Mereka yang Terbuang
- Antara/Jessica Helena Wuysang
VIVA.co.id – Adzan subuh baru saja berkumandang. Udara pun masih terasa dingin menusuk tulang. Sementara di luar rumah, kabut tampak menggelayut di pohon dan rerumputan. Namun, kesibukan sudah terdengar dari ruang belakang. Gemericik air beradu dengan dentingan gelas dan piring yang terbuat dari beling.
Suratmi terlihat sibuk. Kepala perempuan 44 tahun itu terus menunduk. Sementara kedua tangannya dengan cekatan mencuci dan membersihkan gelas, piring dan perlengkapan makan yang menumpuk di pojok ruangan bagian belakang. Ia lalu menjerang air dan menyapu halaman. Tak lupa, ia memberi makan ayam yang mulai keluar dari kandang.
Selang setengah jam, ia kembali masuk ke rumahnya, tepatnya ruang yang memanjang dengan satu kamar di tengahnya. Ia bersama suami dan tiga anaknya sudah menempati rumah petak seluas separuh lapangan bulu tangkis ini selama tujuh bulan.
Tak ada meja dan kursi, apalagi kulkas dan televisi di rumah ini. Hanya ada karpet kumal dan tumpukan barang dagangan di pojok ruang depan. Pemandangan serupa juga terlihat dari kamar yang selalu terbuka. Tak ada lemari pakaian atau meja rias. Hanya ada koper dengan tumpukan pakaian di atasnya. Sisanya, busa tipis yang tergeletak di lantai dengan kelambu yang tampak kusam menggantung di atasnya. Sementara di ruang belakang, hanya ada kompor gas dan peralatan dapur ala kadarnya.
Menjelang siang, Suratmi keluar dengan tumpukan pita dan sedotan di nampan. Usai menggelar karpet sisa bantuan dari Kementerian Sosial, ia langsung duduk dan khusyu dengan pita dan jarum di jarinya. Pelan-pelan, ia mengiris pita berukuran sekitar 12 sentimeter tersebut jadi beberapa bagian. Pita itu kemudian ditempel di sedotan dengan selotif. Ia kemudian menarik pita itu dan membentuknya menyerupai bunga.
“Inilah pekerjaan saya sekarang mas,” ujarnya membuka percakapan saat VIVA.co.id berkunjung ke rumah kontrakannya, Rabu, 28 September 2016. Suratmi mengaku, ia kembali menekuni pekerjaan lamanya itu setelah dipulangkan dari Singkawang, Kalimantan Barat. Ini gara-gara ia tercatat sebagai bekas anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).
Dibuang dan Dikucilkan
Bunda Ratmi, demikian ia biasa disapa mengatakan, ia sudah tujuh bulan tinggal di Subang, Jawa Barat. Ia terpaksa ‘mengungsi’ setelah pihak kelurahan tempatnya selama ini tinggal memintanya angkat kaki. Kelurahan Mekarjati, Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat melarang ia dan keluarganya tinggal di sana. Tak hanya itu, Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK) nya juga diambil paksa oleh pihak kelurahan.
Setali tiga uang, sikap tak ramah juga ditunjukkan para tetangganya. Sejak ia dipulangkan dari Singkawang, tetangganya selalu menatapnya dengan curiga. Bahkan, anak-anak Bunda Ratmi tak bisa bermain dengan teman sebayanya. “Bahkan, mereka langsung menutup pintu jika anak saya mau ikut nonton televisi,” ujar ibu tiga anak ini sambal berkaca-kaca.
Berangkat dari kondisi itu, ia dan suaminya memutuskan untuk pergi dan menetap di Subang. Beruntung, suaminya punya kenalan di sana. “Dulu suami saya pernah kerja sama orang sini dan diminta bantuin ngurus kebunnya,” ujarnya menambahkan.
Suratmi tak sendiri. Tetangganya, Ucup Suharna (52) juga mengalami nasib serupa. Pria yang menjadi anggota Gafatar sejak 2011 ini harus keluar dari desanya usai dipulangkan dari Mempawah, Kalimantan Barat. “Saya dijauhi keluarga dan dikucilkan sama tetangga,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 28 September 2016.
Pria yang berprofesi sebagai perupa ini mengungkapkan, sejak Gafatar divonis sebagai aliran sesat, teman-temannya menjauh. Menurut dia, tak sedikit warga yang dulu berteman baik dengan dia menjauh dan menghindar. “Akhirnya saya memilih pindah ke sini,” ujar ayah empat anak ini.
Perlakuan yang sama juga dialami Mohamad Djarot (46). Bekas Sekretaris Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gafatar Kabupaten Subang ini mengatakan, anak-anaknya dicap sebagai anak orang sesat. Akibatnya, anak-anaknya tak bisa bermain dan dijauhi oleh teman-temannya. “Itu kan yang membuat saya menangis mas,” ujarnya saat VIVA.co.id berkunjung ke kebunnya di Cidahu, Subang, Rabu, 28 September 2016.
Sama seperti Ucup dan Suratmi, pria kelahiran Boyolali, Jawa Tengah ini juga mengaku dijauhi oleh keluarga dan warga sekitar. Warga memandangnya dengan curiga dan terus mewaspadai setiap aktifitasnya. Bahkan, hanyagara-gara membuat saung di kebun, ia dilaporkan warga ke kelurahan dengan tuduhan akan membuat keonaran. “Sampai saat ini beberapa anggota keluarga saya masih membenci saya,” ujarnya getir.
Lain lagi yang dialami Parwanto. Pria kelahiran Desa Terbit, Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur itu kini hanya bisa mengandalkan otot dalam mengais rejeki. Dia menjadi kuli bangunan di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Awalnya, Parwanto lumayan berkecukupan. Bersama istrinya, dia merantau ke Kota Surabaya. Di Kota Buaya, dia mengandalkan keahliannya mengemudikan kendaraan roda empat. "Saya jadi sopir sebuah perusahaan," ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 29 September 2016.
Kesulitan hidup Parwanto dimulai ketika ia dipulangkan dari Mempawah. Saat pulang ke Trenggalek, Parwanto dan istrinya mengaku ditolak oleh keluarga mertuanya. Berbeda dengan Suratmi, Parwanto dilayani dengan apik saat mengurus administrasi di kantor desa dan kecamatan. "Cuma ketika mengurus SKCK (Surat Keterangan Catatan Kepolisian) di Kepolisian saya kurang sreg," ujarnya menambahkan.
Saat mengurus SKCK di Kepolisian Sektor Panggul, dia dilempar ke Kepolisian Resor (Polres) Trenggelek. "Biasanya kalau yang lain kan cukup SKCK Polsek," ujarnya. Namun, ia menurut dan mendatangi Polres Trenggalek. "Saya dibuatkan SKCK. Cuma di keterangannya ditulis bahwa saya pernah melakukan perbuatan kriminal sesuai pasal eks Gafatar. Ketika dikasih keterangan seperti itu, saya diam saja dan SKCK saya bawa ke Surabaya," ujarnya mengenang.
Gara-gara SKCK tersebut, Parwanto akhirnya urung melamar kerja. Dia akhirnya ikut tinggal di kontrakan orangtuanya di Kabupaten Gresik dan menjadi kuli bangunan. "Kalau SKCKnya seperti itu siapa yang mau menerima.”
Juru Bicara eks Gafatar, Yudhistira Arif Rahman Hakim mengakui, banyak koleganya eks Gafatar yang mendapatkan perlakuan diskriminatif, baik oleh masyarakat maupun pemerintah setempat. “Iya benar. Perlakuan diskriminatif bisa dilihat dalam penerbitan SKCK oleh Polres Trenggalek yang mencantumkan warga eks gafatar sebagai pelaku kriminal,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Selasa, 27 September 2016.
Selain SKCK, perlakuan diskriminatif yang lain adalah pengucilan dari masyarakat, tidak diundang lagi dalam arisan kampung maupun diusir dari kontrakan.
Kepincut Gafatar
Bunda Ratmi mengatakan, ia sudah bergabung dengan Gafatar sejak 2012. Ia tertarik karena Gafatar banyak melakukan kerja-kerja sosial. “Waktu itu saya lihat mereka sedang melakukan kerja bakti, bersihin got,” ujarnya. Berangkat dari situ, ia pun menemui orang Gafatar dan menyampaikan niatnya untuk bergabung.
Selama gabung dengan Gafatar, ia mengaku banyak melakukan kerja-kerja sosial, mulai dari kerja bakti, membersihkan lingkungan hingga pasar murah dan donor darah. Ia juga rajin ikut diskusi dan seminar yang diselenggarakan ormas tersebut. “Banyak ilmu yang saya dapatkan.”
Ungkapan senada disampaikan Djarot. Ia mengatakan, Gafatar banyak melakukan kerja-kerja sosial. Ia juga kepincut dengan budaya gotong royong yang dikembangkan organisasi ini. Selain itu, Gafatar juga mengajarkan Pancasila dan mencintai Tanah Air. Ia yang semula acuh dan abai dengan Pancasila menjadi cinta dengan dasar negara tersebut. “Saya lebih bisa memahami Pancasila setelah bergabung dengan Gafatar. Padahal dulu saya tidak suka dengan Pancasila,” ujarnya.
Selama bergabung di Gafatar, ia juga banyak belajar. Mulai dari soal kemasyarakatan, kebangsaan hingga pertanian dan bercocok tanam. Tak hanya itu, Gafatar juga rajin mengikuti berbagai kegiatan yang diselenggarakan pemerintah daerah. “Tercatat sejak 2012 hingga 2015, ada 86 kali bakti sosial yang dilakukan oleh Gafatar di Subang,” ujar mantan petinggi Gafatar Subang ini.
Sementara, Haris Setiawan mengaku tertarik dengan Gafatar karena kegiatannya bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan dan banyak membantu dan meringankan beban keluarga tidak mampu. "Pada tahun 2012 saya mulai bergabung merupakan saatnya saya senang ikut organisasi. Gafatar yang bergerak dalam bidang sosial kemasyarakatan sangat menarik hati saya," ujar jebolan UIN Sunan KaliJaga ini kepada VIVA.co.id, Kamis, 29 September 2016.
Meski Gafatar telah bubar, diakui Haris ada program yang cukup menarik dari Gafatar yakni soal kedaulatan pangan. Menurut dia, itu merupakan program yang menjanjikan ketika Indonesia masih tergantung impor pangan. “Saya memutuskan untuk berangkat ke Mempawah, Kalimantan Barat sesuai dengan hasil rapat bersama,"ujar warga Yogyakarta ini.
Haris menjelaskankan, berangkat ke Mempawah Kalimantan Barat bersama 30 eks Gafatar lainnya dengan menggunakan jalur laut melalui Pelabuhan Tanjung Emas Semarang menuju Pontianak. "Saya memutuskan berangkat pada bulan Oktober 2015 melalui jalur laut. Tiba di Mempawah, Haris mengaku memilih untuk bekerja di lahan dan bukan menyiapkan rumah untuk para pendatang baru eks Gafatar.
Pada awal kedatangannya semua sesuai dengan prosedur yang berlaku bahkan mendapatkan surat keterangan surat tinggal sementara dari pemerintah setempat. "Kita datang dengan cara legal, silaturahmi dengan warga setempat. Dan dicatat, kita datang bukan karena paksaan."
Diusir dari Tanah Harapan
Menurut Haris, kedatangan ratusan warga eks Gafatar diterima dengan baik oleh warga setempat. Bahkan, pemerintah setempat menyiapkan lahan yang belum digarap warga untuk digarap warga eks Gafatar. "Hubungan kita dengan warga sekitar sangat baik. Tak ada gesekan bahkan saling membantu," ujarnya menerangkan.
Namun, setelah hampir enam bulan tinggal di Mempawah dan 60 persen rumah sudah terbangun. Serta lahan pertanian siap panen, timbul masalah yang dipicu oleh orang dari luar Mempawah. Mereka menuding eks Gafatar merupakan pengikut aliran sesat dan harus pergi dari Mempawah. "Sempat dilakukan negosiasi dengan pemerintah dan kelompok yang menuntut eks Gafatar angkat kaki. Namun negosiasi gagal," ujarnya.
Puncaknya, pada hari Selasa tanggal 19 Januari 2015, massa yang tak dikenal mendatangi kampung eks Gafatar dan mengusir mereka. "Belum satu kilo dari kampong, massa telah membakar rumah dan melakukan penjarahan," ujarnya mengenang.
Warga eks Gafatar yang direlokasi juga diperintahkan hanya membawa baju seadanya dan harta lainnya ditinggal. Namun setelah ditinggal justru dijarah. "Kita bukannya direlokasi namun ditempatkan di markas tentara dan selanjutnya dipulangkan tanpa membawa harta benda kecuali pakaian di badan.”
Parwanto menambahkan, pada Agustus tahun 2015, ada pengumuman yang mengajak eks anggota Gafatar untuk hijrah ke Mempawah, Kalimantan. Di sana, anggota yang mau ikut akan diberikan lahan untuk bercocok tanam. "Tidak ada paksaan, yang mau ikut ayo, yang tidak mau tidak ada apa-apa," ujarnya.
Bersama istri dan anaknya yang baru lahir, Parwanto memutuskan untuk ikut program semacam transmigrasi itu. Di Mempawah, Parwanto tinggal secara berkelompok di rumah-rumah yang dibangun bersama. Dia menyebut, ada sekitar 150 kepala keluarga tinggal di situ. Mereka kemudian menggarap lahan yang disediakan untuk bercocok tanam. "Warga Dayak menerima kami dan hidup berdampingan," ujarnya.
Namun, entah bagaimana, tiba-tiba ada sekelompok orang yang tidak senang dengan mereka. Massa yang tak senang itu membakar pondok Parwanto dan rekannya. Dia terusir dari Mempawah lalu dipulangkan ke daerah asal oleh pemerintah. "Saya yakin ada provokasi. Kami hidup tenang dengan warga Dayak di Kalimantan," ucapnya. Sampai hari ini Parwanto mengaku heran. Kenapa ia dan rekan-rekannya diusir dari Kalimantan. Padahal, ia mengaku hanya ingin bercocok tanam.
Pemerintah Membantah
Direktur Direktorat Perlindungan Sosial Korban Bencana Sosial (PSKBS) dari Kementerian Sosial, Sahabudin, mengatakan pihaknya sudah memulangkan eks Gafatar dari Kalimantan ke seluruh pelosok nusantara. “Kita bersinergi terkait masalah itu dengan institusi lain. Dari segi pengamanannya TNI Polri. Dari segi transportnya Kementrian Perhubungan. Kemensos itu yang dilakukan di penanganan permakanan logistik. Jadi Kemensos itu ketika ada penampungan di Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, tugas pokoknya adalah logistiknya,” ujarnya.
Menurut dia, memang ada wacana agar para eks Gafatar ditransmigrasi, di arahkan ke tempat tempat yang ada lapangan pekerjaan. “Kan mereka cocok di pertanian dan perkebunan. Kemarin kan kita sudah rakor kemana-mana, ke Kementrian Desa Transmigrasi diarahkan ke sana untuk memberikan lapangan kerja kepada mereka,” ujarnya menambahkan.
Ia menjelaskan, para eks Gafatar sudah kembali ke masyarakat. Menurut dia, kalau sudah kembali, mereka bukan lagi Gafatar tapi sudah menjadi bagian dari masyarkat paada umumnya. Kalau menang layak dibantu, mereka akan dibantu dengan program bantuan regular. “Contohnya kita kasih bantuan keserasian sosial. Kita kasih dana Rp9 juta, mereka mau bikin apa di kampung halamannya. Tujuannya itu terwujudnya konektifitas masyarakat. Ada juga namanya keluarga harapan. Kalau memang layak dibantu mereka tergolong sebagai keluarga miskin pasti kita bantu.”
Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh mengaku heran dengan kasus penarikan KTP dan KK warga eks Gafatar. Pasalnya, itu merupakan identitas yang melekat dengan penduduk. Untuk itu ia memerintahkan agar pemerintah daerah memberikan kembali identitas penduduk sesuai data base atau domisilinya.
Plt Kepala Dinas Sosial, Pemkab Bantul, Yogyakarta, Mahmudi mengatakan, seperti penanganan di daerah lain, Gafatar yang merupakan warga Bantul harus menjalani "karantina" di Asrama Haji Donohudan setelah tiba dari Kalimantan. Selanjutnya dikirim ke Youth Center di Sleman selama tiga hari untuk mendapatkan pendampingan dan pembelajaran bila bangsa dan agama. "Setelah itu dikirim di penampungan sementara di masing-masing kabupaten-kota. Kebetulan untuk di Bantul ditampung di SKB Sewon," ujarnya.
Ia mengakui, dari 45 eks anggota Gafatar yang dipulangkan ke Bantul, terdapat satu keluarga eks Gafatar yang ditolak untuk kembali ke kampungnya. Padahal semua harta bendanya sudah dijual untuk mencari penghidupan lain di Kalimantan. "Penolakan itu diduga kuat karena ia mengajarkan aliran agama yang dinilai melenceng dari agama islam. Sehingga ketika pulang ke kampung halamannya disumpah terlebih dahulu dan harus mengikuti tradisi yang ada di kampung."
Dari 48 anggota eks Gafatar yang dipulangkan ke Bantul saat ini telah mengurus administrasi kependudukan dan kembali menjadi penduduk Bantul dan mendapatkan hak-haknya sebagai warga Bantul. "Kita tidak mempersulit warga eks Gafatar untuk kembali menjadi warga Bantul karena pemerintah juga sangat terbuka. Mereka adalah korban," ujar Sunarto, Asisten I Bidang Pemerintahan, Pemkab Bantul.
Kepala Dinas Sosial Provinsi Jawa Barat, Arifin, mengatakan penanganan eks anggota Gafatar yang berasal dari Indramayu, Subang, Bogor dan Depok difokuskan pada pembinaan sosial masyarakat. Menurutnya, pembinaan ini diserahkan langsung kepada Dinas Sosial di masing masing Kabupaten Kota. "Sekarang fokus kita ke bermasyarakatnya. Jangan lagi ada embel embel soal Gafatar ada saat mereka sudah di sini. Kalau ada lagi, ya akan jadi lagi," ujar Arifin saat dihubungi VIVA.co.id, Jumat, 30 September 2016.
Arifin mengatakan, dari monitoring dan koordinasi pembinaan di daerah masing - masing, para eks Gafatar ini sudah mendapatkan hak kelayakan meski berbeda dengan kondisi ekonomi sebelumnya. "Pada umumnya mereka ini sudah survive. Ada yang sudah punya pekerjaan, ada yang berprofesi dagang. Walaupun memang kondisinya masih tidak mencukupi," ujarnya.
Menurut dia, pembinaan untuk eks Gafatar bukan perkara mudah. Untuk menstabilkan kondisi sosial kemasyarakatannya, pihaknya merangkul ahli agama, tokoh masyarakat untuk membimbing. Bahkan, penanganan eks Gafatar mulai dari biaya makan minum, hingga kebutuhan sekunder, sudah memakan biaya cukup besar. "Anggaran yang sudah dikucurkan itu Rp1,3 milyar. Walaupun sudah diserahkan ke daerah masing - masing, pembinaan masih terus jalan, salah satunya di Bogor.”
Soal janji Kementerian Sosial Republik Indonesia yang akan memberikan santunan Rp10 ribu rupiah perorang selama tiga bulan, menurut Arifin, pihaknya hingga saat ini belum menerima tembusan apapun. "Gak tahu itu, belum nyampe juga. yang pasti di sini program terus berlanjut. Mulai dari program Jamkesmas, pendidikan, PKH bagi ibu hamil. Yang penting mereka bisa kembali bermasyarakat."
Hari beranjak siang. Suratmi segera merapikan pita, jarum, gunting dan sedotan serta peralatan lain. Ia pun masuk ke rumah dan berkemas. Tak lama kemudian, ia membopong kotak plastik berisi barang kerajinan. Barang-barang itu akan ia jajakan di sekolahan.
Usai pamit dengan suami dan tiga anaknya, Suratmi langsung menggenjot sepeda mininya, menuju sekolah tempat ia bisa menjajakan kerajinan pita dan patung mininya.
(ren)