Menata Kota Tua Jakarta
- ANTARA/Andika Wahyu
VIVA.co.id – Sore itu wajah lalu lintas kota Jakarta ramai seperti biasa, kepadatan jalan raya yang dipenuhi kendaraan roda empat dan dua menjadi pemandangan yang tak terelakkan di sekitar Stasiun Kota yang berada di kawasan Kota Tua.
Bangunan peninggalan kolonial Belanda ratusan tahun lalu itu tampak berdiri kukuh di antara deretan bangunan lain yang penuh dengan lamuran lumut, menutupi warna cat tembok bangunan yang berada di sebelahnya. Bergeser 500 meter ke arah utara Stasiun Kota, terdapat sejumlah bangunan tua yang juga berdiri megah bertuliskan 'Gouverneurs Kantoor' yang menggambarkan pusat pemerintahan Batavia di zaman Belanda dahulu.
Kantor Gubernur Batavia yang saat ini dikenal dengan nama Museum Sejarah atau Museum Fatahilah itu dikelilingi oleh sejumlah gedung tua berwarna putih yang kini menjadi objek wisata Kota Tua, di antaranya Gedung Museum Seni dan Keramik, Gedung Kantor Pos Indonesia, Gedung Museum Wayang, Gedung Museum Bank Mandiri dan Gedung Museum Bank Indonesia.
Sinar mentari perlahan mulai memudar. Petang pun datang diiringi sinar rembulan menyinari halaman Kota Tua yang luasnya dua kali lipat lapangan sepak bola. Semakin gelap langit ibu kota, pemandangan Kota Tua pun semakin ramai didatangi para pengunjung yang ingin melepas kepenatan usai melakukan aktivitas sehari-hari. Sangat nampak perubahan wajah Kota Tua saat ini jika dibandingkan dua tahun silam.
Bangunan Museum Fatahillah yang berada di kawasan kota tua Jakarta. (VIVA.co.id/Maryadie)
Latar gedung Gouverneurs Kantoor yang saat ini disebut Museum Fatahilah, kini sudah bersih dari lapak-lapak pedagang kaki lima (PKL) yang beberapa tahun lalu memenuhi halaman gedung. Tidak sedikit warga Jakarta menikmati indahnya suasana malam di tengah bangunan tua yang memiliki nilai sejarah di pusat Jakarta itu.
Duduk-duduk di lantai batu pualam yang berada di tengah-tengah deretan bangunan peninggalan kolonial Belanda pun menjadi pilihan para pengunjung yang ingin menikmati suasana malam kota Jakarta. Tidak sedikit dari pasangan muda mudi menjadikan gedung-gedung tua itu sebagai spot untuk ber-swafoto dan mengunggahnya di media sosial. [Baca juga: Kota yang Tak Lagi Tua]
Pantauan VIVA.co.id di lapangan, halaman Kota Tua yang kini menjadi objek wisata masyarakat Jakarta kini sudah mulai tertata rapi. Tidak ada satu pun PKL yang menggelar lapak di area atau kawasan tersebut.
Hal itu dibenarkan oleh salah satu petugas Unit Pengelola Kawasan (UPK) Kota Tua Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Ahmad Rukhmana. Menurutnya, penertiban PKL yang dahulunya berjualan di halaman Gedung Gouverneurs Kantoor sudah dilakukan sejak akhir tahun 2015 lalu. Saat ini para pedagang kaki lima sudah tidak boleh lagi berjualan di dalam kawasan Kota Tua yang kini tengah difokuskan Pemprov DKI sebagai kota wisata.
"Bahkan kita juga memberlakukan jam malam bagi para pengunjung. Batasnya jam 10 malam semua sudah harus keluar dari sini. Jadi jam 10 malam sudah harus steril pengunjung, juga sudah tidak boleh nongkrong di sini," kata Rukhman baru-baru ini.
Sejak tahun 2013, pemerintah memang berencana merevitalisasi Kota Tua. Proses peremajaan dengan dana lebih dari Rp200 miliar ini dilakukan untuk melindungi sejarah arsitektur kota warisan era kolonial Belanda sekaligus menarik wisatawan lokal dan mancanegara. Namun, dana tersebut tidak hanya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), melainkan juga dari dana program sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR).
Rencananya, semua akan dibuat terintegrasi, mulai dari penataan kali, trotoar hingga lahan parkir pengunjung yang akan dibuat terpadu dari Jalan Cengkeh sampai Jalan Tongkol. Selain merevitalisasi gedung-gedung tua, akan dilakukan pula relokasi dan sentralisasi para pedagang kaki lima. [Baca juga: Permata di Kota Tua]
Selanjutnya..Wacana sejak zaman Ali Sadikin
Wacana sejak zaman Ali Sadikin
Revitalisasi Kota Tua sebenarnya sudah dilakukan sejak zaman Ali Sadikin menjabat sebagai Gubernur DKI. Tahun 1972, ia mengeluarkan dekret untuk menjadikan Kota Tua resmi sebagai situs warisan.
Kepala Unit Pengelola Kegiatan Kota Tua Pemprov DKI Jakarta, Norviadi S.Husodo mengatakan, revitalisasi Kota Tua dilakukan juga bertujuan untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan destinasi wisata alternatif bagi masyarakat, sekaligus mengubah citra di masyarakat, di mana wisata Kota Tua bukan hanya Museum Fatahillah saja.
Sesuai dengan Pergub nomor 36 tahun 2014, kawasan Kota Tua luasnya mencapai 334 hektare. Menurut Norviadi, sejauh ini proses revitalisasi gedung-gedung yang dimiliki oleh Pemprov DKI dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah berjalan cukup baik. Sementara saat ini revitalisasi Kali Besar sedang dalam proses pengerjaan.
"Mungkin sempat terhambat sedikit kemarin karena memang ada temuan ternyata ada bagian cagar budaya di sana. Tapi insya Allah tahun ini kembali berjalan karena targetnya tahun 2018 di event internasional Asean Games, Kota Tua ini bisa menjadi salah satu daya tarik tamu mancanegara juga," ucap Norviadi di Jakarta, Jumat, 26 Mei 2017.
Sementara itu, Project Director PT Pembangunan Kota Tua Jakarta-Konsorsium, Yayat Sutjana mengatakan, pihaknya sudah mencoba pemanfaatan sebanyak 12 gedung yang telah direvitalisasi dengan mengisi tenant-tenant. Total 65 persen gedung yang sudah direvitalisasi kini telah aktif dan diramaikan oleh tenant-tenant tadi.
Pekerja menyelesaikan revitalisasi bangunan di Kawasan kota tua, Jakarta. (VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi)
Konsorsium sendiri hanya merevitalisasi sebanyak 12 gedung, salah satunya Gedung Pancoran Apotik Tionghoa di Glodok yang sekarang sudah rapi dan difungsikan. Sedangkan jumlah total gedung tua di kawasan Kota Tua sendiri ia sebut sangatlah banyak.
"Kita sendiri juga kan bukan gedung milik pribadi. Kita juga kerja sama dengan Pusat Perdagangan Indonesia (PPI). Jadi kerja samanya kita saat ini merapikan gedung milik PPI," ucap Yayat di Jakarta, Kamis, 25 Mei 2017.
Selain PPI, pihaknya juga bekerja sama dengan PT Pos Indonesia (Persero) dan PT. Asuransi Jiwasraya untuk merevitalisasi gedung mereka. Kemudian ada juga beberapa gedung yang milik individu. Ia mengatakan, pihaknya tidak bisa memaksakan kepada pihak individu atau perusahaan BUMN untuk merevitalisasi gedung-gedung milik mereka. Konsorsium hanya bisa menawarkan sewa atau membantu mendatangkan investor untuk menyewa dan mengelola gedung yang diisi dengan tenant.
Karena merupakan badan milik swasta, Konsorsium bekerja tidak dengan dana pemerintah, melainkan dari para pemegang saham yang tergabung di Konsorsium. Pemprov DKI hanya membiayai revitalisasi 2 persen gedung-gedung yang merupakan miliknya, seperti Museum Keramik, Museum Fatahillah, Museum Wayang dan Museum Bahari yang memang sudah masuk dalam APBD.
Lihat juga: VIDEO: 10 Permata Kota Tua Jakarta
Isu kepemilikan jadi kendala
Mundur sedikit ke tahun 2013, Yayat mengatakan, Konsorsium diminta untuk memetakan kawasan Kota Tua oleh Presiden Joko Widodo yang kala itu menjabat sebagai Gubernur DKI. Revitalisasi tidak berjalan dengan baik sejak dahulu ternyata karena gedung-gedung milik Pemprov DKI di kawasan Kota Tua hanya berjumlah enam gedung di kawasan atau 2 persen saja.
Sebanyak 50 persen milik individu atau swasta, dan 48 persen lainnya milik BUMN, seperti Kantor Pos, Mandiri, Jasindo, Jiwa Sraya, PPI dan lain sebagainya. "Setelah kita inventarisasi ternyata paling banyak gedung milik PPI yang dahulunya nasionalisasi dari perusahaan-perusahaan peninggalan Belanda. Itu pun prosesnya lama sekali kita mendapatkan persetujuan kerja sama revitalisasi itu," ucap Yayat menjelaskan.
Pihaknya berharap, dengan merevitalisasi 12 gedung yang mayoritas merupakan milik PPI, gedung-gedung yang ada di kanan kirinya ikut merapikan gedungnya masing-masing. Nyatanya hal tersebut tidak terjadi. Alasan utamanya? Biaya. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah atau terobosan dari pemerintah untuk menangani hal tersebut, misalnya dengan insentif.
Alasan kedua terkait dengan infrastruktur, belum lagi soal investor.
"Para pemilik gedung banyak yang berpikir, 'Bagaimana mungkin saya membenahi gedung saya kalau nanti itu tidak jelas juga peruntukannya'," ujarnya.
Ia menilai, harus ada kolaborasi yang baik antara pemerintah provinsi, pusat dan pihak swasta. Harus jelas mengenai siapa mengerjakan apa. Sebab, investor yang tertarik membuka kafe atau restoran di gedung-gedung tersebut akan mempertanyakan banyak hal, mulai dari parkir hingga keamanan.
"Memang dibutuhkan political will dari pemerintah pusat dan juga kerja sama dari seluruh stakeholder untuk mengubah wajah Kota Tua agar dapat menarik turis mancanegara juga," ucap Yayat.
Kerusakan bangunan gedung tua yang berada di kawasan kota tua Jakarta. (VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi)
Merevitalisasi gedung-gedung tua juga tidak bisa dilakukan sembarangan. Apalagi ketika gedung tersebut sudah masuk dalam kategori cagar budaya, sehingga pemilik pribadi juga tidak bisa seenaknya mengubah konstruksi bangunan. Sehingga, ujarnya, diperlukan kebijakan pemerintah yang menyeluruh dalam hal revitalisasi Kota Tua.
"Kalau tidak, gedung tua yang tidak diurus lama kelamaan akan hancur dan bahayanya nanti pemilik akan menjual tanahnya, karena memang sudah tidak bisa mengurusi gedung miliknya. Padahal (gedungnya) memiliki nilai cukup tinggi dari segi historikal," katanya menambahkan.
Berbeda dengan Yayat, Norviadi tak mau menyebut status kepemilikan gedung-gedung tersebut sebagai kendala, melainkan lebih ke pada tantangan. Tapi ia setuju bahwa dibutuhkan sinkronisasi kebijakan, baik dari pemerintah pusat maupun swasta agar revitalisasi bisa berjalan baik.
Ia juga mengatakan, seperti yang sudah diamanahkan dalam Undang-undang Cagar Budaya nomor 11 tahun 2010, terkait dengan pemberian intensif berupa pengurangan pajak bagi bangunan cagar budaya yang dikelola dengan baik, seharusnya itu menjadi kesempatan bagi pemilik atau pengelola bangunan untuk mengajukan keringanan pajak bumi dan bangunan
"Tentu sebenarnya memang bisa saja ditambahkan stimulus lain, baik oleh pemerintah pusat, misalnya Kementerian Keuangan, dan membantu memudahkan para investor untuk masuk dan berinvestasi. Tetapi itu kan sebenarnya bukan kewenangan pemerintah provinsi ya, tapi itu merupakan kewenangan pemerintah pusat," kata Norviadi.
Selanjutnya...Bukan sekadar gedung tua
Bukan sekadar gedung tua
Pengamat Tata Kota, Nirwono Yoga mengungkapkan, ia belum terlihat perubahan atau progres revitalisasi yang signifikan dan kawasan Kota Tua masih belum terintegrasi secara keseluruhan. Menurutnya, revitalisasi masih difokuskan pada Museum Fatahillah dan bangunan di sekitarnya.
Yang paling jelas terlihat adalah tidak ada interaksi antara kawasan dan masyarakat. Padahal, dalam melakukan revitalisasi seharusnya ada zona inti, zona pendukung dan yang paling luar.
Ia mengatakan, masyarakat yang tinggal di luar dan sekitar hampir tidak dilibatkan. Contoh, tidak ada pendataan rumah mereka dijadikan homestay untuk wisatawan. Jadi bicara revitalisasi tidak melulu konservasi bangunan dan museum. Tetapi ada kawasan menarik yang turut mendukung. Ia menilai, selama mindset-nya masih proyek, tidak dalam konteks menata keseluruhan, maka revitalisasi tidak akan rampung.
Nirwono menilai bahwa ini hanya sekadar proyek rutin karena tidak ada rencana induk dalam jangka panjang. Selain itu tidak ada indikator keberhasilan setiap tahun, lima hingga 20 tahun bahwa Kota Tua bisa mandiri.
"Sekarang istilahnya disubsidi pemerintah dan subsidi ini tidak berkelanjutan. Misal oke kita (pemerintah) biayaain 10-20 tahun, tapi setelah itu harus bisa mandiri, dan lama-lama tidak membebani APBD. Sekarang terbalik, justru membebani," ujar Nirwono.
Nirwono mengatakan, pemerintah tidak punya intervensi tegas bagi mereka yang tidak mengikuti aturan untuk melakukan revitalisasi. Di sinilah pentingnya rencana induk atau semacam grand design jangka panjang, di mana pemerintah bisa memberikan ultimatum. Misalnya, jika tidak mau berpartisipasi, pemerintah berhak membeli bangunan tersebut dalam konteks menyelamatkan bangunan.
Senada dengan Nirwono, Yayat mengatakan bahwa di negara-negara lain, kota tua tidak hanya dijadikan tempat untuk sekadar melihat gedung-gedung tua, tapi juga dijadikan tempat tumbuh kembang industri kreatif.
"Harus ada atraksi-atraksi komunitas yang terjadwal, menyajikan kearifan lokal, seni budaya, dan lain sebagainya. Tidak bisa menghidupkan Kota Tua dengan membenahi gedungnya saja. Kalau kami sebagai swasta kan tidak punya otority untuk melakukan itu. Kami cuma men-trigger dalam membenahi gedung-gedung yang memang memiliki nilai historis," katanya.
Target lima tahun rampung
Gubernur DKI nonaktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sempat mengatakan bahwa revitalisasi Kota Tua ditargetkan rampung lima tahun mendatang. Yayat sedikit pesimis melihat target tersebut, karena kendala-kendala di lapangan tadi yang tak bisa dihindari.
“Bayangkan kita harus komunikasi dan melobi pemilik gedung untuk direvitalisasi, kalau pemiliknya tidak mau kita bisa berbuat apa? Pendekatan ke BUMN saja itu sudah memakan waktu sendiri. Belum yang milik pribadi," ujarnya.
Hal yang sama diutarakan oleh Nirwono. Menurutnya, selama pemerintah belum memiliki rencana induk dan tidak menganggap sekitarnya sebagai bagian pendukung Kota Tua, maka target lima tahun tadi sulit dicapai. Baginya, tidak mungkin dilakukan jika tidak memiliki pedoman.
Pada akhirnya, lanjut dia, pariwisata harus berkelanjutan. Pertama, bagi masyarakat harus menguntungkan. Kedua, tingkat sosial dan ekonomi masyarakat juga harus meningkat. Sementara kondisi yang terjadi saat ini, Kota Tua dianggap kumuh dan masih banyak peristiwa kebakaran.
"Jadi kalau ini berhasil, pariwisatanya bisa berkelanjutan, karena wisata ini kan bukan 5-10 tahun ke depan, tapi selama Kota Jakarta itu ada, ya Kota Tua juga akan tetap ada," ujarnya.
Di sisi lain, Norviadi tetap optimis proses revitalisasi berjalan lancar. Apalagi, ia mengatakan bahwa tren kunjungan wisatawan mancanegara ke kawasan Kota Tua mengalami peningkatan. Sekitar 30 persen wisman tertarik datang ke kota tua.
Ribuan wisatawan dalam dan luar negeri menikmati suasana kota tua di Jakarta. (VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi)
Untuk menggenjot revitalisasi dan meningkatkan kunjungan wisatawan, UPK Kota Tua akan melakukan tahapan-tahapan sesuai dengan kewenangannya. Salah satunya adalah menggelar pertunjukan seni budaya dengan skala internasional.
"Terakhir di sini ada event Sehari Tanpa Tembakau Sedunia, terus ada gerakan Ayo Makan Ikan yang dicanangkan oleh Pak Presiden Joko Widodo, dan sekarang ini juga sering dilakukan pameran-pameran foto di sini. Kegiatan seperti ini akan terus kita tingkatkan," katanya.
Sementara untuk mempromosikan Kota Tua sebagai destinasi wisata di ibu kota, Nirwono mengungkapkan bahwa sebenarnya caranya sangatlah sederhana, yakni membuat warga Jakarta bangga pada kotanya, salah satunya dengan Kota Tua.
"Kalau bangga itu, warga di sekitar akan mempromosikan sendiri. Warga Kota Jakarta akan menghidupkan dengan mengunjungi, dan yang paling penting tidak perlu dipusingkan dengan pengakuan internasional. Itu hanya bonus. Tapi kalau sudah jadi kebanggaan warga, ini suatu prestasi dan lebih berkelanjutan," ujarnya. (ms)