Boleh Salah, Dilarang Bohong
- ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf
VIVA.co.id – Hari masih pagi. Jam di dinding masih menunjuk angka sembilan. Namun, ruangan seluas lapangan bulutangkis yang berlokasi di bilangan Cikini, Jakarta Pusat ini sudah ramai.
Puluhan orang terlihat sibuk. Mereka duduk di kursi, melingkari meja kayu berbentuk bundar dengan komputer jinjing (laptop) di atasnya. Sementara itu, sisanya duduk menghadap meja panjang. Tak ada yang istimewa di ruangan ini. Hanya terlihat deretan meja dan kursi serta LCD dan televisi.
Tulisan Indikator Politik Indonesia tampak menghias dinding ruangan yang didominasi warna putih. Sesekali, suara dering telepon terdengar memecah keheningan gedung dua lantai yang dijadikan kantor oleh lembaga survei ini.
Sisanya, hanya suara obrolan pria dan wanita berseragam serta keyboard laptop yang ditekan. "Hallo, apakah sudah dimulai proses perhitungan di sana," ujar salah seorang wanita yang duduk menghadap meja bundar.
“Jadi ini meja call center dan input data kita. Mereka nanti yang akan menghubungi tim kita yang di TPS (Tempat Pemungutan Suara). Baru kemudian mereka memasukkan data. Nanti data diolah di bagian database dan statistik kita,” kata salah seorang peneliti Indikator Politik Indonesia, Hendro Prasetyo sambil menunjuk puluhan pria dan wanita yang khusyu memantau layar laptop, Rabu 15 Februari 2017.
Menurut dia, data untuk hitung cepat atau quick count akan mulai masuk sekitar pukul 13.00 WIB, setelah TPS tutup. Sementara itu, untuk menghitungnya bisa sampai malam hingga data masuk seratus persen.
Metodologi dan Akurasi
Peneliti Indikator lainnya, Mohammad Adam Kamil menjelaskan, pada dasarnya, metode yang mereka gunakan tidak jauh berbeda dengan metodologi yang digunakan oleh lembaga survei lain.
“Metodologi yang kami gunakan baik itu exit poll maupun hitung cepat tidak berbeda,” ujarnya.
Menurut dia, kalau exit poll itu petugas menanyai orang yang baru keluar dari TPS, sehingga bisa berbicara banyak dengan pemilih. Sementara itu, kalau quick count hanya bisa melihat berapa perolehan suara total di TPS.
Layar menampilkan input data Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta di Hotel Bidakara, Jakarta, Jumat, 17 Februari 2017. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
“Kalau exit poll kami bisa menanyakan lebih jauh, mengapa alasan memilih salah satu calon. Kemudian bagaimana efek sosial dari kegiatan kampanye sebelumnya, ekspose media, basis dukungan partai dan lain sebagainya. Jadi lebih luas,” dia menambahkan.
Metodologi exit poll, dari tiap TPS ditentukan range waktunya. Misalnya ada dua orang responden yang akan dipilih, laki-laki dan perempuan.
“Jadi misalnya, dari range waktu sekitar 07.00–10.00 itu kami bagi dua range waktunya," ujar dia.
Pukul 07.00 hingga 08.30 WIB itu akan ditentukan random untuk memilih responden pertama. Dari 08.30 hingga 10.00 WIB random lagi. Jika random pertama untuk responden perempuan, pada random kedua itu laki-laki.
Jadi, dalam satu TPS ada dua stage, satu untuk exit poll, satu lagi untuk quick count. “Nah, untuk quick count kami pakai metode stratified cluster. Semua pemilih atau suara sah di TPS itu menjadi sampel kami, jadi seperti itu metodologinya,” ujar dia.
Adjie Alfarabi menyampaikan hal senada. Menurut peneliti senior Lingkaran Survei Indonesia (LSI) ini, dalam melakukan survei mereka akan melibatkan responden.
”Untuk survei kami melakukan wawancara secara langsung dengan tatap muka dan juga menggunakan kuisioner. Metode pengambilan samplingnya multistage random sampling. Jadi, itu gabungan antara stratified random sampling sama cluster,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 16 Februari 2017.
Menurut dia, exit poll itu sebetulnya seperti survei. Kalau survei menanyakan pendapat pemilih yang ada di rumah. Sementara itu, exit poll menanyakan pemilih yang ada di TPS.
Selanjutnya, quick count hanya mengambil data riil di TPS. “Jadi quick count dan exit poll dilakukan di waktu dan hari yang sama. Kalau quick count cuma liat hasil perolehan suara di TPS. Kalau exit poll kami wawancara pemilihnya setelah keluar TPS,” dia menambahkan.
“Sering kali ada selisih data dari hasil exit poll dengan quick count. Alasannya, karena kalau exit poll pas pemilih keluar masih ada bias. Dia bilang saya tadi milih A, itu bisa jadi ingin mengaburkan pilihan aslinya, ternyata milih B, atau C," ujar Direktur Komunikasi Publik Poltracking, Ahmad T.W. Wibowo, Rabu, 15 Februari 2017.
Tapi, quick count tidak bisa. Karena yang dilaporkan hasil perhitungan resmi yang ditandatangani panitia Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan saksi. "Itulah yang dilaporkan dan tidak akan ada bias lagi,” tuturnya.
Wibowo mengatakan, sebelum menggelar quick count, yang harus dilakukan adalah memastikan metodologinya sudah teruji. Ia mengklaim, metode cluster stratified random sampling selalu digunakan dalam quick count oleh semua lembaga survei.
Untuk itu, ketika sudah menentukan metodologi, mengaplikasikannnya di lapangan mulai dari menentukan sampling harus hati-hati dan teliti. Karena kalau tidak, bergeser sedikit saja akan sangat berpengaruh.
“Jadi, teknis statistiknya harus benar-benar diperhatikan. Dengan dua hal itu keakuratan hasil quick count bisa dijamin. Ini science statistik, ilmu yang sudah terbukti ilmiah,” dia menjelaskan.
Namun, ia mengakui, kadang ada selisih jauh antara hasil quick count dan penghitungan KPU. Menurut dia, hal itu karena biasanya ada kendala dalam melaporkan data.
Ketika datanya diolah, sebelum semua data masuk, akhirnya hasil datanya jomplang. Tak sesuai dengan ekspektasi statistik yang direncanakan. “Tapi kalau misal tidak ada kendala operasional, ya hasil quick count tak jauh berbeda dengan penghitungan resmi KPU,” tuturnya.
Biaya dan Tahapan
Mohamad Adam Kamil menuturkan, sebelum melakukan survei, yang harus disiapkan adalah data sampling frame. Sampling frame adalah data populasi keseluruhan.
“Jadi bukan hanya data-data dari KPU. Kalau data KPU kan jumlah TPS, DPT, dan lain sebagainya. Tapi ada data-data pendukung lainnya yang kami sebut istilahnya sampling frame,” ujarnya.
Ia mengatakan, untuk mendapatkan hasil yang optimal, mereka membutuhkan sampling frame yang bagus. Sampling frame itu adalah daftar anggota populasi yang akan dijadikan sampel. Dan itu yang harus dilakukan di awal.
“Ketika memiliki sampling frame, maka kami dapat melakukan sampling sesederhana mungkin, lebih terkontrol, lebih akuntabel, dan lain sebagainya,” ujarnya.
Setelah itu, baru merekrut petugas di lapangan. “Untuk DKI kami turunkan 400 orang di 400 TPS. Untuk Banten diturunkan di 300 TPS, dan beberapa wilayah lain itu 300 TPS. Hanya di Kabupaten Kampar itu 200 TPS,” kata Adam.
Petugas KPPS menghitung suara Pilkada DKI Jakarta di TPS 27, Kebagusan, Jakarta, Rabu, 15 Februari 2017. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Senada, menurut Alfarabi, sebelum melakukan quick count adalah menentukan samplingnya dulu. Membuat berapa jumlah responden yang akan dipakai. Kemudian membuat sampling dari jumlah responden yang sudah ditentukan.
“Kemudian kami rekrut surveyor. Kami berikan pelatihan, mereka disuruh wawancara, kemudian kan ada quality control seperti check and witness-nya,” ujarnya.
Menurut dia, kalau quick count biayanya sekitar Rp200 juta, tergantung dari jumlah TPS. Semakin banyak TPS bisa semakin besar. “Kami kemarin kan 350 TPS dari total 13 ribu TPS,” kata dia.
Tim yang diturunkan sesuai dengan jumlah TPS yang akan diambil datanya. “Kalau misalkan ada 350 TPS, ya berarti kurang lebih ada 350 orang yang kami turunkan untuk tugas lapangan," ujarnya.
Jumlah tersebut ditambah dengan tim yang ada di atasnya seperti koordinator, spot center, dan sebagainya. "Mungkin sekitar 400 sampai 450 orang,” tuturnya.
Jika pada Pilkada DKI, LSI memantau 350 TPS, Poltracking menjaga sekitar 400 TPS. Wibowo mengatakan, setiap TPS dijaga seorang surveyor. Karena, menurut dia, kunci quick count itu ada dua. Pertama, relawan di TPS atau di sampel yang dikumpulkan dan pengumpulan data melalui IT serta diumumkan ke publik.
Menurut dia, hasil quick count mendekati hasil penghitungan KPU karena menggunakan metode cluster stratified random sampling atau mengambil sampel di seluruh wilayah proporsional dan itu mewakili data faktual yang ada di TPS. Quick count tidak lagi mewakili persepsi publik, tapi mewakili data faktual yang ada di seluruh TPS.
“Makanya hasil quick count selalu tidak luput dari hasil yang diumumkan KPU, tidak akan jauh bedanya. Makanya margin of error-nya kurang lebih 1 persen,” ujarnya.
Ia mengatakan, persiapan atau tahapan yang dilakukan sebelum menggelar quick count tidak rumit. Pertama, harus tahu data TPS resmi dari KPUD. Setelah dapat data TPS, kemudian melakukan pengacakan sampling.
“TPS mana yang akan dijadikan sampling yang merepresentasikan keseluruhan populasi TPS dengan sampel yang kami tentukan. Dari sampling yang kami tentukan, diukur margin of error-nya,” dia menerangkan.
Misalnya DKI 400 TPS. Dihitung margin of error-nya, kira-kira rata-rata 400 TPS ada berapa populasi dengan total pemilih DKI yang tujuh juta lebih itu dihitung secara statistik. Nah, dari situ ditentukan margin of error-nya kurang lebih satu persen.
“Setelah itu kami lakukan training terhadap surveyor yang nanti akan ditugaskan ke TPS, bagaimana cara mereka melaporkan perolehan suara dari TPS ke pusat tabulasi data," tuturnya.
Surveyor akan mengirimkan datanya lewat SMS, nanti akan dijadikan grafis. Secara otomatis, akan ketahuan berapa perolehan suara di pilkada.
Murah dan Mudah
Alfarabi mengatakan, quick count problemnya lebih kecil dibanding survei. Karena, quick count hanya datang untuk mengambil data, tidak melakukan wawancara.
Sementara itu, kalau survei harus melakukan wawancara terhadap pemilih. “Kadang kami sulit menjumpai responden yang harus diwawancara. Kalau quick count lebih pasti kan. Tinggal cari TPS, kemudian mereka datang dan mengambil data. Lebih sulit survei dan lebih mudah quick count,” ujarnya.
Pendapat senada disampaikan Wibowo. Menurut dia, tak ada kendala yang berarti saat menggelar quick count.
“Mudah, kami kan sudah dapat data resmi dari KPUD terkait seluruh TPS yang ada. Kemudian, diacak dengan metode yang kami pakai. Nah, nanti sampel akan diambil di TPS-TPS itu yang akan didatangi oleh para surveyor,” ujarnya.
Petugas KPPS melakukan penghitungan perolehan suara Pilkada Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Tahun 2017 di TPS 09 Kelurahan Kebon Manggis, Jakarta, Rabu, 15 Februari 2017. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
Pengambilan sampel untuk quick count juga relatif tak ada masalah. Karena, sampel yang diambil dan dilaporkan mewakili data resmi di masing-masing TPS, sehingga biasnya relatif tidak ada.
Terkait anggaran, Wibowo mengatakan, tergantung luas wilayah, jumlah penduduk dan faktor lainnya. Tapi menurut dia, budget untuk gelar quick count relatif sama untuk semua lembaga survei. Sebab, mereka menanggung budget operasional surveyor dan transportasinya.
Semakin daerahnya mudah diakses, maka semakin murah. Tapi, untuk daerah yang topografi wilayahnya susah dijangkau, anggarannya akan membengkak untuk biaya transportasi.
“Namun, nilainya tak sampai miliaran rupiah, masih di bawah angka Rp500 juta. Paling untuk instrumen IT, SMS, server, dengan 400 surveyor di 400 TPS, kali saja berapa biaya transpornya,” ujar dia.
Menurut dia, lembaga survei harus menjaga kepercayaan publik. Ketika menyampaikan data, harus data apa adanya.
Ia mengatakan, lembaga survei boleh keliru terkait metodologi, soal teknis data yang tidak masuk, sehingga ada cacat metodologi. Tapi, lembaga survei tidak boleh bohong.
“Salah dan bohong kan beda. Lembaga survei itu seperti klinik, misalnya datang cek kolesterol, maka akan diberi hasilnya. Contoh 200. Kan tidak bisa diminta 150. Itu melanggar prinsip,” kata dia.
Hari menjelang malam. Satu demi satu orang-orang berseragam ini beranjak dari kursinya dan meninggalkan ruangan. Sementara itu, sisanya memilih menunggu hujan yang mengguyur Jakarta usai pilkada. (art)
Baca juga: