Menjinakkan Lahan Gambut
- ANTARA/Rony Muharrman
VIVA.co.id – Waha, Bejo dan Abdul Hamid menghentikan langkahnya pada sebuah tanaman menjalar di bawah sebuah pohon di lahan gambut. Waha merunduk, menjauhkan daun dan ranting kering di pangkal tanaman yang menjalar melingkari batang pohon sebesar kaki orang dewasa itu.
“Ini tanaman sahang (merica--red) yang sudah kami tanam lima bulan lalu,” kata pentolan Kelompok Tani Senang Jaya itu, yang berada di Desa Sungai Beras, Kecamatan Mendahara Ulu, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi. Waha lalu memperlihatkan daun merica yang dipegangnya kepada VIVA.co.id.
Dia menginjak-injak tanah di sekitar tanaman merica itu, memadatkan tempat akar batang merica yang tingginya tidak lebih 30 sentimeter itu. “Tanah sengaja ditinggikan biar tidak tergenang air ketika banjir,” ujar Waha yang mengajak viva.co.id di awal September 2016 itu.
Dia lalu berjalan dua langkah dari tanaman merica. Dia memperlihatkan tanaman dengan batang lurus dan daunnya tersusun rapi di setiap ruas cabang batangnya. “Kalau yang ini jelutung rawa,” kata Waha sambil berdiri di samping pohon yang sama tinggi dengan dia. “Ini baru kami tanam tahun 2014 lalu.”
Waha terus melangkah ke dalam hutan diikuti Bejo dan Abdul Hamid. Ketiganya menceritakan cara mereka memanfaatkan lahan gambut yang ramah lingkungan dan tidak merusak. Dari 2.200 hektare Hutan Desa Sungai Beras, sudah 263 hektare ditanami jelutung rawa dan merica. Merica nantinya dipanen biji-bijinya, sementara jelutung rawa diambil getahnya.
Bersama sejumlah rekan-rekannya, setidaknya satu kali seminggu, Waha masuk ke hutan desa untuk mengecek tanaman-tanaman produktif yang mereka tanam. Sekalian, mereka membersihkan gulma yang mungkin tumbuh di sekitar tanaman produktif di sela-sela lahan gambut itu. Sepintas, tak terlihat ada beda antara tanaman produktif dengan pohon-pohon khas hutan gambut.
“Seperti inilah cara kami menjaga hutan. Tetap bisa bercocok tanam tanpa harus merusak hutan yang sudah kami jaga sejak ditetapkan menjadi hutan desa,” kata Waha. “Kami pilih pohon hutan yang kuat untuk menjadi tempat merica menjalar.”
Dari 2.200 hektare Hutan Desa Sungai Beras, sudah 263 hektare ditanami jelutung rawa dan merica. Foto: VIVA.co.id/Ramond Epu
Sekat Kanal Cegah Kebakaran
Tepat di pinggir Hutan Desa Sungai Beras, Kelompok Tani Senang Jaya mendirikan sebuah pondok kayu sederhana yang juga difungsikan sebagai sekretariat kelompok tani. Lima belas anggota Kelompok Tani Senang Jaya biasa berkumpul di sini. “Kalau sedang musim kemarau, saya bersama teman yang lain tidur di sini untuk siaga menjaga hutan dari bahaya api,” kata Waha.
Kebakaran lahan gambut yang terjadi hampir setiap tahun menjadi momok menakutkan bagi petani. Nyaris tiap tahun warga Desa Sungai Beras merasakan akibat kebakaran hutan, hidup berselimut asap selama berbulan-bulan. Mereka rugi secara ekonomi dan kesehatan. Namun baru tahun 2015 lalu, desa mereka terbebas dari kebakaran lahan gambut, setahun setelah mereka mulai memanfaatkan lahan gambut tanpa membakar dan tanpa membabat pohon.
Abdul Hamid, Ketua Kelompok Tani Senang Jaya, mengatakan upaya menjaga hutan di lahan gambut tidak langsung berjalan mulus seperti sekarang. Beberapa kali tanaman yang mereka tanam di lahan gambut tidak berhasil tumbuh baik. Mereka pernah menanam durian dan nanas. “Nanas habis karena hama babi, sedangkan durian, bibitnya terendam banjir,” ujarnya.
Akhirnya mereka bisa menemukan tanaman produktif yang bisa ditanam di lahan gambut seperti jelutung rawa, yang juga merupakan tanaman hutan lahan gambut. “Merica, sudah ada yang berhasil menanam di lahan gambut, meski hanya untuk keperluan pribadi,” kata Abdul Hamid.
Dalam upaya pengembangan lahan gambut yang lebih ramah lingkungan ini, Kelompok Tani Senang Jaya dibantu organisasi pemerhati lingkungan KKI Warsi. KKI Warsi membantu peningkatan pengetahuan serta keterampilan dalam menerapkan pola yang baik di lahan gambut. “Menjaga hutan ini sangat penting. Jika ada hasil untuk peningkatan ekonomi petani, itu hanya bonus dari kerja keras masyarakat dan petani dalam menjaga hutan agar tetap lestari,” kata Hamid.
Lima belas anggota Kelompok Tani Senang Jaya biasa berkumpul di sini. Foto: VIVA.co.id/Ramond Epu
Selain tanaman yang tepat, warga juga membangun sistem kanal air yang baik untuk mencegah lahan gambut mengering atau sebaliknya, kebanjiran. Memang, sebelum memasuki hutan Desa Sungai Beras, terlihat kanal-kanal selebar dua meter di sepanjang perjalanan. Abdul Hamid menjelaskan, kala musim kemarau, kanal akan disekat-sekat untuk memastikan lahan gambut tidak sampai kekeringan. Jika kekeringan, lahan gambut akan mudah terbakar. “Sudah sepuluh sekat kanal kami buat di dekat hutan Desa Sungai Beras,” ujar Hamid.
Sekat dibuat melalui swadaya masyarakat. Panjang sekat kanal berbeda-beda, begitu pula jaraknya, antara 500 meter sampai satu kilometer. Sekat terbuat dari kayu, terpal plastik dan paku. Biayanya, “Rp300 ribu itu sudah sama makan siang,” kata Hamid sambil tersenyum.
Bimo Premono, fasilitator KKI Warsi yang mendampingi Kelompok Tani Senang Jaya, menyatakan, sekat kanal yang dibuat kelompok tani di Desa Sungai Beras ini memang tidak memiliki daya tahan lama. Namun, “sekat kanal yang dibuat masyarakat ini efektif dan efisien. (Sekat) bisa digunakan ketika musim kemarau agar air tidak ke luar ke sungai yang lebih besar,” katanya.
Menjaga pasokan air ini juga penting bagi warga untuk memenuhi kebutuhan pangan seperti sayur-mayur. Warsi membantu warga mengembangkan pertanian dengan media air. “Sekarang masyarakat sudah bisa memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam sayur-sayuran dengan sistem hidroponik,” ujar Bimo. Sayur-sayuran yang tak bisa ditanam di lahan gambut jadi bisa dikembangkan dengan hidroponik.
Waha adalah salah satu warga yang sudah memanfaatkan pekarangan rumah untuk menanam sayur kangkung. “Tidak perlu lagi beli sayur-sayuran. Semua sudah tersedia di perkarangan rumah,” katanya.
Panjang sekat kanal berbeda-beda, begitu pula jaraknya, antara 500 meter sampai satu kilometer. Foto: VIVA.co.id/Ramond Epu
Tindakan Pemerintah
Kepala Seksi Pengendalian Kebakaran Hutan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Donny Osmond, menyebut, 90 persen penyebab kebakaran lahan gambut adalah manusia, sisanya baru alam. Dampaknya tentu juga bagi manusia itu sendiri. Selain masalah kesehatan, kebakaran hutan 2015 lalu misalnya, membuat ekonomi Jambi melambat karena 130 ribu hektare terbakar, dengan kerugian mencapai Rp12 triliun.
Dengan cakupan potensi kebakaran yang seluas itu, jelas pemadaman sulit dilakukan karena membutuhkan biaya operasional yang sangat besar. Untuk itu, Donny menyebut Pemerintah Provinsi Jambi lebih mengoptimalkan pencegahan dengan mensinergikan pihak terkait pada tingkat pusat, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat. Pemerintah Provinsi Jambi sudah melakukan beberapa upaya dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) seperti membentuk pos komando satuan tugas pencegahan dan pengendalian Karhutla Provinsi Jambi tahun 2016.
Selain itu, pemerintah melakukan deteksi dini melalui pemantauan hot spot setiap hari. Jika ditemukan titik api melalui pantauan hot spot, langsung dilakukan pemadaman. Provinsi Jambi diakuinya sudah membuat Perda nomor 2 tahun 2016 tentang pencegahan dan pengendalian Karhutla. Aturan ini mensyaratkan setiap pemegang izin di lahan gambut untuk membangun sekat kanal di areal kerja. “Hampir dua ribu sekat kanal sudah dibuat,” ujar Donny.
Rapat koordinasi pencegahan Karhutla di Provinsi Jambi diakuinya juga terus dilakukan. Maklumat Forum Komunikasi Pimpinan Daerah tentang sanksi pidana bagi pelaku pembakaran hutan, lahan dan kebun juga sudah dibuat. “Tim Restorasi Gambut di Provinsi Jambi sudah dibentuk melalui Surat Keputusan Gubernur nomor 358 tahun 2016, 6 April 2016 lalu. Apel siaga kebakaran hutan dan lahan yang dipimpin langsung Gubernur Jambi juga sudah dilakukan baru-baru ini,” katanya.
Namun masih ada hambatan-hambatan. Masih ada aturan yang membolehkan membuka lahan dengan cara membakar, yaitu Undang-undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Belum lagi juga masih ada kebiasaan masyarakat membuka lahan pertanian dengan membakar. “Mengubah kebiasaan masyarakat dalam membersihkan lahan dengan cara membakar juga masih sulit dilakukan. Karena dengan alasan belum ditemukan pembukaan lahan tanpa bakar dengan biaya murah,” Donny.
Kebijakan tanpa membakar ini sudah berjalan di pemerintah Desa Sungai Beras, di mana kelompok tani Senang Jaya berada. Kepala Desa Sungai Beras, Nelvy Usvita, aktif mengampanyekan model pertanian yang lebih ramah lahan gambut seperti dilakukan kelompok tani Senang Jaya. “Kami berupaya masyarakat di desa ini semuanya punya andil dalam menjaga kelangsungan hutan desa,” ungkap perempuan yang sudah dua tahun dipercaya menjadi kepala desa menggantikan suaminya itu.
Pemerintah desa memberikan bantuan bibit jelutung rawa dan merica yang sekarang dikelola kelompok tani. Desanya sudah dua kali mendapatkan bantuan bibit Jelutung Rawa melalui program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) tahun 2012 dan 2013. “Total bibit untuk dua ratus hektare,” katanya.
90 persen penyebab kebakaran lahan gambut adalah manusia, sisanya baru alam. Foto: ANTARA/Jessica Helena Wuysang
Terakhir, di tahun 2014 kembali mendapatkan bantuan 50 ribu bibit Jelutung Rawa dari program Kebun Bibit Rakyat (KBR) yang saat ini sedang dikelola Kelompok Tani Senang Jaya. Sedangkan dua program RHL sebelumnya untuk bibit Jelutung Rawa dikelola Kelompok Tani Pagar Indah 1 dan 2.
Nelvy menjelaskan, Hutan Desa Sungai Beras merupakan bagian dari Hutan Lindung Gambut Sungai Buluh. Lokasinya berdampingan dengan Hutan Desa Sinar Wajo dan Pematang Rahim. “Hutan Desa Sungai Beras juga dikelilingi perusahaan perkebunan sawit dan akasia,” katanya.
Pemerintah Desa Sungai Beras berupaya mencari pasar baru untuk hasil getah jelutung rawa dan merica. “Setiap pertemuan dengan pihak kecamatan dan kabupaten, saya selalu menyampaikan agar dukungan pemerintah tidak hanya terhenti di pemberian bibit saja tapi juga sampai ke penjualan hasil pertanian ramah lahan gambut ini,” ujarnya.
Nelvy berharap merica dan getah jelutung rawa yang dihasilkan petani tidak hanya beredar di pasar lokal. Nelvy berangan-angan mengekspor hasil jerih payah kelompok tani. “Sampel getah Jelutung Rawa sudah kami kirim ke Korea. Namun, belum mendapatkan penawaran harga yang baik,” katanya lagi.
Saat ini kata Nelvy, pemerintah desa dan kelompok tani sedang mempersiapkan pola pembagian hasil saat panen jelutung rawa dan merica. Sebab, hasilnya nanti akan dibagi ke desa dan kelompok tani. “Berapa persen pembagiannya masih dalam pembahasan,” ujar Nelvy.
Lahan Gambut Tersisa
Berjalan kaki sekitar lima menit dari hutan desa menuju perkebunan warga, terdapat pertanian terpadu lebah madu yang sudah lima bulan dijalankan kelompok tani Senang Jaya. Bejo, Hamid, dan Waha membawa viva.co.id berjalan di antara pohon-pohon pinang dan kelapa milik warga, menyusuri kanal-kanal kecil, menuju kotak-kotak yang merupakan sarang lebah madu. Ada 30 kotak lebah madu berdiri di atas tonggak dari batang kayu setinggi 1,5 meter. Terlihat kerumunan lebah memenuhi lubang-lubang di kotak.
“Sepertinya ini ada madunya,” ujar Bejo sembari menunjuk sebuah sarang kotak.
Bejo yang ditunjuk sebagai penanggung jawab pertanian terpadu lebah madu lantas mengajak Waha menuju sebuah pondok di tengah kebun. Bejo dan Waha mempersiapkan diri memakai pakaian khusus agar terlindung dari sengatan lebah. Benar saja, kotak yang ditunjuk Bejo tadi memang dipenuhi madu berwarna cokelat keemasan. Dengan pisau, Waha dan Bejo memotong dengan hati-hati sarang lebah di dalam kotak. Tak lama, secuil sarang lebah yang penuh dengan madu ditaruhnya di atas daun pisang.
“Tidak semua tamu yang datang ke sini bisa menikmati madu. Kali ini kita beruntung, madunya banyak,” kata Bejo. Bejo menawarkan viva.co.id mencicipi. Lezat.
Fasilitator KKI Warsi, Bimo, menjelaskan, lebah madu di tengah kebun juga berfungsi untuk mempercepat penyerbukan pinang dan kelapa. “Pembuahan pinang dan kelapa menjadi semakin baik, dan madunya bisa dijual untuk menambah pendapatan petani,” katanya.
Rudi Syaf, Manajer Komunikasi KKI Warsi di Jambi, menyebutkan, model pertanian yang dilakukan warga Desa Sungai Beras ini disebut Climate Smart Agriculture (CSA). Selain di Sungai Beras, model CSA ini juga sudah diterapkan di beberapa desa lain termasuk di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. “Secara sederhana, CSA merupakan sistem pertanian yang mampu mengurangi pengaruh dan dampak perubahan iklim, bahkan mampu meningkatkan kapasitas produksi melalui upaya adaptasi dan mitigasi dengan inovasi pertanian,” kata Rudi.
CSA di lahan gambut adalah kombinasi teknologi sederhana menjaga lahan gambut tetap basah dengan model pertanian yang cocok dengan lahan gambut seperti merica, jelutung rawa, dan kopi jenis liberika. Kemudian untuk memenuhi kebutuhan sayur, warga juga melakukan teknik tanam hidroponik. Untuk membantu penyerbukan tanaman-tanaman berbunga, ternak lebah madu jadi solusi.
Upaya pemadaman sulit dilakukan karena membutuhkan biaya operasional yang sangat besar. Foto: ANTARA/Jessica Helena Wuysang
“Dengan menjaga gambut tetap basah, kebakaran lahan gambut yang setiap tahun terjadi bisa dikurangi. Saat ini juga menjadi perhatian pemerintah dengan menegaskan kepada perusahaan perkebunan yang ada di lahan gambut untuk menjaga ketinggian muka air di kanal lahan gambut tidak kurang dari 40 sentimeter,” ujar Rudi memaparkan.
Rudi menyebutkan, luas lahan gambut yang ada di Provinsi Jambi mencapai 670 ribu hektare. Hampir setengahnya sudah digunakan untuk Hutan Tanaman Industri alias HTI dan perkebunan kelapa sawit. Data Warsi, lahan gambut untuk HTI seluas 86.442 hektare, sedangkan perusahaan perkebunan sawit seluas 161.273 hektare.
Sementara itu, Hutan Lindung Gambut dan Taman Nasional Berbak mencapai 120 ribu hektare. Baru sisanya dikelola masyarakat, yang rata-rata ditanami kelapa sawit dengan status kepemilikan perorangan maupun dengan cara kemitraan (kerjasama dengan pemilik modal). “Melihat jumlah ini, program CSA yang bisa dilakukan masyarakat adalah dari sisa lahan gambut yang sudah dikuasai perusahaan,” ungkapnya.
Sisa-sisa lahan gambut ini dibiarkan telantar oleh perusahaan-perusahaan karena sulit ditanami lagi. Menurut Rudi, pembuatan kanal yang berlebihan dilakukan perusahaan-perusahaan di lahan gambut justru menjadi penyebab utama lahan gambut mudah terbakar pada musim kemarau. “Sudah 120 ribu lahan gambut di Jambi ini terbakar,” sebutnya. Dan lahan gambut yang sudah terbakar tidak bisa kembali seperti kondisi semula.
“Limabelas ribu hektare yang pernah terbakar di dalam Taman Nasional Berbak hingga saat ini tidak ditumbuhi pohon lagi. Bahkan sudah menjadi danau digenangi air. Saya sudah lihat sendiri melalui helikopter,” ujarnya.
Dan Warsi kini mengajak masyarakat memanfaatkan lahan-lahan telantar itu dengan lebih ramah.
[aba]