20 Tahun (R)evolusi PRD

Kongres PRD ke-8 di Jakarta pada Maret 2015. Foto: Dokumentasi PRD
Sumber :
  • Dokumentasi PRD

VIVA.co.id – Dominggus Oktavianus memperhatikan papan catur di depannya dengan seksama. Ia menggerakkan bidak caturnya dengan hati-hati, jangan sampai membuat lawan mainnya memanfaatkan kesalahannya. Namun konsentrasi Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Demokratik (PRD) itu langsung pecah ketika viva.co.id datang bertamu. Senyumnya mengembang, dia berdiri meninggalkan papan caturnya.

Pria itu menyilakan tamunya masuk ke dalam rumah yang berada di kawasan Tebet Dalam, Jakarta Selatan, itu. Di rumah yang menghadap jalan sempit ini berkantor Komite Pimpinan Pusat PRD. Di dalam rumah, di sebuah ruangan dengan latar potret besar penyair Wiji Thukul, Dominggus menyilakan viva.co.id duduk, berbincang ringan menjelang waktu berbuka puasa di suatu hari di bulan Ramadan 2016 itu.

Pria kelahiran Atambua, Nusa Tenggara Timur, 39 tahun yang lalu ini, kini menjadi orang kedua di partai yang lahir di masa Orde Baru itu. Ketua Umum PRD saat ini adalah Agus Jabo Priyono, yang masih terhitung sebagai salah satu pendiri PRD bersama Daniel Indrakusuma, Budiman Sudjatmiko, dan lain-lain di tahun 1996. 

Bersama Agus Jabo, Dominggus memimpin era baru PRD dengan berasaskan Pancasila, sebuah perubahan yang membuat partai ini ke sekian kalinya digoyang perpecahan. Asas baru ini disepakati PRD dalam Kongres VII di Salatiga, Jawa Tengah, pada 1-3 Maret 2010.

Para aktivis partai itu menyadari bahwa mereka salah strategi selama ini dengan menaruh asas yang tidak digali dari konteks sejarah Indonesia. Semangat kongres itu adalah menggali nilai-nilai tradisi, budaya, dan sejarah progresif dalam masyarakat Indonesia untuk menuntaskan persoalan dan menciptakan alternatif bagi rakyat. Semangat itu menghasilkan keputusan penting untuk mengadopsi ideologi Pancasila. 

Pancasila yang dimaksud adalah Pancasila yang dikonsepkan dan diperjuangkan Sukarno, Proklamator sekaligus Presiden pertama Republik Indonesia. Menurut Agus Jabo, Pancasila juga bersemangat sosialisme, tetapi bersumber dari nilai-nilai tradisi, budaya, dan sejarah Nusantara, bukan dari pemikiran Barat. Pancasila pun sarat semangat anti-imperialisme.

Berasas Pancasila ini, menurut Agus Jabo, adalah seperti Hugo Chavez di Venezuela yang mengusung Bolivarianisme, sebuah asas yang diadopsi dari pemikiran Simon Bolivar, tokoh pembebas Amerika Latin. “Kita harus menggunakan spirit tokoh bangsa kita untuk melawan imperialisme. Kita jadikan Pancasila sebagai satu jalan untuk melawan imperialisme,” kata Jabo yang tiba di kantornya bertemu viva.co.id tak lama setelah waktu berbuka puasa masuk.

Sementara strategi gerakan PRD tak diubah. Mereka tetap memadukan perjuangan ekstraparlementer yang telah mengakar di PRD dengan perjuangan parlementer. PRD diorientasikan menjadi partai kader berbasis massa yang bersifat terbuka.

Ulang tahun PRD ke-17 pada 22 Juli 2013. Foto: Dokumentasi PRD

Ihwal PRD

PRD diawali dengan berdirinya Persatuan Rakyat Demokratik yang dideklarasikan sejumlah mahasiswa dan aktivis di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada 2 Mei 1994. Sugeng Bahagijo menjadi Ketua Umum pertama dan Tumpak Sitorus sebagai Sekretaris.

Persatuan Rakyat Demokratik memayungi organisasi-organisasi massa lintas sektoral, di antaranya, Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (yang kemudian menjadi Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia/FNPBI), Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jakker), Serikat Tani Nasional (STN), dan Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID). Organisasi-organisasi itu lebih dulu eksis ketimbang Persatuan Rakyat Demokratik.

Kepemimpinan Sugeng Bahagijo dalam Persatuan Rakyat Demokratik dianggap lemah karena terlalu moderat, sebagian anggota menginginkan organisasi itu lebih radikal dan revolusioner. Sejumlah elite Persatuan Rakyat Demokratik, rata-rata dari faksi SMID, mendesakkan pergantian kepemimpinan. Persatuan Rakyat Demokratik akhirnya pecah. Kelompok Sugeng menggelar kongres di Puncak, Bogor, Jawa Barat, pada Agustus 1995. Mereka membentuk Pergerakan Demokrat Indonesia (Padi) dengan Deni Agus Dwiyanto sebagai Ketua dan Ngarto Februana selaku Sekretaris Jenderal.

Kelompok lain, yang diawaki Daniel Indra Kusuma dan Webi Warouw (mereka adalah anggota kolektif inti yang tak masuk dalam kepengurusan PRD), pun menggelar kongres serupa di Kaliurang, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 15 April 1996. Mereka membentuk Partai Rakyat Demokratik (PRD) dengan Budiman Sudjatmiko sebagai Ketua Umum dan Petrus Haryanto selaku Sekretaris Jenderal. 

Perubahan PRD dari organisasi massa menjadi partai politik itu didasari analisis atas situasi politik nasional di bawah rezim Soeharto kala itu. PRD sedari awal bersikap oposisi terhadap pemerintahan Orde Baru. Sikap partai itu, seperti termuat dalam Manifesto 22 Juli 1996, menyerang secara tajam kondisi politik, sosial, dan ekonomi di bawah pemerintahan Presiden Soeharto.

Kalimat pertama dalam manifesto itu tegas dan lugas, “Tidak ada demokrasi di Indonesia.” Sistem politik dianggap sangat tidak demokratis. Sistem sosial-ekonomi dinilai banyak kesenjangan akibat kebijakan yang hanya berorientasi pertumbuhan ekonomi sehingga mengabaikan pemerataan dan keadilan. Manifesto politik itu juga menyinggung masalah korupsi dan kolusi dalam birokrasi pemerintahan.

“Selama 30 tahun kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat di bawah kekuasaan Presiden Soeharto, kekuasaan negara telah menjadi lembaga yang memasung dan menghambat kemajuan-kemajuan partisipasi rakyat dalam proses menentukan jalannya kehidupan bernegara. Kekuasaan eksekutif menjadi sedemikian besar, menindas, tidak terkendali dan melampaui kewenangan lembaga legislatif dan yudikatif,” begitu bunyi Manifesto 22 Juli 1996 PRD.

Solusinya, menurut PRD, rezim Soeharto harus ditumbangkan dan diganti dengan struktur masyarakat yang sosialistis. PRD menghendaki demokrasi multipartai kerakyatan yang dapat digunakan untuk berjuang melalui parlemen. Tetapi perjuangan ekstraparlementer tetap dapat dijalankan melalui organisasi-organisasi seperti SMID, PPBI, STN, dan Jakker.

Beberapa hari setelah PRD mengumumkan manifestonya, meletuslah Peristiwa 27 Juli 1996. Peristiwa 27 Juli 1996 atau sering disebut sebagai Peristiwa Kudatuli (akronim dari Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli) adalah peristiwa pengambilalihan paksa kantor pusat Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta Pusat, yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri.

Penyerbuan dilakukan massa pendukung Soerjadi, Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan, yang menurut sejumlah lembaga swadaya masyarakat, dibantu aparat Kepolisian dan TNI. Peristiwa itu meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, terutama di kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung terbakar.

Pemerintah saat itu menuduh aktivis PRD sebagai penggerak kerusuhan. Aktivis-aktivis PRD dicari-cari dan dipenjarakan. Budiman Sudjatmiko, sang Ketua Umum, mendapat hukuman terberat, yakni 13 tahun penjara. Budiman bebas sebelum waktunya melalui amnesti Presiden Abdurrahman Wahid dan belakangan Budiman keluar dari PRD dan masuk ke Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Kongres PRD ke-8 di Jakarta pada Maret 2015. Foto: Dokumentasi PRD

Pemerintah Orde Baru menyatakan PRD sebagai organisasi terlarang pada 29 September 1997. Pemerintah juga melarang semua bentuk kegiatan yang mengatasnamakan PRD dan organisasi yang bernaung di bawahnya, di antaranya, SMID, PPBI, STN, Serikat Rakyat Indonesia (SRI), Serikat Rakyat Djakarta (SRD), dan Serikat Rakyat Solo (SRS). Dasar pembubaran adalah PRD tak pernah didaftarkan di Departemen Dalam Negeri, PRD tidak pernah diakui pemerintah, dan secara yuridis keberadaannya bertentangan dengan hukum.

Namun berbagai aksi kekerasan negara itu tak membuat aktivitas PRD berhenti. Setelah Budiman ditahan, PRD praktis bergerak di bawah tanah. Kader-kader yang berada di luar penjara menggabungkan diri dalam berbagai komite rakyat dan gerakan mahasiswa untuk melawan pemerintah Orde Baru. Setahun sebelum Soeharto mengundurkan diri, PRD mengupayakan persatuan oposisi dalam gerakan Mega-Bintang-Rakyat yang merintis kerja sama antara unsur-unsur anti-Orde Baru dalam partai politik kala itu, yakni PDI dan Partai Persatuan Pembangunan.

Dan momen itu datang. 21 Mei 1998, Soeharto mundur sebagai presiden. 

Gagal di Pemilu

Soeharto lengser, reformasi bergulir. Pemilu 1999, PRD ikut sebagai sebagai salah satu dari 48 kontestan Pemilu. Di pemilu multipartai pertama ini, PRD memasang asas sosial demokrasi kerakyatan. Asas itu diterjemahkan menjadi perjuangan pembentukan suatu sistem politik yang demokratis untuk memudahkan terciptanya peranan pengawasan publik/sosial yang lebih kuat terhadap politik, pemilik modal, serta kekayaan negara. 

Hasilnya, PRD tak meraih satu pun kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kegagalan itu, seperti dilansir dalam Prd.or.id,  akibat lebih berkonsentrasi “melancarkan aksi-aksi massa ekstraparlementer yang mendelegitimasi sisa-sisa Orde Baru”, sehingga mengabaikan kerja-kerja politik praktis untuk merebut suara rakyat. PRD lebih mengutamakan pendidikan politik kepada rakyat melalui kegiatan ekstraparlementer.

“Aspek kesadaran dan propaganda ini lebih penting ketimbang memperoleh kursi,” kata Agus Jabo Priyono beralasan.

Namun jika ditelisik lebih jauh, ternyata ada perpecahan pandangan di PRD tentang pemilu pada saat itu. Sebagian meyakini bahwa perjuangan melalui jalur parlemen setelah mengikuti pemilu akan lebih efektif. Soalnya perjuangan parlementer dapat mengubah kebijakan ketimbang perjuangan ekstraparlementer, yang lebih mengandalkan kerja-kerja advokasi atau agitasi.

Sebagian yang lain berpandangan bahwa perjuangan ekstraparlementer tak kalah penting karena tujuannya membangun kesadaran politik masyarakat. Sebagian yang berpandangan seperti itu bahkan menganggap pemilu hanyalah alat untuk mengukuhkan sistem kapitalisme yang menindas rakyat. Mereka menilai itu pemilu kaum borjuis, bukan pemilu rakyat. 

“Ada sebagian kawan yang agak keras. (PRD) Yogya saat itu paling keras (dan berpandangan), ‘tidak akan ikuti pemilu-pemilu borjuis’,” ujar Dominggus yang juga dikader di Yogya itu. Sebagian yang kencang menolak Pemilu ini bahkan keluar dari PRD.

PRD tetap menjalankan kerja-kerja ekstraparlementer setelah gagal masuk Parlemen pada Pemilu 1999. Partai itu kemudian mencoba peruntungan lagi untuk masuk Parlemen dengan strategi berkoalisi bersama gerakan sosial lain di luar PRD. Koalisi itu melibatkan berbagai organisasi yang dipersatukan program populis radikal dan anti-neoliberalisme.

Pada 27 Juli 2003 koalisi itu melahirkan Partai Persatuan Oposisi Rakyat (Popor). Ketuanya adalah Yusuf Lakaseng, yang juga menjadi Ketua Umum PRD. Mereka mengajukan Dita Indah Sari, pentolan PRD dari faksi PPBI atau FNPBI, sebagai calon presiden dari partai itu. Popor ternyata gagal menjadi partai politik peserta Pemilu tahun 2004. Partai itu tak memenuhi persyaratan administratif sehingga dinyatakan tidak lulus verifikasi partai peserta Pemilu.

Aksi demonstrasi PRD di Mahkamah Konstitusi pada 10 Desember 2011. Foto: Dokumentasi PRD

PRD kembali menjajal peruntungan dengan memprakarsai pembentukan Komite Persiapan Kongres Gerakan Rakyat (KPKGR). Komite kemudian membentuk dan mendeklarasikan Partai Persatuan Pembebasan Nasional (Papernas) pada 2007 sebagai persiapan menyongsong Pemilu tahun 2009. 

Papernas menghadapi beragam masalah, terutama propaganda anti-komunis yang dilancarkan lawan-lawan politiknya. Kegiatan atau deklarasi Papernas di daerah-daerah diserang massa anti-komunis, bahkan izin legalisasi kantor atau sekretariat pun ditolak. Akibatnya, Papernas gagal memenuhi persyaratan administratif sebagai partai politik peserta Pemilu tahun 2009.

PRD hampir patah arang. Mereka mencoba strategi lain, yaitu menggabungkan Papernas dengan partai lain, di antaranya, Partai Bintang Reformasi (PBR). Aktivis-aktivis Papernas maju sebagai calon anggota legislatif (caleg) dengan bekerja sama dengan partai-partai lain yang telah lolos pemilu untuk mengangkat isu anti penjajahan/imperialisme neoliberal. Upaya itu tak menghasilkan capaian yang berarti, hanya dua kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.

Ijtihad politik itu gagal, menurut Dominggus, bukan karena PRD atau Papernas tak siap, tetapi lebih karena masyarakat yang kian pragmatis dengan politik. Kerja-kerja pendidikan politik seolah sia-sia ketika rakyat diiming-imingi uang untuk memilih caleg tertentu. “Ternyata,” katanya, “massa tidak bisa diajak berpikir soal kedaulatan dan pembebasan nasional, tergantung amplopnya.” PRD harus menerima kenyataan itu. “Itulah situasi riil di lapangan,” ujar Dominggus.

Ijtihad “berkoalisi” dengan partai lain ini juga membuat perpecahan baru di PRD. Daniel Indrakusuma, salah satu pendiri PRD, memutuskan mundur dari partai ini. Namun Daniel, ketika ditemui viva.co.id pada Juni 2016 lalu, menolak berbicara soal apa pun terkait PRD. 

Setelah Kongres 2010 yang mengubah asas PRD menjadi “Pancasila”, partai ini mencoba menata diri dan lebih realistis. Pemilu 2014 lalu, PRD tidak memaksakan diri menjadi peserta. Mereka kembali menjalankan strategi seperti yang dipakai pada Pemilu 2009, yakni mendistribusikan kader-kadernya menjadi calon anggota legislatif di sejumlah partai politik yang dipastikan lulus sebagai peserta Pemilu. Partai-partai yang jadi saluran kader-kader PRD itu antara lain, Partai Hanura, PDI Perjuangan, dan Partai Gerindra.

Ketiga partai itu dipilih karena dianggap sebagai oposisi terhadap pemerintah yang merupakan koalisi “Sekretariat Gabungan” yang terdiri dari Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan. Menurut Agus Jabo, Sekretariat Gabungan dan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono adalah pendukung imperialisme.

Namun kini, untuk Pemilu 2019, Agus Jabo mengklaim partainya kini lebih siap. Kongres PRD tahun 2015 mengukuhkan tekad partai itu untuk menjadi partai politik peserta pemilu mendatang. “Memang keputusannya bulat, (Pemilu) 2019 kita ikut, secara organisasional, entah pakai nama apa nanti.” [aba]