Mencekau Narkoba dari Hutan ke Kota
- ANTARA FOTO/Rahmad
VIVA.co.id – Hamparan kebun berwarna hijau kekuningan terlihat di balik bukit Tor Sihite. Pemandangan asri ini membuat lelah setelah mendaki bukit terjal tiga jam luntur. Inilah ladang ganja terbesar di Sumatera Utara.
Total penerbangan selama 4,5 jam dari Bandara Soekarno Hatta, menuju Bandara Kuala Namu, Medan, lalu menyambung ke Sibolga terasa panjang. Bukan hanya lelah karena flight pagi, tapi pengalaman pertama kali mengajuk turbulence menggunakan pesawat baling-baling membuat saya cukup khawatir.
Belum juga nafas panjang, ternyata perjalanan masih harus berlanjut. Sekarang saya harus naik mobil dari Sibolga menuju Mandailing Natal, atau yang akrab disapa Madina.
Sudah tidur, bangun, tidur, sampai bangun lagi, mobil belum juga sampai tujuan. Empat jam terasa sangat lama.
“Ini sudah jauh lebih mending, dulu jalannya mah masih berpasir,” ujar salah satu anggota Badan Narkotika Nasional (BNN), AKBP Sitompul, yang berada satu mobil dengan saya.
BNN memang tengah gencar-gencarnya menghentikan perkembangan ladang ganja di Sumatera Utara. Kontur tanah berbukit-bukit milik Madina kerap dijadikan tempat penanaman ganja oleh warga sekitar.
Madina sudah menjadi target BNN sejak awal 2000-an. Bahkan, ladang seluas 5 hektare pernah ditemukan yang berpotensi menghasilkan 1,5 ton ganja. Pada awal 2017, BNN pun kembali menemukan titik yang digunakan sebagai ladang ganja.
Udara dingin perbukitan langsung memeluk kami saat tiba di Madina. Apalagi ketika itu hujan turun untuk pertama kalinya dalam dua minggu terakhir. Menimbulkan kekhawatiran cuaca bisa menjadi faktor penghalang misi kami.
Bukan apa-apa, perjalanan menuju titik lokasi harus melewati jalur yang cukup ekstrem dan terjal. Bahkan kabarnya jalan menuju desa terakhir sebelum pendakian mengalami longsor. Jadi jelas hujan bisa menjadi pengganjal.
Benar saja, perjalanan harus tertunda satu hari karena cuaca ekstrem yang mengguyur lokasi. “Tidak mungkin naik hari ini. Terlalu licin dan berbahaya,” seru suara di ujung walkie talkie yang dipegang oleh Sitompul, yang akrab kami sapa Opung Tompul.
“Ya sudahlah, kita santai dulu di sini,” ujar Opung.
Bagi pendatang baru, perbedaan pertama antara Sumatera Utara dan Jakarta jelas pada kendaraan Bentor yang merayap di berbagai sisi jalan. Mandailing Natal juga bukan kota besar.
Pusat kota Madina kira-kira hanya sepanjang tiga kilometer saja sebelum kembali memasuki daerah yang kiri kanannya diisi oleh sawah maupun perkebunan. Mobil kami pun akhirnya berhenti di sebuah hotel bertembok krem dan berdesain minimalis. Lumayan.
Di bawah hujan yang cukup deras, malam itu kami habiskan dengan ngobrol di pelataran hotel sambil mengecap kopi Arabica khas Mandailing. Pembicaraan kami bersama para anggota BNN ngalor ngidul.
Mulai dari pengembangan yang buntu selama nyaris dua bulan, hingga kesuksesan menggagalkan masuknya 1,4 juta butir ekstasi milik gembong narkoba Freddy Budiman pada 2012 silam.
Saya pun penasaran dan sempat bertanya soal seberapa besarnya bisnis narkoba di Indonesia. Sambil mengepulkan asap rokok mild yang dihisapnya, Opung Tompul pun mulai bercerita panjang lebar.
Menurutnya, saat ini Indonesia jadi target pasar terbesar kartel narkoba dunia. China disebut meraup Rp1,3 triliun hasil menjual narkoba ke Indonesia pada 2016.
“Mereka leluasa soalnya pakai perusahaan-perusahaan fiktif, dan sering ganti-ganti, di sana. Jadi susah ngelacaknya,” ujar Opung sambil geleng-geleng kepala.
Dalam upaya pemberantasan ganja, BNN sudah membuka diri pada perkembangan teknologi mutakhir demi membatasi berkembangnya ladang. Sejak 2016, kerjasama dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) sudah dilakukan.
Lapan akan memantau dengan citra satelit. Kerjasama ini diklaim bisa mendeteksi sejumlah populasi pembukaan ladang ganja baru yang memungkinkan untuk ditanami oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Salah satunya yang tertangkap citra satelit Lapan adalah ladang yang akan kami datangi.
Keesokan harinya, setelah memejamkan mata sejenak, perjalanan penuh tikungan selama tiga jam dari Madina ke titik lokasi menjadi “sarapan” buat kami di pagi hari.
Jalan berliku khas bukit barisan kami lewati. Warga langsung mencari sumber suara bising ketika sirine truk Brimob meraung memecah kesunyian desa-desa kaki bukit Sihite yang dilewatinya.
Untuk mencapai titik pendakian, 20 anggota operasi dari BNN, TNI, Brimob, dan Polres Madina harus melanjutkan perjalanan memasuki area pedesaan dengan mobil yang lebih kecil karena jarak jalan dengan rumah warga tak lebih dari satu meter.
Sempat muncul kekhawatiran saat tampak telah terjadi longsor di jalur menuju desa pendakian. Jalur tanah berwarna cokelat membelah hijaunya bukit dengan bongkahan kayu-kayu dengan diameter sebesar ban mobil terlihat masih berantakan di sana sini.
Mobil pick up diluncurkan lebih dahulu untuk menjajal jalur. Ban belakang mobil berkelir putih pucat itu sempat melintir saat lewati tengah titik longsor, penduduk di bak belakang pun ditambah untuk memberikan beban pada ban.
Rasa lega terasa saat jalur yang sempat longsor sudah bisa dilewati. Satu per satu mobil pun melewati jalur longsor dengan hambatan berarti.
Kami akhirnya tiba di desa terakhir sebelum memasuki hutan perbukitan Sihite. Rumah-rumah warga semua terbuat dari kayu, anjing-anjing peliharaan mengangkat kepala merasakan curiga terhadap wajah-wajah asing yang baru datang.
Mobil kami berhenti di persimpangan jalan. Tak ada waktu untuk beistirahat, kami langsung mengumpulkan ransum yang telah disiapkan BNN berupa dua botol air mineral dan sebuah nasi bungkus.
Kami berjalan menyusuri desa yang sangat jauh dari kemajuan teknologi di kota yang hanya berjarak puluhan kilometer. Tak ada anak-anak yang terpaku ke layar telepon pintar, yang ada anak-anak yang bermain dengan anak ayam yang telah disepuh berwarna merah, kuning, dan hijau. Sangat jauh dari peradaban modern.
Warga meminta untuk tidak menyebutkan nama desa mereka, karena khawatir dengan ancaman yang datang dari para penanam ganja. Para petani ganja dari desa seberang sempat mengancam akan membuat kegaduhan kalau sampai ada yang membocorkan informasi kepada pihak yang berwajib.
Dan kini cobaan terbesar pun baru dimulai.
Kami melaksanakan apel di depan tiang berbendera Merah Putih dalam lapangan sekolah dasar bertembok dan beratap kayu. Aparat berbaris rapih saat diberikan arahan oleh pemimpin operasi dari BNN. Setelah itu, kami langsung ditantang dengan jalur terjal sejak awal. Tanpa jalan landai lebih untuk pemanasan.
Jalan beton setapak menyambut kami sebelum mulai memasuki rimbunnya hutan pohon karet. Beberapa petani karet yang sedang menyadap karet hanya bengong bertanya-tanya saat beberapa pria berseragam polisi dan TNI membopong senjata lewat di depannya.
Jalur semakin curam dengan jarak melangkah dua kali tangga normal. Saat kaki sudah terasa tak sanggup lagi melangkah, batang-batang pohon menjadi tumpuan. Beberapa personel BNN maupun Brimob tampak sudah tumbang dan memilih menjadi tim sweeper.
Nafas saya pun sudah tersenggal-senggal, jantung rasanya tak sanggup lagi memompa lebih keras. Keringnya tenggorokan tak terobati meski air sudah diguyurkan ke dalamnya. Botol minum pertama habis begitu cepat.
Saat itulah saya sadar kalau upaya aparat untuk menghentikan peredaran ganja bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Butuh keringat, perjuangan, dan usaha besar untuk menghancurkan satu ladang saja.
“Ayo mas, ini belum seberapa. Kemarin kami sampai empat hari di gunung ini, mencari ladang ganja,” ujar salah satu anggota Brimob, yang ternyata juga sedang beristirahat.
Menurut cerita Brimbob tersebut, Polres Mandailing Natal telah naik lebih dulu ke perbukitan Sihite beberapa hari lalu mencari titik-titik ladang ganja. Tapi, informasi yang kurang akurat membuat aparat kepolisian harus membelah hutan sambil meraba-raba.
Beruntung, mereka berhasil menemukan ladang ganja sebesar kurang lebih tiga hektare. Perjuangan mereka pun seakan terbayar tuntas. “Wah, itu sih beruntung mas. Pernah beberapa kali enggak ketemu juga,” lanjutnya.
Jalur terjal itu harus kami lewati selama tiga jam. Kaki melangkah satu demi satu, sebelum tiba-tiba terdengar di walkie talkie kalau tim terdepan sudah tiba di lokasi. “Kira-kira 250 meter lagi,” ujar suara Opung Tompul yang berada di depan kami.
Mereka mengendap-endap dan menoleh ke arah. Benar saja. Ladang berwarna hijau itu sudah tampak dari posisi kami yang berada di bukit sedikit lebih tinggi. Kami diminta waspada. Terlihat seorang petani dengan baju putih lusuh dan topi caping sedang berada di ladang seluas 1,5 hektare tersebut.
Dari kejauhan, tampak petugas BNN merayap di antara pohon ganja berusaha menangkap tersangka. Tapi saat itu juga terdengar suara teriakan dari arah hutan, semacam kode dan temannya pun cepat-cepat kabur ke balik rimbunnya pohon.
Tembakan peringatan meletus dari salah satu pistol yang dibawa petugas. Bukan untuk melumpuhkan, melainkan untuk membuat para tersangka melarikan diri dan tidak melakukan perlawanan.
“Kami tidak fokus menangkap tersangka, tetapi mencari jaringan penampungnya di Jakarta,” tegas Ketua Opernasi BNN, Kombes Pol. Ghiri Prawija.
Kami pun mulai mendekat, melewati batang pohon melintang sebelum melihat pemandangan yang membuat senyum sedikit berkembang di wajah saya.
Hamparan ladang ganja berwarna hijau kekuningan seluas 1,5 hektare terlihat jelas di depan mata saya. Pohon-pohon setinggi 1,5 hingga 2 meter itu tdak terlalu besar. Batang-batangnya kecil, begitu juga daunnya yang tipis dan panjang.
Daun-daun menggantung di kanan kiri ketika saya sedang mengabadikan gambar. Bagian pucuk pohon tampak menggumpal, memiliki wangi mirip jeruk nipis. Beberapa pohon di antaranya ada yang lebih tinggi dari orang dewasa.
Kira-kira hamparan ladang tanaman berjenis perdu ini sebesar dua kali lapangan sepakbola. Kemiringan dataran kira-kira 75 derajat.
Melihat karakter daunnya, tanaman ganja ini berjenis sativa. Ganja jenis ini memiliki zat psikoaktif yang memberikan euforia dan membuat penggunanya aktif berpikir. Dalam sejarah penggunaannya, batang jenis ganja ini sering digunakan sebagai serat pembuat karung, baju, sampai tali kapal.
Menengok ke sisi kiri ladang, tampak lima terpal berwarna biru sedang menjadi alas jemur ganja-ganja yang tengah dikeringkan. Daun di atas tiga terpal sudah mulai coklat, sementara di dua terpal lagi masih setengah kering.
“Kalau terlambat satu hari saja. Besok sudah tidak ada di sini. Tapi, berhasil kami hentikan. Belum ada yang diedarkan,” tambah Kombes Ghiri.
Satu per satu pohon ganja dicabut oleh petugas. Ditumpuk hingga tertimbun cukup tinggi. Solar disiramkan dari sebuah botol minuman, lalu menyusul kayu yang sudah dibakar. Asap putih langsung mengepul liar mengikuti angin yang berhembus cukup kencang.
Berjalan lebih ke arah pepohonan, petugas berhasil menemukan sebuah pondok di dalam hutan. Tempat ini yang menjadi persembunyian salah satu petani ladang ganja tersebut. Dua orang petugas pun menghancurkan pondok tersebut untuk menyulitkan petani kembali bertani.
Dari kualitas, ganja madina tidak kalah kuat dengan milik tanah Aceh. Bahkan, BNN yakin “ekor bajing” atau pucuk pohon ganja Madina merupakan salah satu yang terbaik di dunia.
Polisi mencabut batang tanaman ganja saat operasi ladang ganja di Aceh. (ANTARA FOTO/Rahmad)
1.500 pohon dicabut oleh petugas dalam operasi yang berjalan hanya 30 menit itu saja. Sekitar setengah ton ganja berhasil digagalkan beredar ke masyarakat.
“Ini komitmen kami dalam memberantas narkoba, sekaligus memberitahukan pada masyarakat kalau ganja merupakan tanaman yang dilarang ditanam atau digunakan,” tegas Kombes Ghiri.
Menurut penelusuran BNN, karakteristik petani di Madina berbeda dengan petani ganja di Aceh. Kalau di Aceh, petani sudah memiliki investor yang memintanya untuk menanam, sebelum diantar oleh orang lain, dan dijual oleh orang yang lain pula.
Sementara petani ganja di Madina benar-benar menggunakan modal sendiri. Lalu akan mengantarnya lewat hutan-hutan ke Bukit Tinggi, Sumatera Barat, atau ke Medan.
“Karena itu, karakter petani ganja di Madina lebih berbahaya. Mereka menjaga ladang mereka dan sering membawa senjata rakitan. Tapi, mereka hanya oknum kecil dari jaringan besar peredaran ganja di Indonesia,” tambah Kombes Ghiri.
Perkembangan ganja di Madina pun sepertinya masih akan sangat sulit untuk dihentikan. Saat ini, BNN mencatat setidaknya ada tujuh ladang ganja di perbukitan Tor Sihite saja.
Dengan penghasilan menggiurkan, kira-kira Rp200 juta tiap panen, pemerintah harus proaktif memberikan opsi lain untuk masyarakat. Mereka harus diberikan edukasi serta sarana untuk mengembangkan usaha di bidang lain.
Kalau melihat dataran Madina, sebenarnya bukan hal mustahil untuk membuat para penduduk menanam tanaman lain. Padi dan pohon karet tampak menjadi salah satu pilihan lain para penduduk, selain tanaman ilegal tersebut.
Selanjutnya memburu bandar ganja dan ekstasi di ibu kota..
Memburu Bandar Ganja dan Ekstasi di Ibu Kota
Lalu efektifkah usaha BNN meredam peredaran ganja, dan narkoba pada umumnya, di Indonesia? Tampaknya masih jauh panggang dari api. Usaha besar yang dikeluarkan masih jauh dari yang diinginkan.
Berdasarkan data BNN pada 2015, kenaikan persentase pengguna narkoba di Indonesia mencapai 40%! Padahal ditengah gencarnya upaya pemerintah Republik Indonesia memberantas barang haram tersebut.
Angka pengguna narkoba tercatat meningkat signifikan. Pengguna dalam priode Juni hingga November 2015 bertambah 1,7 juta jiwa, dari yang sebelumnya 4,2 juta jiwa (Juni 2015) menjadi 5,9 juta jiwa dalam waktu lima bulan saja.
Dari angka tersebut, 22% merupakan pelajar dan mahasiswa, dan diperkirakan 40-50 orang meninggal dunia tiap harinya akibat penyalahgunaan narkoba. BNN juga menyatakan kerugian Negara akibat narkoba mencapai Rp63,1 triliun.
Kalau jumlah pengguna narkoba terus naik, jadi sebenarnya akan tidak terlalu sulit mendapatkan narkoba di kota-kota besar khususnya Jakarta. Benarkah demikian?
VIVA.co.id melakukan penelusuran dengan mencoba mencari bandar besar narkoba di ibukota. Berawal dari pedagang-pedagang receh, akhirnya kami berhasil bertemu dengan salah satu bandar yang sering memasok ke beberapa kawasan Jakarta.
Motor Vespa matic punya rekan di kantor pun saya pinjam. Arah dari Grogol menuju Tanjung Priok terasa jauh terhimpit padatnya jalan ibukota ketika jam pulang kantor.
Ketika mulai memasuki gang-gang sempit daerah Priok, mengikuti petunjuk arah mbah google maps, telepon saya berdering, dari nomor yang tidak dikenal.
“Halo,” ujar saya, dengan satu tangan tetap mengendalikan motor.
“Mas yang pake Vespa biru ya?” jawab penelepon tadi.
“Oh, ya mas,” balas saya sadar kalau sang bandar menelepon. Seseorang pria dengan baju putih bertuliskan Hong Kong dan celana pendek kargo, lengkap dengan sandal jepit tua, pun mendekat.
“Telepon pakai nomor lain mas. Habis pulsa tadi,” tuturnya berseloroh.
“Bandar bisa habis juga yah pulsanya,” pikir saya dalam hati.
Dalam sebuah bale di bawah remang-remang lampu jalanan, kami mulai mengobrol dan saling berbagi cerita. Ia meminta dipanggil dengan sebutan Kalong. Sambil mengusap kepala pelontosnya, ia pun mulai buka suara dengan logat Betawi kental.
“Pasokan langsung dari Aceh. Tapi kalau dihitung-hitung, gua mah masih bandar kecil, belum yang besar-besar banget,” ujar Kalong bercerita tentang bisnisnya.
Menurut pria yang berusia sekitar 30 tahunan tersebut, ia mendapatkan kontak ketika dirinya mendekam di rumah tahanan Salemba sekitar lima tahun lalu. Dari sesama narapidana, Kalong diajak kerjasama sejak masih berada di balik jeruji besi.
“Enggak mau gua jual sabu. Emang duitnye banyak, tapi gue pernah kena tipu, sama napi juga. Pas jualan ganja lancar-lancar aja, jadi yah mending jualan ini,” tambahnya.
Satu kali pengambilan barang, Kalong rata-rata menimbun sekitar 10 kilogram ganja. Angka tersebut memang terdengar sangat besar, tapi sebenarnya masih sangat kecil dibandingkan dengan ratusan sampai ribuan kilogram ganja yang masuk Jakarta setiap pengiriman.
Pengiriman dari Aceh menggunakan truk atau mobil pick up dan memakan waktu hingga empat hari. Kalong pun mengungkapkan semua perjalanan lewat jalur utama dan juga diselundupkan melalui pelabuhan Merak sebelum mendarat ke pulau Jawa.
Ditanya soal kekhawatiran memasok ganja ke Jakarta, Kalong mengaku biasa-biasa saja. Kebutuhan ekonomi menjadi alasannya menjalani bisnis haram tersebut dalam kurun waktu tiga tahun terakhir.
“Ya, mau gimana lagi mas? Simpannya ribet karena barangnya besar, tapi kita bisa mainin harga tergantung stok. Jadi untungnya mayan dah,” jawab Kalong setelah menghisap panjang rokok kretek yang sudah setengah habis.
Pembicaraan kami semakin akrab. Beberapa kali tawa meledak ketika membicarakan kisah kehidupan Kalong ketika mendekam di penjara, karena ketahuan membawa tiga linting ganja dalam bungkus rokok.
Kami berusaha merayu Kalong agar mau membawa kami ke rumah tempatnya menyimpan stok ganja. Tetapi permintaan itu selalu ditepisnya dengan halus. Alasannya keamanan. Ia mengatakan tempatnya tengah dipantau karena pembelinya sempat terjerat razia sekitar satu pekan sebelumnya.
Tapi Kalong memberikan gambaran lewat foto-foto di telepon pintar buatan China miliknya. Setelah mengutak-utik sebentar, ia pun memamerkan tumpukan ganja yang ditempatkan dalam sebuah lemari kayu.
Dalam foto tersebut, tampak tumpukan rapih paket ganja, tidak terlalu tebal, yang sudah dililit dengan lakban. Alasan Kalong mengabadikan barang bukti tersebut karena itu merupakan penimbunan terbesarnya.
“Kalau engga salah, 25 kilo banyaknya waktu itu. Saya bawa pakai motor Mio, teman saya bawa motor satu lagi. Terus barangnya ditaruh di depan di dalam trash bag. Berat banget sampai goyang-goyang,” cerita Kalong sambil memperagakan dirinya sedang mengendarai motor oleng.
Cara jual Kalong pun tidak terlalu sulit. Ia sudah memiliki pelanggan yang rutin menghubunginya setiap dua pekan. Harga satu paket ganja seberat 1 kilogram dijual sekitar Rp3,5 juta. Kalong memilih untuk tidak jual eceran karena risiko lebih tinggi.
“Kalau bisa, barang sampai langsung habis. Biar kita tidak parno masih menang barbuk (barang bukti). Nanti kalau mau ketemu sama costumer tinggal janjian saja, ketemu lalu kasih. Kalau uangnya ada yang cash ada juga yang transfer,” tuturnya.
Kalong mengaku tak tahu persis latar belakang para pembelinya. “Tapi sepertinya sih kebanyakan mahasiswa. “Kalau untuk dijual lagi atau pakai sendiri saya engga tahu.”
Perbincangan kami akhirnya terhenti jelang tengah malam. Tapi, penelusuran akan lubang hitam narkoba di Jakarta belum selesai. Kali ini, vespa matic dikebut menuju kawasan Hayam Wuruk alias Kota.
Kota memang sering menjadi tempat sirkulasi narkoba, khususnya yang berbahan dasar kimia seperti ekstasi maupun sabu-sabu. Banyaknya klub malam dan tempat hiburan menjadi tanda jelas.
Lampu neon dan cahaya terang billboard LED menyambut kedatangan ku. Terlihat beberapa ojek bersama “kupu-kupu malam” berjejer rapih di sisi kiri jalan.
Perjalanan terus berlanjut menuju ke salah satu tempat hiburan tersohor di Jakarta Barat. Tempat ini diklaim memiliki soundsystem dan tata cahaya setara surga disko dunia, Ibiza di Spanyol.
“300 ribu mas,” ujar wanita paruh baya yang berada di belakang kasir pintu masuk.
Aku mengumpat dalam hati, harga yang mahal untuk sebuah tiket masuk dan satu gelas minuman. Tapi ya sudahlah. Pantas saja harus membayar mahal untuk masuk ke dalam. Suasana di dalam klub ini terasa sangat high class. Berbeda dengan klub-klub di Kota pada umumnya.
Wanita-wanita cantik dengan baju minim tampak gontai setelah menenggak minuman keras yang sudah terlihat setengah habis. Beberapa pria juga asyik berjoget di depan dentuman speaker besar yang membuat jantung berhentak.
Setelah berputar-putar mencari petunjuk, saya beranikan diri bertanya ke salah satu security yang berada di dekat kamar kecil. Saya memberitahukan ingin mencari ekstasi atau juga yang biasa disebut inek.
Pria itu mengarahkan saya ke salah satu pelayan yang menggunakan rompi. Sang pelayan pun langsung berbisik ke kuping saya “Mau berapa?” Satu butir ekstasi di klub tersebut dijual Rp450.000. Harga yang sangat mahal untuk kesenangan sejenak.
Tapi, tawaran tersebut saya tolak karena sepertinya sulit mendapatkan informasi kalau hanya dari pelayang yang jual recehan seperti ini.
Saya berusaha menghubungi beberapa teman yang memang doyan dengan kehidupan malam. Berusaha mencari celah untuk bertemu dengan bandar yang lebih besar. Nomor kontak terus saya geser naik turun mencari nama yang bisa membantu.
Tiba-tiba telepon berbunyi. Suara rekan lama muncul di ujung telepon.
Kami pun akhirnya janji bertemu di salah satu klub di Kota, tapi kali ini saya diundang untuk masuk room atau ruang pribadi. Ruangan ini berada di lantai tiga gedung tersebut.
Tidak berbeda jauh dengan ruang karaoke pada umumnya, ada kamar mandi dalam, sofa panjang, dan beberapa televise layar datar. Bedanya, soundsystem di ruangan ini jauh lebih besar dan menghentak.
Lampu ruangan diredupkan. Asap rokok mulai mengepul. Kami pun tenggelam dalam botol minuman beralkohol. Saya pun penasaran dengan misi pertama datang ke tempat tersebut, mencari tahu soal penjualan ekstasi.
Yang bikin mengejutkan, transaksi jual beli ekstasi bisa dilakukan dengan sangat mudah. Seorang pria berwajah Indonesia Timur dengan gaya parlente masuk ke dalam ruangan. Kami saling lihat, saya tidak mengenali wajah tersebut.
Orang itu pun mendekat dan mengenalkan diri sebagai Ryan, lalu dia berseloroh menawarkan apakah ingin membeli ekstasi. Saya pun terkejut, sekaligus takut. Bandar di tempat tersebut berada di ruangan saya. Ngerinya bukan main.
Barang bukti paket ganja yang berhasil diamankan oleh polisi. (VIVA.co.id/Muhamad Solihin)
Tapi ternyata barang bukti tidak menempel di badannya. Ia keluar ruangan dulu ketika ada pedagang yang ingin bertransaksi. Harga ekstasi di tempat ini relatif lebih murah yaitu Rp350.000.
Kami pun akhirnya mengobrol di salah satu bagian sofa yang agak jauh dari keramaian. Saya mulai mencari celah untuk cari tahu darimana barang haram itu berasal.
Saya membuka pembicaraan dengan pertanyaan-pertanyaan santai, kami pun mulai akrab. Beberapa gelas bir habis kami tenggak. Saat itulah saya mulai memberanikan diri untuk bertanya lebih jauh.
“Bang Ryan, susah tidak dapatkan pasokan ineknya?” tanya saya sok polos.
“Yah, gampang-gampang susah. Kalau saya sudah ada bosnya jadi tinggal nampung saja,” jawabnya.
Ryan mengaku bisa menjual 100 sampai 200 butir ekstasi setiap malamnya. Tapi, dia bukan satu-satunya bandar di klub tersebut. Jadi perputaran ekstasi di satu klub itu saja bisa mencapai 500 butir per malam.
Dengan harga per butirnya Rp350.000, artinya bandar narkoba di klub tersebut bisa meraup Rp175.000.000 dalam satu hari saja, Rp1,2 miliar dalam seminggu, dan Rp5,2 miliar setiap bulannya!
Menurut Ryan, ekstasi yang didapatkan jaringannya dikirim langsung dari China, tetapi beberapa kali dia juga mendapatkan produk yang memang cetakan di Indonesia.
“Beda kualitasnya, kalau di China lebih bagus. Tapi itu dia, ngirimnya agak susah. Sekarang sering kena,” ujar Ryan.
Kalau melihat dari pendapatan para bandar, bisnis ekstasi jelas sangat amat menggiur. Uang miliaran Rupiah bisa didapat hanya dalam waktu minggu ke bulan saja.
Tapi Ryan juga mengungkapkan tidak mudah menjalani bisnis haram tersebut, apalagi di tempat besar layaknya Kota. Banyak mulut yang harus diberi makan kalau tidak ingin digigit suatu hari nanti.
Dari ratusan juta yang didapatnya, bisa sampai sepertiganya habis untuk menyumpal mulut-mulut. “Kalau tidak bayar, ya siap-siap saja,” tambahnya.
Suara soundsytem terus menghentak kencang. Suasana pun semakin liar Saya akhirnya menyudahi pesta tersebut sekitar pukul empat dini hari. Perasaan takut dan khawatir berada satu ruangan dengan bandar membuat hati saya tidak tenang.
Selanjutnya, efektifkah hukuman mati..
Efektifkah Hukuman Mati?
Menilik hasil penelusuran, memang terlihat jelas kalau peredaran narkoba di Indonesia belum mampu dihentikan dengan maksimal oleh aparat keamanan. Berbagai operasi dan razia sampai saat ini masih hanya mengenai bagian keraknya saja, belum mampu menembus sampai ke inti permasalahan.
Bandar-bandar besar masih belum tersentuh. Ancaman hukuman mati yang diberikan oleh oleh pemerintah Indonesia juga sepertinya sampai saat ini belum efektif.
Sejak tahun 1995, tercatat 25 orang telah dihukum mati karena terlibat jaringan narkoba di Indonesia. Angka hukuman mati karena narkoba ini meningkat dalam dua tahun terakhir ini, 18 dari 25 orang tersebut dihukum sepanjang 2015 dan 2016 saja.
Data tersebut menjadi tanda kalau Negara memang serius dalam upaya memberikan efek jera atau efek takut kepada masyarakat, namun meningkatnya angka bandar yang tertangkap juga menunjukkan kalau pasar narkoba di Indonesia sangatlah besar.
Kendaraan lapis baja yang berisi salah satu dari dua terpidana mati Bali Nine, turun dari kapal feri untuk menuju lapas Nusakambangan, Cilacap, sebelum pelaksanaan eksekusi hukuman mati, 4 Maret 2015. (REUTERS/Darren Whiteside)
Dari 18 terdakwa yang dieksekusi dalam dua tahun terakhir, tercatat hanya tiga yang merupakan warga negara Indonesia. Sisanya dari Nigeria (7), Australia (2), Brasil (2), Belanda (1), Malawi (1), dan Vietnam (1). Artinya, pasar internasional memang menjadikan Indonesia target utama mereka.
Menurut BNN, salah satu tempat yang paling sulit untuk mendeteksi kedatangan narkoba ke tanah air adalah banyaknya pelabuhan-pelabuhan tikus di daerah Sumatera. Kapal-kapal kecil bisa menurunkan muatannya, yang dibawa dari Semenanjung Malaya, dengan sangat mudah.
Sedangkan kerjasama dengan Bea dan Cukai terus digalakkan untuk menghalau penyelundupan narkotika yang menggunakan kargo komersial. Karena menurut BNN, pelabuhan utama seperti Tanjung Priok dan Tanjung Perak sangat rentan untuk disusupi.
Kondisi semakin dipersulit setelah anggaran untuk BNN malah dipangkas meski pemerintahan presiden Joko Widodo telah menyatakan Indonesia saat ini dalam status “darurat narkoba”.
Pemerintah diketahui hanya mengucurkan dana sebesar 1,41 triliun pada 2016 lalu. Angka tersebut seolah tak memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam perang melawan narkoba.
Dari total anggaran tersebut, 61,03 persen dialokasikan untuk pencegahan, pemberantasan serta penyalahgunaan narkoba. Sedangkan sisanya untuk program dukungan manajemen BNN. Pagu anggaran tersebut turun Rp170,21 miliar dari tahun sebelumnya.
Penurunan anggaran tersebut tidak seperti memberikan batasan buat BNN untuk melakukan pemberantasan narkoba yang terus menggurita. Karena, tak sedikit dana yang dibutuhkan untuk menggelar sebuah operasi pencegahan atau penindakkan.
Kalau melihat kenyataan di lapangan dan dibandingkan dengan upaya pemerintah dalam pemberantasan narkoba, jujur saja sepertinya masih akan sangat sulit untuk membersihkan Tanah Air dari zat adiktif tersebut.
Karena tak hanya dana yang sangat terbatas, tetapi juga masih banyak aparat keamanan yang masih menerima sogokan sehingga tidak total menjalankan tugasnya. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran.
Kalau melihat target yang ditetapkan oleh BNN pada 2011, sebenarnya sudah molor dua tahun dari rencana Indonesia bersih narkoba. BNN sempat membuat program Indonesia bersih narkoba pada 2015 kemarin.
Bukannya menurun, pengguna narkoba di Indonesia malah meningkat tajam. Penyebaran narkoba bahkan kian meresahkan. Sepertinya, masa depan Indonesia tanpa narkoba masih sulit untuk menjadi kenyataan.