Gus Solah: Khotbah Jangan Dipakai Kampanye Khilafah
- VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi
VIVA.co.id – Publik riuh gara-gara wacana sertifikasi ulama dalam sebulan terakhir. Wacana itu segera diklarifikasi Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, bahwa sesungguhnya bukan sertifikasi ulama tetapi standardisasi penceramah, terutama penceramah atau khotib salat Jumat.
Ide standardisasi itu sebenarnya aspirasi sejumlah ormas Islam, yang kemudian disampaikan Kementerian Agama. Pada pokoknya, ormas-ormas Islam turut berperan menjamin kualitas khotbah Jumat, yang belakangan dirasa banyak melenceng dari syarat dan rukunnya.
Menurut menteri agama, berdasarkan aspirasi ormas Islam, belakangan berkembang fenomena ceramah atau khotbah Jumat yang substansinya lebih banyak hasutan, mencela kelompok lain, caci-maki, dan bahkan provokasi pada radikalisme atau ekstremisme. Padahal, esensi khotbah Jumat sebetulnya adalah wasiat atau ajakan kepada umat untuk lebih bertakwa.
VIVA.co.id mewawancarai Pengasuh Pesantren Tebu Ireng di Jombang, Jawa Timur, Salahuddin Wahid alias Gus Solah untuk mengetahui pendapatnya tentang rencana standardisasi penceramah itu. Dia juga adik mendiang mantan Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid.
Berikut ini petikan perbincangan VIVA.co.id dengan Gus Solah yang ditemui di kediamannya di kompleks Pesantren Tebuireng pada Rabu 8 Februari 2017:
Belakangan ini banyak ulama resah dengan munculnya gagasan sertifikasi ulama. Bagaimana tanggapan Anda?
Menurut penjelasan menteri agama, itu bukan sertifikasi ulama, tapi standardisasi materi khotbah Jumat. Dan itu baru wacana, sedang mencoba melakukan diskusi dari berbagai pihak untuk memperoleh masukan, setelah itu mungkin baru akan diambil langkah-langkahnya seperti apa. Nah, standardisasi itu belum tahu juga saya seperti apa. Apakah standardisasi syarat untuk menjadi khotib harus dipenuhi atau tidak, kemudian siapa yang menentukan, saya juga belum tahu.
Menurut menag, usulan ini muncul karena khotbah Jumat yang esensinya memberikan ajakan untuk bertakwa, tapi kini banyak yang diisi dengan hal-hal saling mencela, caci-maki, dan menyalahkan.
Sejauh ini, kan, mungkin ada ormas-ormas atau organisasi dai, saya tidak tahu namanya apa (organisasi dai itu), atau organisasi lain (yang mengusulkan itu), tapi saya tidak tahu soal itu. Tapi yang penting kita ingin khotbah itu memberikan informasi yang baik, yang jelas, dan yang benar. Katanya, ada orang yang jadi khotib membaca Alquran saja tidak bisa. Bacanya Alquran yang huruf latin, ini kan, bagaimana.
Tetapi ada juga yang berpendapat sertifikasi ulama ini diperlukan, karena munculnya indikasi gerakan yang berpotensi memecah belah persatuan bangsa, menurut Anda?
Itu harus dijelaskan, memecah-belah itu seperti apa. Jangan bikin rumusan yang multitafsir. Semua jelas, tegas. Tidak boleh ngomong saling menyerang di masjid, itu kan jelas. Tidak boleh men-takfiri orang lain, tidak boleh menyerang amaliyah orang lain, harus jelas seperti itu. Yang namanya politisasi seperti apa? Yang namanya toleransi dan tidak toleransi itu seperti apa? Yang namanya radikal seperti apa? Harus jelas. Jadi, tidak menimbulkan tafsir lagi.
Menurut Anda, perlukah sertifikasi untuk semua ulama atau hanya ulama yang jadi khotib Jumat saja?
Tidak tahu, karena baru wacana.
Jika wacana itu disetujui, siapa yang berhak dan bisa melakukan sertifikasi?
Nah, kalau iya, katakanlah ada standardisasi (khotbah Jumat), bagaimana standarnya, siapa yang mengeluarkan, kalau orang tidak memenuhi standar itu boleh jadi khotib atau tidak, sampai sekarang belum jelas. Kita juga tidak ingin materi khotbah itu menimbulkan masalah. Jangan sampai dipakai untuk tujuan-tujuan yang tidak benar. Untuk pilkada atau politik lebih hati-hati dan disampaikan di forum lain. Khotbah Jumat dan Idul Fitri janganlah.
Siapa saja yang bisa ikut sertifikasi dan bagaimana mekanisme sertifikasinya?
Saya tidak tahu juga karena begitu banyak organisasi (yang di dalamnya ada ulama atau kiai) dan masing-masing merasa paling berhak. Sejauh itu jelas, misalnya, organisasi A yang mengeluarkan (sertifikasi atau standardisasi) dan dikeluarkan melalui proses yang jelas, sehingga bisa diketahui bahwa orang yang diberi izin (berkhotbah) oleh organisasi ini adalah orang yang layak.
Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah), saat berkunjung ke kantor Redaksi Viva.co.id, Jakarta, Kamis (10/09/2015). (VIVA.co.id/Anhar Rizki Affandi)
Apa saja yang harus dinilai dalam proses sertifikasi tersebut?
Seperti dijelaskan di atas, orang yang layak. Layak itu luas pengertiannya. Dia memahami agama dengan benar, dia bisa membaca Alquran dengan benar, dia mempunyai pengetahuan yang cukup. Mungkin dia menguasai ilmu agama dengan baik, tapi kemudian mengambil tema yang tidak tepat. Misalkan, menyerang agama lain atau kelompok lain di dalam satu agama. Padahal kita ketahui banyak mazhab, banyak kelompok yang berbeda-beda. Nah, ini jangan saling menyerang atau menyerang agama lain.
Selain itu, tentunya disampaikan dengan ucapan yang baik, bukan dengan kata-kata yang kasar. Mendidik dan memberi informasi, syukur-syukur kalau bisa mencerahkan. Intinya (isi khotbah) itu mampu memberi pengetahuan agama, menambah pengetahuan agama, atau mengingatkan kembali tentang agama.
Katakanlah sertifikasi atau standardisasi ada, seperti sertifikasi guru, tapi mutu mendidiknya banyak yang bilang tidak terjamin. Menurut Anda?
Soal guru, tidak kemudian yang memegang sertifikasi kemudian lulus ujian kompetensi guru. Belum tentu itu. (Sertifikasi guru) itu kan lebih pada memenuhi persyaratan-persyaratan administrasi. Sekarang ada namanya uji kompetensi guru, itu bukan sertifikasi. Artinya kalau sertifikasi guru itu, yang tidak bersertifikasi bisa lebih baik, lebih bermutu.
Artinya ulama yang tidak bersertifikasi bisa lebih baik juga, kan?
Ya, bisa saja diartikan begitu. Tapi, kan, belum tahu seperti apa caranya.
Banyak yang menuding sertifikasi merupakan bentuk intervensi pemerintah terhadap syiar Islam. Betulkah?
Belum tahu saya soal itu.
Dulu pernah ada tidak semacam sertifikasi ulama seperti wacana sekarang?
Kalau sertifikasi tidak ada, tapi kalau tahun 1970-an yang berkaitan dengan kampanye, ada orang kampanye diturunkan dari podium, terutama yang antipemerintah. Jadi tidak ada (sertifikasi ulama).
Dulu pernah ada hasil bahtsul masail bahwa khotbah yang provokatif boleh diinterupsi.
Sebaiknya dicegah (jangan interupsi). Kalau tidak bisa ribut antarjemaah. Kita hanya mengimbau khotib tidak menyampaikan hal yang menimbulkan masalah. Sesedikit mungkin hal-hal yang seperti itu dihindari.
Apakah ini juga bisa jadi tugas tambahan bagi takmir masjid untuk menyeleksi khotib?
Mestinya begitu. Cuma kalau di Jombang tidak ada masalah, banyak khotib muda-muda yang bisa diundang. Tapi kalau kayak di kota-kota besar seperti di Jakarta itu, kan, tidak mudah juga mencari khotib.
Apakah ini mestinya jadi tugas organisasi keagamaan menyiapkan khotib yang tepat?
Ya, tentunya. Seperti NU (Nahdlatul Ulama), misalnya, punya lembaga dakwah NU. Saya tidak tahu apakah lembaga dakwah NU menyiapkan khotib atau tidak.
Apa harapan Anda terkait ide sertifikasi ulama ini?
Saya belum tahu, karena itu baru ide. Yang jelas, (khotbah) jangan saling menyerang kelompok lain dalam satu agama yang pemahamannya berbeda. Sekarang ini banyak yang menyerang ide ini, menyerang praktik ini, praktik itu, janganlah. Selain itu, jangan menyebarkan hal-hal yang tidak jelas benar atau tidak benarnya, harus informasi yang betul-betul akurat.
(Khotbah) Tidak boleh dipakai untuk menyerang secara politik. Janganlah juga dipakai untuk kampanye khilafah, kampanye negara Islam, itu sudah lewat. Itu ada tempatnya sendiri. Mimbar Jumat itu yang menyangkut agama secara langsung, seperti akidah, amalan-amalan yang baik, akhlak, hal-hal semacam itu menurut saya. Artinya yang penting materi khotbah dan bahasanya. (umi)