Tax Amnesty, Kebijakan Tak Bergigi

Ilustrasi/Kebijakan Tax Amnesty.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id – Rencana pemerintah menarik dana segar dari masyarakat melalui tax amnesty atau pengampunan pajak tampak masih jauh panggang dari api. Benarkah target yang tak tercapai itu berakibat pada pemangkasan anggaran RAPBN 2017?

Kebijakan tax amnesty atau pengampunan pajak dilegalisasi oleh pemerintah melalui UU Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak. Pelaksanaan tax amnesty berlaku efektif mulai tanggal 18 Juli 2016 hingga 31 Maret 2017.  Melalui pengampunan pajak ini,  pemerintah membuka tangan pada Wajib Pajak (WP) yang selama ini tak melaporkan harta benda mereka.  WP akan diampuni,  mereka hanya akan diminta untuk membayar tebusan dengan jumlah yang sangat ringan. Jika mereka melapor, pemerintah tak akan lagi memperkarakan alasan simpanan harta dan kepemilikan pelapor.

Sejak diberlakukan hingga September 2016,  WP yang secara suka rela melapor berhak mendapat tebusan sebesar 0,5 persen hingga empat persen. Diskon besaran tebusan akan semakin sedikit menjelang pengampunan pajak berakhir.  

Presiden Joko Widodo saat melakukan sosialisasi amnesti pajak beberapa waktu lalu.

Pemerintah mematok harapan tinggi pada kebijakan  ini.  Di akhir periode, pemerintah berharap dapat meraup dana segar dari kebijakan ini  hingga Rp165 triliun. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardjojo juga mengatakan, kebijakan pengampunan pajak ini akan mendorong dana asing yang selama ini bergentayangan di dalam negeri untuk masuk ke dalam negeri. Berdasarkan perhitungan, dana wajib pajak ilegal yang saat ini bergentayangan di luar negeri, diperkirakan mencapai Rp3.147 triliun.

Menghitungnya besarnya dana gentayangan itulah yang membuat pemerintah dengan optimis menjadikan tax amnesty sebagai asumsi pendapatan dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2017. Bulan Mei 2016, Menteri Keuangan saat itu, Bambang Brodjonegoro, mengatakan asumsi pertumbuhan ekonomi nasional di RAPBN 2017 – yang diasumsikan berada di kisaran 5,3 persen sampai 5,9 persen turut menyertakan implikasi dari penerapan kebijakan tax amnesty.  

Apa yang  disampaikan Bambang terealisasi. Saat menyampaikan pidato kenegaraan di depan anggota dewan tentang penyerahan RUU Rancangan Anggaran Belanja Negara (RAPBN) 2017 di Gedung DPR RI, Jakarta, pada Selasa, 16 Agustus 2016, Presiden RI menargetkan pendapatan negara dalam RAPBN 2017 sebesar Rp 1.737,6 triliun. Dari jumlah tersebut, penerimaan perpajakan direncanakan sebesar Rp1.495,9 triliun.

Tapi ternyata realisasi tak semulus asumsi dan kalkulasi.  Lebih dari satu bulan berlalu sejak UU Tentang Pengampunan Pajak itu diberlakukan. Namun capaian pemerintah ternyata masih amat jauh dari target. Hingga pekan terakhir Agustus 2016, dana yang berhasil dikumpulkan hanya sekitar Rp236 miliar, atau baru 0,1 persen. Padahal, sumber pendapatan yang diperoleh dari pajak masuk dalam perhitungan salah satu sumber pemasukan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Guncangan APBN akibat tak terpenuhinya target penerimaan pajak melalui pengampunan inilah yang disebut-sebut telah membuat Menteri Keuangan melakukan pemangkasan besar-besaran pada APBN.  

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara sempat mengingatkan. Ia mengatakan, bila dana tax amnesty tersebut tidak mencapai target yang sudah dimasukkan dalam APBN-P 2016, potensi defisit melebihi tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) bisa terjadi.

"Kami melihat, apabila dana tax amnesty tidak tercapai, atau sedikit saja hingga target Oktober 2016, maka pemerintah harus siap, pangkas anggaran lagi ke yang lebih prioritas. Atau, jika tidak defisit APBN-P 2016, bisa meningkat hingga melebihi tiga persen PDB," jelas Mirza kepada VIVA.co.id beberapa waktu lalu.

Berdasarkan kajian yang dilakukan BI, penerimaan tax amnesty hanya akan menambah penerimaan negara mencapai Rp53,5 triliun, atau jauh lebih rendah dari perkiraan pemerintah. Dana yang dimaksud BI, berasal dari penerimaan negara sebesar Rp37 triliun dan penerimaan domestik, serta tebusan repatriasi dana sebesar Rp17,3 triliun.

Untuk itu, ia menyarankan, agar pemerintah bisa mempersiapkan diri lebih jauh lagi untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Ia menyarankan pemerintah untuk  menyiapkan sejumlah program-program prioritas, atau memangkas anggaran yang dianggap tidak perlu dan di luar prioritas janji Presiden.

Gebrakan Sri Mulyani

Menteri Keuangan, Sri Mulyani

Tanggal 27 Juli 2016, Presiden Joko Widodo melakukan perombakan kabinet.  Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro tergeser. Sri Mulyani, yang menjabat sebagai Direktur Operasional di Wolrd Bank kembali.  Sri menggebrak dengan pengumuman memangkas anggaran APBN-P 2016. Keputusan Sri mengagetkan, karena pemangkasan dilakukan usai pemerintah bersama Dewan Parlemen menyepakati perubahan keuangan kas negara. Sri mengaku terpaksa melakukan itu setelah di rapat perdana, ia menemukan adanya proyeksi perkiraan kekurangan penerimaan (shortfall) sebesar Rp219 triliun.

“Realisasi sejak 2014-2015, itu yang menimbulkan basis menghitung di tahun 2016. Kami sampaikan pada tahun anggaran 2017. Perlu ada kehati-hatian,” ujarnya.  Sri tak menyebut tindakan itu sebagai akibat gagalnya perolehan dana segar dari pengampunan pajak.  Sri, meski kemudian melakukan pemangkasan besar-besaran pada APBN-P yang sudah ketok palu, tetap menjadikan ampunan pajak sebagai targetnya.

Ia berjanji akan mengejar dan menagih janji yang sudah disampaikan oleh otoritas pajak. “Sekarang saya punya nama Kanwil dan nomor telepon masing-masing. Ini sinyal kepada Direktorat Jenderal Pajak bahwa penerimaan negara akan berkurang, mereka bermalas-malasan. Saya tahu, setiap kanwil serta janji mereka untuk mencapai penerimaan negara,” ujarnya.

Sri juga membuat terobosan dengan menjamin kerahasiaan bagi WP yang ingin mendapatkan pengampunan. Sri Mulyani menjelaskan,  salah satu yang dikhawatirkan WP terhadap kebijakan tax amnesty adalah terkait data kekayaan dan aset yang selama ini mereka simpan rapat-rapat. “Dengan mengikuti tax amnesty, mau tidak mau, data itu akan terungkap dengan sendirinya. Perlu suasana kepercayaan,” ujar Sri.

Maka pemerintah berinisiasi memberi kepastian. Data mereka tak akan bocor kepada pihak mana pun. “Kalau mereka laporkan pajak, info itu akan digunakan untuk keperluan bayar pajak dan penuhi target penerimaan negara. Tanpa harus khawatir info itu akan disalahgunakan,” ujarnya menambahkan.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Hestu Yoga Saksama di kantor Ditjen Pajak, Selasa 30 Agustus 2016.  “Amnesty pajak adalah karpet merah bagi WNI yang punya dana di luar negeri. Karpet merahnya itu adalah pembangunan infrastruktur, menyiapkan mereka untuk membawa dananya ke sini, investasikan di sini, menumbuhkan ekonomi negara ini, dan membuat negara dan rakyat Indonesia menjadi lebih makmur,” katanya.

Masih jauhnya target penerimaan pajak dari kebijakan tax amnesty dimaklumi oleh sebagian wakil rakyat. Hendrawan Supratikno, anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan mengatakan target tax amnesty yang belum tercapai bisa dimaklumi. “Memang masih jauh dari target, tapi wajar. Ini kan satu bulan pertama dari Sembilan bulan yang ditargetkan,”ujarnya kepada VIVA.co.id, 1 September 2016.

Darussalam, pakar perpajakan dari Dani Darussalam Tax Centre (DDTC)  juga menyebut kecilnya pencapaian target tax amnesty sebagai hal yang wajar. “Program ini belum bisa dikatakan gagal. Tak perlu terburu-buru untuk mengatakan program ini gagal,” ujarnya.

Butuh Waktu

Sementara itu anggota Panitia Kerja (Panja) UU Tax Amnesty, Muhammad Misbakhun, yakin penerimaan pajak dari kebijakan tax amnesty akan meningkat.  Hanya memang butuh waktu. “Saya yakin antusiasme masyarakat wajib pajak akan makin meningkat di akhir September nanti. Kita lihat dulu hasil nanti di September, jangan di waktu yang tersisa kita pesimis. Saya optimis Tax Amnesty akan disambut dunia pengusaha, masyarakat bisnis, bahwa mereka akan mengikuti Tax Amnesty. Target yang diajukan harus diberikan daya dukung agar itu bisa tercapai,” ujar Misbakhun yang ditemui di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis 1 September 2016.

Menurut Misbakhun, jika target ini tidak tercapai, yang gagal masyarakat juga. Biaya pembangunan jadi dipotong, pembangunan yang rencananya setahun, jadi lima tahun.  Sebab, dana repatriasi akan masuk ke APBN, dan dipakai untuk keperluan termasuk membayar gaji guru, gaji polisi, tentara, dan semua aparat pemerintah.  Juga untuk pembangunan infrastruktur.

Sri Mulyani mengakui, kebijakannya itu menimbulkan guncangan. Namun ia menjamin pemerintah sudah melakukan antisipasi dengan menurunkan penerimaan negara. Jadi secara matematika, defisit tetap terjaga. “Saya revisi bukan hanya spending, tapi revenue juga, jadi secara matematika tidak,” ujarnya.

Perempuan berambut pendek dan berkacamata minus itu menegaskan komitmen pemerintah untuk menjaga kas keuangan negara dengan sebaik-baiknya.  “Kami akan kelola (APBN) terus. Dari sisi penerimaan juga akan kami monitor terus. Tidak hanya dari tax amnesty, tapi melihat dari seluruh penerimaan pajak, non pajak, termasuk cukai,” ujarnya.

Kebijakan baru ini memang masih berjalan. Pemerintah masih memiliki kesempatan hingga Maret 2017 untuk mengejar perolehan angkanya. Bagaimana pun, harapan pemerintah melalui pengampunan pajak ini sangat besar. Dana yang terhimpun akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan dana sosial kemasyarakatan.

 

(ren)