Seabad Wayang Orang Sriwedari Berjuang
- VIVA.co.id/Rifki Arsilan
VIVA.co.id – Perempuan setengah baya itu mengambil posisi tak jauh dari panggung. Duduk di tempat penonton. Sesekali matanya menyapu pentas, mencuri pandang pada rekan-rekannya yang bergerak seirama, berdialog, menari dan menembang.
Mereka berlatih untuk pagelaran wayang orang Mintaraga. Dihajat untuk memperingati 107 tahun Pagelaran Wayang Orang Sriwedari, kebanggaan masyarakat Kota Solo. Di Taman Sriwedari, pagelaran wayang orang selama ini hampir setiap hari dipentaskan.
Rambut Eny Sulistyowati yang panjang dikuncir saat latihan gladi resik pementasan. Tak hanya panjang, rambut hitam tampak kontras dengan kulitnya yang putih.
Sesekali, Eny menyeka keringat di hidungnya. Latihan memang belum tuntas, namun kulit sang pelakon itu terlihat mulai memerah. Gladi resik yang menguras energi.
Wayang orang bukan hal baru bagi Eny. Menghidupkan seni klasik dan tradisi Jawa itu bahkan sudah menjadi panggilan hidup. Setidaknya begitu yang dipaparkan oleh produser Triardhika Production tersebut.
Kali ini, produksinya menyokong pementasan wayang orang yang cukup besar untuk merayakan ulang tahun Wayang Orang Sriwedari, yang biasanya menjadi hiburan rakyat secara rutin di Solo.
Eny bercerita, Triardika sudah tak terhitung memproduksi dan mendukung pementasan wayang di berbagai tempat, hanya kebanyakan dalam skala kecil karena terbentur biaya dan promosi. Namun selain di pertunjukan skala kecil, dia sendiri sudah melakon di tiga pertunjukan wayang orang yang cukup besar antara lain Opera Ken Dedes tahun 2012 kemudian pertunjukan Mahabandana pada tahun 2014.
Terbaru pementasan ulang tahun Paguyuban Sriwedari pada 25 April 2017 di Jakarta, yang mengambil kisah Mintorogo. Wayang orang ini menceritakan tentang Arjuna yang bertapa dan menyiapkan diri mengalahkan raksasa Niwoto Kawojo. Arjuna dalam Mintorogo dibantu oleh bidadari yang bernama Bidari Supraba. Eny pada pertunjukan itu, mengambil peran sebagai Supraba.
Eny bercerita bahwa berlakon wayang bukan sekadar melakukan kerja seni yang bisa ditonton banyak orang. Tantangan di masa kini, seni budaya yang sarat filosofis dan pesan moral itu harus bisa dipertahankan dan terus dihidupkan.
Salah satu pementasan wayang orang di Gedung Kesenian Jakarta. (VIVA.co.id/Nurcholis Anhari Lubis)
“Wayang itu secara filosofis memiliki nilai yang sangat tinggi dalam kehidupan manusia. Jadi apa pun yang ada di wayang itu karena wayang itu sebenarnya wewayangan atau bayang-bayang. Jadi apa yang terjadi sekarang ini sebenarnya di wayang zaman dahulu itu sudah ada, sudah dikisahkan dalam cerita pewayangan itu. Jadi itulah keunggulan filsafat wayang,” kata Eny saat ditemui VIVA.co.id beberapa waktu lalu di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta.
Selanjutnya…Empat Generasi
Empat Generasi
Dia mengungkapkan, pertunjukan wayang Sriwedari yang mampu eksis sampai saat ini menjadi bukti bahwa wayang masih bisa diterima oleh berbagai kalangan bahkan generasi muda sekalipun. Namun, promosi dan dukungan akan pertunjukan yang telah menjadi warisan budaya Indonesia oleh Badan Perserikatan Bangsa Bangsa untuk Urusan Seni Budaya atau UNESCO itu harus tetap dijaga di tengah gempuran dunia hiburan yang bisa disampaikan dari berbagai media baik televisi maupun internet.
Sementara itu, meskipun pertunjukan seni tersebut masih dipelihara, produser, penyelenggara dan pemain wayang orang biasanya tidak menghitung laba maupun rugi dalam karya mereka, asalkan pertunjukan bisa disaksikan dan pesan filosofis itu bisa tersampaikan kepada audiens.
“Kita mencoba paling tidak impaslah, ongkos produksi, biaya semuanya bisa ter-cover itu sudah cukup. Ya lumayan,” kata dia lagi.
Eny pada saat itu juga menyinggung soal sejarah paguyuban wayang orang Sriwedari, yang sudah berusia lebih dari satu abad. Sriwedari pada awalnya adalah grup keraton yang hanya menggelar pertunjukan dan menjadi tontonan keluarga kerajaan. Namun setelah itu, pertunjukan wayang orang dibawa keluar tembok keraton dan menjadi tontonan khalayak banyak.
“Pada zaman dahulu dikemas oleh pengusaha Tionghoa supaya dijadikan hiburan yang memiliki nilai jual, dijadikanlah tontonan panggung dan itu yang ada sampai sekarang. Kesenian tradisional wayang orang seperti Sriwedari ini sangat luar biasa. Tahun ini usianya 107 tahun, jadi sudah empat generasi. Itu luar biasa. Harus ada orang-orang yang intens untuk tetap menjaga itu,” kata perempuan tersebut.
Pertunjukan wayang orang Sriwedari disebut pernah merasakan puncak keemasan pada tahun 1970an. Aktor-aktor Sriwedari pada saat itu dianggap sangat luar biasa. Disebutkan ada nama-nama seperti Surono, Rusman dan Darsih.
Banyak para pemain spontan dan tidak sempat latihan sebelum pementasan. (VIVA.co.id/Fajar Sodiq)
Para pemeran wayang Sriwedari biasanya tak selalu sempat latihan lantaran dikejar tayang pertunjukan. Namun mereka bisa menyesuaikan dan mengambil peran dengan spontan dan cepat. Bayangkan saja kata Eny, wayang Sriwedari bisa dihelat setiap hari namun tak kewalahan lantaran para pelakon adalah orang-orang yang multitalenta seni mulai dari menari, menembang atau menyanyi dan berlakon. Bahkan harus bisa merias wajah sendiri.
“Setiap hari itu mereka tampil bergantian peran tapi feel-nya itu mereka bisa dapat. Itu luar biasa, saya aja sampai terheran-heran kok bisa begitu sampai sekarang,” katanya.
Selanjutnya…Dari Tembok Keraton
Dari Tembok Keraton
Seni drama pertunjukan tari wayang orang biasanya mengambil dua tema utama yaitu cerita Ramayana dan Mahabarata. Dua kisah ini merupakan kisah dari India yang lalu ditampilkan dengan pengaruh budaya lokal. Namun secara mayoritas, kisah Mahabarata dinilai yang paling banyak ditampilkan khususnya soal konflik Pandawa dan Kuraya. Pula kisah perang Bharatayudha.
Menurut situs Perpustakaan Digital Budaya Indonesia, budaya-indonesia.org, wayang orang pertama kali dipentaskan pada tahun 1760. Setelah masa pemerintahan Mangkunegara V, wayang orang lalu dipentaskan untuk masyarakat walaupun harus didapatkan dengan akses terbatas. Beberapa waktu berselang, wayang orang makin dikenal dengan adanya drama tari Langendriyan pada masa pemerintahan Mangkunegara VII yakni pada tahun 1916 hingga tahun 1944.
Salah satu pementasan wayang orang di Semarang, Jawa Tengah. (ANTARA FOTO/R. Rekotomo)
Pada masa Paku Buwono X, dimulai pertunjukan wayang orang yang bisa dinikmati masyarakat yang diselenggarakan di Balekambang, taman Sriwedari, Solo. Pada saat itu orang-orang di luar keraton juga diperbolehkan menunjukkan bakat menari melalui pertunjukan tradisional itu. Lalu wayang orang disiarkan pertama kali melalui siaran radio di Solo yakni Solosche Radio Vereeniging. Tak hanya di Solo, pertunjukan wayang orang juga digelar di Yogyakarta pada masa Sultan Hamengkubuwono VII.
Animo masyarakat atas pementasan wayang orang ternyata cukup besar. Sambutan yang hangat dari masyarakat memunculkan perkumpulan wayang orang yang awalnya digagas orang-orang yang amatir namun pada akhirnya profesional antara lain WO Sriwedari di Solo dan WO Ngesti Pandawa di Semarang. WO Sriwedari merupakan perkumpulan wayang orang komersial pertama yang berdiri pada tahun 1911 yang naik pentas secara reguler miliki Keraton Kasunanan Surakarta.
Di Jakarta, pada periode tahun 1960 hingga 1990, ada juga perkumpulan wayang orang setidaknya dicatat ada delapan paguyuban wayang orang yang pernah ada namun yang bertahan tinggal WO Bharata yang hingga kini masih “mentas” sepekan sekali di Kawasan Senen, Jakarta Pusat. Dalam perkembangan seni drama tari ini, yang tak bisa dipungkiri adanya peran warga keturunan China baik di Surakarta dan Malang yang disebutkan cukup aktif membesarkannya.
Para warga keturunan itu bergabung dalam Perkumpulan Masyarakat Surakarta (PMS) dan ikut berlatih. Mereka mengadakan pertunjukan dan mengumpulkan dana dan amal dari kegiatan itu.
Sementara Sekretariat Nasional Wayang Indonesia atau yang dikenal dengan Senawangi meyakini bahwa wayang masih diterima oleh masyarakat, tak hanya sebagai warisan budaya Jawa melainkan warisan budaya bangsa. Ketua Umum Senawangi, Suparmin Sunjoyo, mengungkapkan wayang tak sebatas falsafah hidup namun mengandung etika dan estetika. Oleh karena itu dalam tradisi wayang pertunjukan, dia mengingatkan adanya istilah bahwa wayang adalah tontonan sekaligus tuntunan.
“Dunia ini kan sebenarnya the good and the bad, yang baik melawan yang buruk yang akhirnya pasti akan dimenangkan dengan yang baik. Hanya kan tinggal di persoalan waktu saja, ada yang singkat selesai, ada yang lama atau jangka panjang. Tapi kan intinya dua, ada kebijakan yang harus dilakukan, hal-hal yang buruk tidak perlu dilakukan,” kata Suparmin kepada VIVA.co.id.
Suparmin mengakui, memelihara tradisi wayang pada masa kini bukan hal yang mudah, mengingat dukungan pemerintah belum terlalu signifikan. Meski tak dipungkirinya, ada sokongan pemerintah yang mulai meningkat belakangan ini.
Bagi Suparmin, seni drama tari wayang harus bisa mengontekskan pesan-pesan yang dimilikinya melalui media yang kekinian, antara lain tidak selalu dibawakan dalam bahasa Jawa namun bisa dengan bahasa asing. Pula bisa dipertunjukkan dengan teknologi dan pencahayaan yang lebih mutakhir sehingga pesannya bisa tersampaikan kepada generasi muda.
“Kemudian dari segi durasi waktu kita tidak perlu wayangan semalaman suntuk seperti dahulu gitu mungkin cukup satu jam, satu jam setengah atau dua jam. Malah kadang-kadang untuk tema-tema tertentu kita pernah hanya 20 menit,” katanya. (ren)