Rekotomo
VIVA.co.id – Matahari hampir tenggelam. Lantunan kidung doa sayup-sayup terdengar dari dalam Gereja Santo Yusuf Gedangan, Semarang, Jawa Tengah, Rabu 24 Mei 2017.
Di luar gedung, sejumlah jemaat tampak terus berdatangan menyusul jemaat lainnya. Sesaat ruangan pun penuh oleh para jemaat di sejumlah kursi yang tertata rapi.
Ibadah Misa berlangsung khidmat di gereja yang dibangun pada 1870-1875 oleh arsitek Belanda W.I. van Bakel itu. Puji-pujian doa menggema di seluruh ruangan.
Meski sudah berusia ratusan tahun, gereja di Jalan Ronggowarsito itu tampak berdiri megah hingga saat ini. Bangunannya masih terpelihara dengan baik dan menjadi cagar budaya penting kawasan Kota Lama.
Gereja Gedangan menjadi titik awal pembangunan kawasan Kota Lama yang dikenal sebagai Little Netherland atau Belanda Kecil. Bangunan-bangunan tua beraksitektur Belanda masih berdiri megah.
Sebut saja Pabrik Rokok Praoe Lajar, yang telah berdiri sejak zaman kolonial Belanda, Stasiun Tawang, dan Gereja Blenduk.
Sejak 2003, Pemerintahan Kota Semarang merevitalisasi kawasan Kota Lama, mengacu pada Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 2003. Kawasan ini pun diusulkan menjadi cagar budaya yang segera diakui UNESCO pada 2020.
Konsep revitalisasi dilakukan mulai pembenahan sarana prasarana seluruh cagar budaya hingga mengajak para pemilik cagar budaya untuk melakukan konservasi bangunan. Pemerintah kota juga membantu warga pemilik cagar budaya dengan berbagai skema pembiayaan.
Ketua Badan Pengelola Kawasan Kota Lama, Heaverita Gunaryati Rahayu, mengatakan, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah menganggarkan Rp5 miliar, dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat mengucurkan Rp40 miliar, untuk biaya perawatan Kota Lama.
Dalam perjalanannya, revitalisasi Kota Lama dilakukan untuk menjadikannya kota tujuan wisata. Dulu dalam perjalanannya, Kota Lama sangat terbengkalai, bahkan menjadi momok wisatawan karena tingginya tingkat kriminalitas, dan aktivitas prostitusi di kawasan Polder Tawang.
Yongki Tio, seorang sejarawan Kota Semarang, mengatakan, kini kondisi Kota Lama sudah berubah. Pemkot Semarang sedikit demi sedikit mulai membenahi dan menata kembali Kota Lama.
"Dulu orang kalau mau ke sana takut. Sekarang sedikit demi sedikit dibenahi. Kehidupan sosialnya juga ditata kembali," tuturnya di Semarang, Kamis 25 Mei 2017.
Dari sisi pelayanan, wisatawan kini juga telah dipermudah dengan transportasi ramah lingkungan di kawasan Kota Lama. Seperti banyaknya penyewaan sepeda ontel, skuter tua hingga becak tua untuk mengelilingi lorong-lorong kota tua.
Selanjutnya, Destinasi Internasional
***
Destinasi Internasional
Revitalisasi kota-kota tua tidak hanya terjadi di Semarang. Pemerintah Kota Bandung dapat dianggap berhasil melakukan pelestarian peninggalan arsitektur Belanda di kawasan kota tua mereka untuk menarik wisatawan.
Kawasan kota tua Bandung, Jalan Asia Afrika dan Braga, telah menjadi destinasi wisata domestik dan internasional karena nuansa kota zaman pemerintahan Belanda yang masih kental.
Sepanjang jalan berjejer gedung-gedung berarsitektur Belanda abad ke-19, mulai dari Gedung Keuangan, Hotel Grand Preanger, Hotel Savoy Homan, Museum Konferensi Asia Afrika, kantor Bank OCBC NISP, dan Gedung Merdeka Jalan Asia Afrika menjadi saksi sejarah Konferensi Asia Afrika.
Lokasi ini kerap digunakan untuk acara kenegaraan, dan masih menyisakan simbol-simbol acara internasional. Nuansa Belanda juga begitu kental di tiap bangunan di Jalan Braga. Gedung-gedung pemerintahan Hindia Belanda tetap berdiri kokoh dan terawat.
Gedung Merdeka, salah satu bangunan tua yang berada di Jalan Braga, Bandung. (VIVA.co.id/Adi Suparman)
Sejumlah gedung tua di Jalan Braga telah berubah fungsi menjadi tempat hiburan, hotel, dan restoran, sehingga membuat kota tua Bandung tetap hidup dan ramai. Braga, menjadi salah satu tempat utama warga Bandung dan wisatawan nongkrong menikmati hiburan malam.
Pemkot Bandung telah menetapkan bangunan-bangunan tua yang dapat dikategorikan sebagai cagar budaya kelas A di kawasan alun-alun, dan Jalan Asia Afrika. Dari 637 bangunan, sekitar 100 bangunan ditetapkan sebagai bangunan kelas A, yaitu berusia 50 tahun, memiliki nilai sejarah, nilai pengetahuan, arsitektur, dan sosial budaya.
Kepala Bidang Pengkajian Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, Cep Dahyat, mengungkapkan, konsep revitalisasi oleh Pemkot Bandung, dilakukan semaksimal mungkin. Diperbaiki sesuai keadaan asli, termasuk materialnya, hingga pemilihan kayu harus sama usianya.
Pemkot membentuk tim cagar budaya, yang terdiri atas para ahli dari akademisi, arsitek, pengembang, budayawan, dan sejarawan. Pemkot Bandung mengucurkan dana revitalisasi bangunan kepada pemilik bangunan bisa mencapai Rp200 juta per kasusnya.
Dahyat mengatakan, Pemkot Bandung saat ini fokus merevitalisasi bangunan-bangunan lama yang dibiarkan terbengkalai oleh pemiliknya atau hancur karena faktor alam.
"Pada masa (Wali Kota Bandung) Ridwan Kamil, revitalisasi distrik bersejarah ini cukup signifikan. Kang Emil berhasil meningkatkan kebahagiaan masyarakat dengan memberi kesempatan untuk menikmati kota tua dengan berbagai revitalisasi, modifikasi, memfungsikan kembali bangunan-bangunan warisan budaya," kata Dahyat.
Meski begitu, revitalisasi cagar budaya kota tua Bandung masih menuai kritik. Pakar Tata Kota dari Institut Teknologi Bandung, Deni Zulkaidi, mengatakan, Bandung telanjur banyak mengabaikan dan melakukan perubahan terhadap bangunan-bangunan tua.
"Misalnya Palaguna dibongkar, kemudian dibangun jadi 18 lantai. Nah, itu bukan kota lama lagi, jadi kota baru, tidak sesuai dengan karakter yang lama," ujarnya.
Selanjutnya, Tak Terawat
***
Tak Terawat
Saat sejumlah kota mampu mengubah wajah kota tuanya, gerakan revitalisasi serupa untuk melestarikan warisan budaya Hindia Belanda tidak terjadi di Palembang dan Surabaya. Sepanjang kota tua Surabaya di kawasan Jembatan Merah hingga Jalan Tunjungan, beberapa gedung kuno berdiri dalam kondisi tak terawat.
Gedung Hoofdbureau van Politie te Soerabaia yang saat ini digunakan Markas Kepolisian Surabaya. (VIVA.co.id/Nur Faishal)
Revitalisasi gedung-gedung kuno terbatas pada gedung yang dimiliki oleh Pemkot Surabaya. Sebut saja gedung Hoofdbureau van Politie te Soerabaia atau Markas Kepolisian Surabaya, Hotel Majapahit, dan gedung bekas perbelanjaan Siola.
Sementara itu, deretan bangunan-bangunan kuno di Jalan Gubernur Suryo terlihat kusam, kendati di dalamnya dipakai pihak swasta berjualan. Padahal, gedung-gedung itu masuk catatan sebagai bangunan cagar budaya.
Belum lagi di kampung-kampung tua, seperti Kampung Ampel, Peneleh, dan Bubutan. VIVA.co.id pernah menyambangi kampung tua di Jalan Bubutan, tepatnya di gedung yang kini dipakai sebagai sekolah Nahdlatul Wathon. Kondisinya terlihat ruwet dan tidak terawat.
“Yang dirawat dengan baik cuma milik Pemkot sendiri, seperti Gedung Siola itu. Sementara gedung bersejarah milik pribadi atau swasta belum ditata dan dirawat dengan baik,” kata Kuncoro Prasetyo, praktisi yang peduli pada masalah cagar budaya, pada Kamis malam, 25 Mei 2017.
Apa yang disebut revitalisasi oleh Pemerintah Kota Surabaya sebatas polesan saja. Revitalisasi polesan yang paling mencolok ialah di Jalan Tunjungan.
“Paling hanya mengecat dan memasangi lampu, setelah itu tidak tahu harus diapakan,” katanya.
Sebagai pengelola Heritage Peneleh Walk, Kuncoro merasakan betapa kepedulian Pemkot Surabaya pada kampung-kampung tua belum maksimal. Pemilik bangunan tua masih dibebani dengan pajak bumi dan bangunan, serta biaya perawatan.
"Untuk memelihara bangunan tua saja, pemilik harus mengajukan anggaran setelah ada kerusakan. Semestinya pemeliharaan itu inisiatif dari pemerintah,” katanya.
Namun, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Surabaya, Widodo Suryantoro, belum dapat ditemui ketika hendak diminta keterangan terkait revitalisasi gedung atau kampung bersejarah di Surabaya. “Nanti saya kabari, Bapak jadwalnya padat,” kata Cici, ajudan Widodo ketika VIVA.co.id meminta jadwal wawancara.
Salah satu bangunan warisan tua yang berada di kawasan kota tua Palembang. (VIVA.co.id/Aji YK Putra)
Kondisi miris terbengkalainya bangunan warisan budaya juga terlihat di kota tua, Palembang. Kampung Kapitan, yang berada di Jalan KH Azhari kawasan 7 Ulu, salah satunya. Kampung ini merupakan saksi berakhirnya Kesultanan Palembang.
Di kampung ini ada tiga bangunan rumah kuno massa pemerintahan Kapten asal Tiongkok, Tjoa Kie Tjuan, (1830-1853). Ketiga rumah berbentuk limas telah berusia lebih dari satu abad dan nyaris hancur.
Padahal, sejarah peradaban Tiongkok masuk ke Palembang menjadi daya tarik para wisatawan domestik dan mancanegara untuk berkunjung ke Kampung Kapitan. Mulyadi, keturunan kesepuluh Kapten Tjoa, hingga kini masih membuka pintu bagi wisatawan untuk berkunjung ke rumahnya.
"Tinggal bagian depan saja yang bisa dimasuki (wisatawan). Di belakang rumah sudah keropos. Nanti roboh," ujarnya.
Pemkot Palembang cenderung abai untuk melestarikan warisan budaya Tiongkok tersebut. Walaupun berusia ratusan tahun, hingga kini rumah tersebut belum masuk dalam salah satu cagar budaya.
Mulyadi mengaku, warga asal Malaysia sempat ingin membeli rumah bersejarah tersebut seharga Rp30 miliar. Karena ingin mempertahankan peninggalan leluhur, Mulyadi tetap keukeuh untuk tidak menjual rumah Kapitan.
Sejauh ini, Farida R Wargadalem, ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI) cabang Sumatera Selatan, mengatakan, pemerintah Palembang hanya sebatas pendataan tempat cagar budaya, dan tidak memiliki rencana strategis pengembangan situs bersejarah dalam jangka pendek dan jangka panjang. Bahkan, Kampung Kapitan dianggap kawasan kumuh.
Semestinya, dia melanjutkan, kampung itu bisa menjadi aset sebagai destinasi wisata, dan penopang daya tarik wisatawan di Palembang jika mampu dipelihara dengan baik. Revitalisasi gedung-gedung kuno di kota-kota tua seharusnya bisa menjadi prioritas pemkot daerah setempat.
Selain tempat bersejarah zaman kolonial Belanda di Kampung Kapitan, bangunan lainnya yakni Museum Sultan Mahmud Badaruddin II. Museum itu merupakan bangunan pertama yang didirikan oleh Belanda, setelah keraton Benteng Kuto --sebagai tempat tinggal Sultan Palembang--, dirobohkan Belanda. Selanjutnya, di lokasi itu dibangun rumah untuk Komisaris Belanda di Palembang yakni J.L Van Seven Hoven pada 1982.
Begitu juga dengan kraton Kuto Besak yang diambil oleh Belanda dan dijadikan sebagai barak militer. Kraton itu, kini dinamakan sebagai Benteng Kuto Besak (BKB). Kantor Wali kota Palembang dulu pun adalah salah satu gedung tertinggi pada zaman Belanda. Gedung itu difungsikan sebagai kantor pemerintahan Belanda dan penjernihan air, untuk kebutuhan rumah Belanda di kawasan Talang Semut.
“Harapannya pemerintah harus cepat. Kantor wali kota adalah landmark kota Palembang karena dibangun abad 20,” ujarnya.
Wali Kota Palembang, Harnojoyo, mengungkapkan, sejauh ini pemkot sedang berupaya untuk membereskan kawasan kumuh. Terutama yang ada di bantaran kawasan Sungai Musi. Seluruh rumah yang ada di kawasan itu, akan dicat warna-warni, sehingga tidak terlihat kumuh.
"Pemerintah Palembang akan membangun kawasan kampung unik di kawasan Sungai Musi, sehingga bisa meningkatkan perekonomian. Ada 1.000 rumah yang akan dicat warna-warni. Kampungnya akan diberi nama Kampung Indah Musi Bersolek," kata Harno.
Pelestarian warisan budaya memang perlu dilakukan dengan pendekatan ekonomi dan sejarah. Pemerintah kota harus mengintervensi untuk menyelamatkan warisan budaya dan sejarah kota. Bila tidak, bangunan-bangunan kuno akan hancur dan nilai cagar budaya tersebut akan turun.
Kota tua bisa menjadi ikon kota untuk menarik wisatawan domestik dan mancanegara. Sekaligus melestarikan sejarah dan warisan budaya Hindia Belanda. (art)