Memilih untuk Mengabdi
- VIVA.co.id/Purna Karyanto
VIVA.co.id – Puluhan anak usia belasan tampak duduk, mengelilingi meja kayu berbentuk huruf U. Mereka terlihat terlihat khusyuk, menghadap ke depan, mengungkapkan papan tulis yang menempel di dinding. mencapai, tawa mereka terdengar, memecah kesunyian desa. Seorang perempuan berhijab sibuk berbincang dengan mereka, terlihat akrab dan dekat.
Anak-anak usia belasan ini merupakan siswa dan siswi kelas I SMP Nahdatul Wathan . Sementara, perempuan usia dua puluhan dengan gamis ungu dan jilbab motif kembang yang berdiri di depan adalah Heni Sri Sundani, guru mereka.
Berbeda dengan sekolah pada umumnya, anak-anak ini tidak belajar di ruangan tertutup, melainkan di ruang terbuka. Tak ada pintu dan jendela di ruang kelas seluas lapangan bulu tangkis ini. Juga tak ada foto Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Presiden Jokowi. Hanya ada deret meja dan kursi. Sisanya, hanya papan tulis dan brangkas yang terlihat tua dimakan usia serta foto para pendiri pondok pesantren yang terletak di Kampung Saitem, Desa Ciburayut, Cigombong, Bogor ini.
“Oke. Jadi siapa yang akan maju duluan,” ujar Heni memecah keheningan. Ruang kelas sontak riuh karena ulah siswa yang saling tunjuk. Namun, suasana tenang setelah beberapa siswa dan siswi maju ke depan. Tak lama, mereka langsung membacakan sebuah cerita. Pagi itu, anak-anak petani tersebut sedang belajar Bahasa Indonesia.
Heni Sri Sundani, penggagas Gerakan Anak Petani Cerdas. (VIVA.co.id/Purna Karyanto)
“Bu Heni sudah mengajar di sini sejak tahun 2014,” ujar Yudi Hermawan (38) kepada VIVA.co.id , Rabu, 12 Oktober 2016. Kepala Sekolah SMP Nahdatul Wathan ini menuturkan, selain Bahasa Indonesia, Heni juga mengajar teknologi informasi (TI ) dan pertanian. Yudi mengatakan, dalam sepekan, Heni mengajar dua kali.
Menurut Yudi, Heni mengajar secara sukarela, alias tidak dibayar. “Dia ga mau digaji. Sebaliknya, Ibu Heni malah memberi beasiswa kepada siswa dan guru di sekolah ini,” ujar jebolan Fakultas Adab, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta ini. Tak hanya itu, Heni juga membantu proses pembangunan ruang kelas dan mengurus tanah wakaf.
Hari menjelang siang. Heni mengajak anak didiknya untuk turun ke sawah yang bertahan berada di samping kelas. Dia langsung meminta para siswa menanam daun bawang. Dengan cekatan dia memberi teori dan menunjukkan cara menanam dan merawat daun bawang. “Ada yang tahu cerita Bawang Merah dan Bawang Putih?” ujar Heni bertanya. Anak-anak petani ini pun berlomba mengacungkan jari.
Gerakan Anak Petani Cerdas
Mengajar anak-anak petani merupakan bagian dari keseharian Heni. Penggagas Gerakan Anak Petani Cerdas ini sudah menjadi guru bagi anak-anak kurang mampu sejak 2011 lalu. Usai kuliah selesainya di St.Mary's University, Hong Kong, Heni memilih pulang ke kampung halamannya di Ciamis, Jawa Barat.
Mantan Tenaga Kerja Wanita (TKW) ini miris melihat kondisi kampungnya. Berbekal buku-buku yang dibawa dari Hong Kong, Heni perpustakaan di rumah orangtuanya. Dan itu menjadi perpustakaan pertama di kampungnya. Berawal dari perpustakaan itu, banyak anak-anak petani yang mau belajar, mulai dari mengerjakan pekerjaan rumah (PR), membaca buku, bermain hingga belajar komputer gratis.
Aktifitas itu ia melanjutkan saat pindah ke Bogor pada 2012. Di Kota Hujan ini ia sempat mengajar di sekolah swasta elite dengan gaji selangit. Namun, ia meninggalkan sekolah mewah itu dan memilih anak-anak.
Penggagas Gerakan Anak Petani Cerdas ini sudah menjadi guru bagi anak-anak kurang mampu sejak 2011 lalu. (VIVA.co.id/Purna Karyanto)
Awalnya, Heni dan suaminya ingin menjenguk asisten rumah tangganya yang sedang sakit. Namun, kagetnya mereka saat melihat kondisi keluarga dan masyarakat tempat ART tinggal. “Dari bibi yang bekerja pada kami menyadarkan kami bahwa banyak sekali warga kampung sekitar yang hidup tidak layak,” ujar Heni.
Menurut dia, sebagian besar ibu-ibu bekerja sebagai pembantu rumah tangga di perumahan. Sementara para suami bekerja sebagai buruh tani, tukang ojek atau buruh kasar dengan upah murah. “Dan yang membuat aku sedih adalah banyak di antara mereka yang tinggal di rumah-rumah reot yang dibangun hingga tiga keluarga. Padahal satu keluarga memiliki tiga hingga sebelas anak,” tambahnya.
Sementara itu, anak-anak kampung berlatih dan berlari dengan kaki dan baju yang lusuh bahkan robek. melihat kondisi tersebut Heni dan interaksinya melakukan sesuatu untuk membantu mereka. Lalu, digagaslah sebuah langkah untuk mendidik dan memberikan pendampingan belajar kepada anak-anak petani miskin yang kemudian nama Gerakan Anak Petani Cerdas.
Awalnya 'sekolah' yang diselenggarakan tiap akhir pekan itu dilakukan di rumah Heni. Karena rumah Heni kecil, proses belajar mengajar dilakukan di garasi dengan peralatan seadanya. “Karena ga ada papan tulis, saya pernah menggunakan kardus untuk proses belajar mengajar,” ujar peraih penghargaan Guru Inspiratif ini.
Proses belajar kemudian mengajar dilakukan dari kampung ke kampung. Proses belajar mengajar, dilakukan di saung, musala atau di rumah-rumah warga. “Saya kemana-mana membawa tas besar berisi buku dan alat tulis. Sementara suami nenteng white board ,” ujar peraih Top 300 Young Leader Asia versi Forbes 2016.
Heni menerapkan metode pendidikan Fun Learning By Doing, di mana anak-anak diajak belajar dengan bermain kuis atau permainan edukasi lainnya. Sehingga mereka diharapkan mendapatkan pengalaman belajar yang menyenangkan dan memahami mengapa belajar itu penting. Ada tiga pelajaran penting yang diajarkan. Pertama, kemampuan berbahasa, literasi , dan kemampuan mengasah logika seperti matematika, bisnis, dan lain-lain. “Selain itu, anak-anak petani ini kami bekali dengan kemampuan komputer, pertanian, pertanian dan perkebunan,” dia menjelaskan.
Selain itu, anak-anak tersebut juga diajarkan bahasa daerah agar tidak mengandung kearifan lokal. Selain itu, juga ditanamkan motivasi dan pendidikan karakter. “Aku selalu menanamkan kepada mereka, bahwa pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk memutus mata rantai kemisi. Mereka bisa mendapatkan kehidupan yang lebih layak melalui pendidikan. Dan saya sudah membuktikan itu.”
Komunitas Agroedu Jampang
Heni menerapkan metode pendidikan Fun Learning By Doing sehingga diharapkan mereka mendapatkan pengalaman belajar yang menyenangkan. (VIVA.co.id/Purna Karyanto)
Dengan metode pendidikan yang menitikberatkan pada pengalaman belajar yang menyenangkan, pekan-pekan berikutnya Heni kewalahan karena kebanjiran murid. Salah satu daya tarik, karena Heni selalu memberikan alat tulis gratis kepada semua anak yang ikut belajar. Selain alat tulis, anak-anak juga mendapatkan makanan sehat seperti susu,roti dan buah setelah usai pelajaran. “Karena di kampung yang kami datangi banyak sekali anak-anak yang menderita gizi buruk dan kekurangan gizi,” ujarnya.
awalnya, hanya ada 15 anak yang ikut belajar. Seiring berjalannya waktu, saat ini ada sekitar 1500 anak petani dari berbagai kampung yang ikut program Gerakan Anak Petani Cerdas. Lama terbakar Heni dan suaminya keteteran. Berangkat dari kondisi tersebut, akhirnya Heni membuat sebuah komunitas yang diberi nama Agroedu Jampang. Heni berharap, komunitas ini bisa menjadi wadah bagi para petani dan keluarganya untuk sama-sama mendapatkan edukasi, melatih kemandirian, akses kepada layanan kesehatan dan sosial agar bisa hidup lebih baik.
Komunitas ini kemudian berkembang. Tak hanya pendidikan, namun juga menggarap program pemberdayaan ekonomi, kesehatan dan sosial. “Karena kami tidak bisa menutup mata dengan kondisi warga kampung yang berada di bawah garis kemiskinan,” ujar peraih Top 30 Social Entrepreneur Asia dari Forbes Internasional ini.
“Kini bukan hanya anak petani yang saya, suami dan para relawan dampingi, tetapi akan ada juga anak pembantu rumah tangga, anak TKI, anak tukang ojek, anak pemulung bahkan anak penambang pasir pembohong.”
Memilih untuk Mengabdi
Tiba-tiba Heni mengakhiri wawancara. Kedua matanya langsung memerah dan menitikan air mata. Kepalanya menunduk. Ia berusaha berusaha dan mengusap air mata dengan kedua lawannya. Tak lama kemudian terdengar ia menangis sesenggukan. “Saya cuma ga mau anak-anak mengalami nasib yang sama dengan saya mas,” ujarnya dengan suara serak.
“Aku memberi bukan karena aku memiliki banyak. Tapi karena aku tahu bagaimana rasanya tidak memiliki apa-apa. Aku bukan karena aku punya segalanya, tapi karena aku tahu bagaimana rasanya berjuang sendiri,” ia menambahkan.
Ia mengaku berasal dari keluarga tak mampu. Sejak kecil hanya diasuh oleh nenek yang dipanggilnya Emak, karena orangtuanya bercerai dan ibunya bekerja di luar kota. Tiap hari dia harus berjalan selama satu jam untuk bisa ke sekolah. “Sekolah yang harus aku tempuh satu jam perjalanan dengan berjalan kaki. Lewati jalanan tanah, cari sawah, empang dan perkebunan karet yang gelap,” ujarnya mengenang.
Heni mengaku senang bisa sekolah. “Karena tidak semua anak kampung bisa dibeli, terlebih anak buruh tani miskin seperti aku,” ujarnya getir. Ia merasa beruntung. Meski selama sekolah SD hanya memiliki satu pasang seragam dan sepatu yang kerap basah karena kehujanan.
Ia mengaku sedih setiap gurunya memberi PR. Bukan karena saya ingin mengerjakan, tapi sulit kalau harus mengerjakan malam hari. Pasalnya, sepulang sekolah ia harus membantu neneknya mengumpulkan kayu bakar untuk memasak di rumah juga ditukar dengan beras jika kayu yang didapatkan lumayan banyak. “Aku dan nenek tidak bisa hanya mengandalkan uang kiriman ibu yang bekerja sebagai buruh pabrik di Bekasi,” ujarnya.
Selain itu, di kampungnya saat itu belum ada listrik sehingga jika PR tidak selesai di siang hari, maka ia harus mengerjakannya di tengah temaram. Lampu minyak yang harus dijaga dengan tangan tanpa jemari neneknya agar tidak mati tertiup angin. “Aku sangat sedih kalau harus merepotkan Emma. Tapi yang membuatku lebih sedih adalah saat sampai di sekolah, ibu guru sering kali tidak masuk karena berbagai alasan,” ujarnya.
Selain itu, pengalaman yang tak pernah dia rasakan adalah saat istirahat. Jika kawan-kawannya berlarian ke kantin untuk jajan, Heni memilih memilih di gudang. Selain karena tak punya uang, di gudang bekas perpustakaan itu ada sejumlah buku yang masih bisa dibaca. “Di gudang tua itulah aku berkeliling Indonesia melalui buku-buku Sutan Takdir Alisjahbana , AA Navis , Pramoedya Ananta Toer , Petualangan Huckleberry Finn , hingga NH Dini. Dari buku NH Dini inilah aku tahu bahwa di luar kampungku ada satu negara indah yang bernama Paris. Dari buku NH Dini pula aku bercita-cita naik pesawat,” ujarnya sambil tersenyum.
Setelah tamat SD dengan nilai Ujian Nasional tertinggi di sekolahnya. Heni memutuskan melanjutkan sekolah ke jenjang berikutnya. “Aku memilih melanjutkan sekolah ke SMP. Pilihan yang tak biasa bagi anak miskin di kampungku saat itu,” ujarnya.
Berbekal uang pesangon ibunya, Heni mendaftar ke SMP yang berada di kecamatan. Sekolah yang jaraknya dua kali lipat lebih jauh dibandingkan SD di desa. Namun tekad Heni sudah bulat. Dia harus menempuh perjalanan selama dua jam berjalan kaki saat berangkat sekolah dan dua jam saat pulang. “Karena Ibu dan Emak jarang sekali memberiku uang saku, setiap hari aku membawa bekal ke sekolah. Meski hanya nasi dan lauk seadanya, tapi bekal itu bisa mengganjal perutku selama di sekolah,” kisahnya.
Sama seperti di SD. Saat tiba dan teman-temannya berlarian ke kantin sekolah untuk jayan, Heni memilih untuk istirahat ke musala untuk melakukan salat Dhuha. "Saat salat Dhuha doa ku cuma satu, aku ingin punya uang jajan," ujarnya sambil mengusap air matanya yang kembali menggenang.Heni memilih, pergi ke musala untuk melakukan salat Dhuha . “Saat salat Dhuha doa ku cuma satu, aku ingin punya uang jajan,” ujarnya sambil mengusap air mata yang kembali menggenang .
Nasib tak jauh beda dia alami saat menempuh pendidikan di SMK. Nenek dan ibunya menangis mendengar keinginannya untuk melanjutkan sekolah di kota. Sekolah yang tak mungkin bisa ditempuh dengan berjalan kaki. “Tapi tekadku untuk menjadi guru panduan keyakinanku bahwa sekolah adalah suatu keharusan. Sekolah adalah jalan untuk mencapai cita-cita yang sudah aku gantungkan di langit-langit harapan sejak lama,” ujarnya.tekadku untuk menjadi guru membimbing keyakinanku bahwa sekolah adalah suatu keharusan. Sekolah adalah jalan untuk mencapai cita-cita yang sudah aku gantungkan di langit-langit harapan sejak lama,” ujarnya.
Heni Heni akhirnya memutuskan melanjutkan sekolah di SMK. Agar bisa sekolah, dia bekerja serabutan mulai dari jadi ART, jualan jilbab hingga menawarkan jasa mengetik kepada teman-temannya. Akhirnya Heni bisa menyelesaikan sekolahnya di SMK. Namun, masalah kembali datang. “Pendidikan 9 tahun sudah berhasil aku lalui, namun masih jauh dari cita-citaku. Aku harus melanjutkan sekolahku setidaknya 4 tahun lagi untuk menjadi sarjana dan guru. Sampai di sini, aku benar-benar tidak tahu lagi harus bagaimana,” ujarnya.jilbab hingga menawarkan jasa mengetik kepada teman-temannya. Akhirnya Heni bisa menyelesaikan sekolahnya di SMK. Namun, masalah kembali datang. “Pendidikan 9 tahun sudah berhasil aku lalui, namun masih jauh dari cita-citaku. Aku harus melanjutkan sekolahku setidaknya 4 tahun lagi untuk menjadi sarjana dan guru. Sampai di sini, aku benar-benar tidak tahu lagi harus bagaimana,” ujarnya.Heni bisa menyelesaikan sekolahnya di SMK. Namun, masalah kembali datang. “Pendidikan 9 tahun sudah berhasil aku lalui, namun masih jauh dari cita-citaku . Aku harus melanjutkan sekolahku setidaknya 4 tahun lagi untuk menjadi sarjana dan guru. Sampai di sini, aku benar-benar tidak tahu lagi harus bagaimana,” ujarnya.
Akhirnya, Heni memutuskan menjadi TKW. Namun, rencana itu ditentang ibu dan neneknya. Setelah melalui proses yang sangat panjang, dari mulai merayu nenek dan ibunya hingga proses belajar di Balai Latihan Kerja selama hampir 4 bulan, Heni berhasil terbang ke Hong Kong. "Aku mendapatkan pekerjaan sebagai baby sitter ," katanya.Heni memutuskan menjadi TKW. Namun, rencana itu ditentang ibu dan neneknya . Setelah melalui proses yang sangat panjang, dari mulai merayu nenek dan ibunya hingga proses belajar di Balai Latihan Kerja selama hampir 4 bulan, Heni berhasil terbang ke Hong Kong. “Aku mendapatkan pekerjaan sebagaiHeni berhasil terbang ke Hongkong. “Aku mendapatkan pekerjaan sebagai baby sitter
“Satu tahun pertama sangat berat sekali. Belajar memahami bahasa, budaya dan juga ritme kerja di Hong Kong yang seolah tak pernah berhenti berdenyut. Meski tenggelam oleh kesibukan pekerjaanku, aku tetap mengingatku, kuliah dan menjadi guru,” ujarnya.
Heni pernah kepergok majikannya saat membaca koran di sela waktu istirahat. Majikannya langsung melontarkan kutipan yang sangat menyakitkan. Menurut majikannya, pembantu yang penting menjaga anak, memasak dan merawat rumah dengan baik. Tak perlu membaca buku baru membaca koran karena tak berguna.
“Kata-kata itu terus menjadi cambuk cinta. Tanpa sepengatahuan majikanku dengan kuliahku hari libur dan belajar di perpustakaan yang merupakan fasilitas umum di Hong Kong yang bisa diakses oleh siapa saja dengan gratis.”sepengatahuan majikanku aku hari jatah hari liburku dengan kuliah dan belajar di perpustakaan yang merupakan fasilitas umum di Hong Kong yang bisa diakses oleh siapa saja dengan gratis.”
Selesai kuliah dengan predikat cumlaudecumlaude , Heni memilih pulang ke Tanah Air. Padahal, kesempatan bekerja di Hong Kong dengan gaji besar sangat terbuka. Tak hanya itu, di Indonesia ia juga mendapat tawaran bekerja di perusahaan minyak asing dengan gaji tinggi. Namun, ia memilih menjadi guru. “Panggilan jiwa untuk kembali ke kampung halaman dan mencerdaskan anak-anak kampungku saat itu menjadi cita-cita terbesarku.” dia mantap. Heni memilih pulang ke Tanah Air. Padahal, kesempatan bekerja di Hong Kong dengan gaji besar sangat terbuka. Tak hanya itu, di Indonesia ia juga mendapat tawaran bekerja di perusahaan minyak asing dengan gaji tinggi. Namun, ia memilih menjadi guru. “Panggilan jiwa untuk kembali ke kampung halaman dan mencerdaskan anak-anak kampungku saat itu menjadi cita-cita terbesarku.” dia mantap.kampungku saat itu menjadi cita-cita terbesarku .” dia mantap.
Kegiatan yang awalnya hanya diprakarsai Heni dan suaminya, kini sudah gerakan bersama yang tersebar di lima benua. Mereka membantu mendanai kegiatan-kegiatan Heni, seperti memberikan beasiswa untuk anak-anak petani dan mantan TKI. membantu warga kampung yang sakit, mewujudkan MCK sehat di kampung, memberikan modal usaha kepada kelompok tani dan mantan TKI. Bahkan memberdayakan para pemuda kampung dan relawan.diprakarsai Heni dan suaminya, kini sudah menjadi gerakan bersama yang tersebar di lima benua. Mereka membantu mendanai kegiatan-kegiatan Heni , seperti memberikan beasiswa untuk anak-anak petani dan mantan TKI. membantu warga kampung yang sakit, mewujudkan MCK sehat di kampung, memberikan modal usaha kepada kelompok tani dan mantan TKI. Bahkan memberdayakan para pemuda kampung dan relawan .
Komunitas program yang sudah dimulai hanya di Kabupaten Bogor, menyebar di 40 kabupaten dan kota di Pulau Jawa dan Nusa Tenggara.
Waktu menjelang sakit. Heni langsung berkemas dan mengisi. Ia minta diantar ke rumah salah seorang warga. "Saya mau ambil keripik singkong dan pisang," ujarnya. Keripik itu akan ia kemas ulang untuk dijual kembali. Itu merupakan salah satu cara dia membantu ekonomi petani, juga para mantan TKI.Heni langsung berkemas dan mengisi. Ia minta diantar ke rumah salah seorang warga. "Saya mau ambil keripik singkong dan pisang," ujarnya. Keripik itu akan ia kemas ulang untuk dijual kembali. Itu merupakan salah satu cara dia membantu ekonomi petani, juga para mantan TKI.
Heni berharap, semua yang ia dan para relawan melakukan bisa mewujudkan masyarakat yang mandiri dan berdaya. Juga menumbuhkan generasi muda yang cerdas dan berkarakter. “Kepada putra putri terbaik bangsa. Saya mengajak mereka kembali ke kampung. Mari bangun Indonesia dari kampung.”