Senjata Bernama Media Sosial

Ilustrasi jejaring sosial
Sumber :
  • REUTERS

VIVA.co.id – Dua bulan lalu, sebuah tanda pagar (tagar) di jejaring sosial Twitter menghentak netizen (pengguna internet). Tagar #NyalaUntukYuyun menjadi topik perbincangan terpopuler dan bertahan hingga beberapa hari.

Tagar ini langsung memicu reaksi publik. Tak cuma di dunia maya, namun juga di kehidupan nyata. Ribuan orang turun ke jalan, menggelar aksi keprihatinan dengan menyalakan lilin dan mendesak pemerintah bertindak terkait kematian Yuyun, siswi Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu yang dibunuh setelah sebelumnya ‘digilir’ belasan pemuda.

Aksi ini terus menggelinding dan terus membesar. Aksi serupa banyak dilakukan di berbagai penjuru nusantara dengan melibatkan beragam kalangan. Desakan agar pemerintah menjatuhkan hukuman yang berat bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak pun menguat.

Akhirnya, pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perrubahan kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak atau yang lebih dikenal dengan Perppu Kebiri.

Ribuan orang turun ke jalan, menggelar aksi keprihatinan dengan menyalakan lilin dan mendesak pemerintah bertindak terkait kematian Yuyun

Awal Ramadan lalu, netizen kembali meributkan kasus penggusuran warung makan milik seorang perempuan bernama Saeni di Serang, Banten, Jawa Barat. Penertiban yang dilakukan oleh petugas Satpol PP terhadap Saeni yang tetap berjualan di bulan puasa itu memancing reaksi publik. Tangis Saeni yang terekam media, sukses menarik simpati netizen untuk menggalang dana. Alhasil, dalam waktu singkat, Saeni banjir bantuan.

Berangkat dari dua kasus di atas menunjukkan, jejaring sosial sudah berubah menjadi kekuatan yang tak bisa disepelekan. Sosial media menjadi wahana untuk menggalang kekuatan dan mendesakkan kebijakan.

Selanjutnya: Demi Nama Baik Perusahaan


Demi Nama Baik Perusahaan
Kekuatan sosial media juga dimanfaatkan sebuah grup perusahaan ternama Indonesia, PT Royal Golden Eagle (RGE).

Perusahaan bisnis terbesar di Indonesia yang menaungi sejumlah grup bisnis seperti APRIL (Asia Pacific Resources International Limited) yang bergerak di bidang serat, pulp dan kertas, Asian Agri di bidang industri pertanian, Sateri Holdings Limited yang bergerak di bidang bubur pulp dan serat viscose dan Pacific Oil & Gas yang bergerak di pengembangan sumber daya energi termasuk Tanoto Foundation di bidang filantropi.

Korporasi ini rela menginvestasikan sumber daya dan modalnya untuk membuat newsroom khusus bagi seluruh grup perusahaannya.

"Perkembangan dunia digital semakin beragam. Orang bisa akses informasi kapan saja 24 jam. Karena itu kami melihat peluang luar biasa. Kita ikut masuk ke situ kalau enggak mau ketinggalan," kata Head Corporate Communications PT Royal Golden Eagle, Ignatius Ari Djoko kepada Viva.co.id belum lama ini.

Menurut Ignatius, pesatnya perkembangan teknologi komunikasi saat ini menuntut perubahan. Jika dulu, akses informasi hanya didapat dari koran, kini semua sudah berubah. Untuk itu, perusahaan dituntut berburu informasi, khususnya yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah.

"Dulu andalkan koran, sekarang bisa dari website bisa dari akun media sosial yang mungkin lebih cepat dari media elektronik dan cetak."

Selanjutnya: Menggagas Newsroom

Menggagas Newsroom
Berangkat dari pembacaan di atas, PT RGE menanamkan investasi khusus untuk pengguna internet. Kebutuhan akses informasi dikembangkan dengan mengolah dan memproduksi informasi sendiri. RGE membentuk tim khusus untuk membangun ruang redaksi (newsroom) sendiri.

Selain mengumpulkan informasi yang berkembang di media sosial, mereka mengolah informasi dan menyajikannya kembali untuk netizen. Newsroom ini digawangi sejumlah orang mulai dari sosial manajer, videografer, analisis digital, desain grafis, penulis, manajer komunitas hingga tim distribusi konten.

Menurut Ignatius, saat ini mereka fokus pada tiga hal. Pertama, kemampuan memonitor secara realtime seluruh percakapan di media sosial. Hasilnya akan diproses dan disaring terkait tren topik atau isu yang dibicarakan, khususnya yang berkaitan dengan RGE.

Kedua, usai proses pemilahan, tim akan merumuskan konten. Baik itu dalam bentuk tulisan, gambar atau video. Setelah itu, barulah konten ditebar ke internet, baik di website, Twitter, Facebook, Youtube hingga Instagram.

Konten ditebar ke internet, baik di website, Twitter, Facebook, Youtube hingga Instagram.

Ignatius mengaku sangat terbantu dengan kehadiran newsroom tersebut. Minimal, RGE kini tak kelimpungan untuk mendapatkan informasi secara cepat. Selain itu, newsroom juga bisa menjadi jembatan informasi tentang perusahaan kepada publik.

Selanjutnya: Tak Hanya Promosi

Tak Hanya Promosi
PT RGE dan tim newsroom-nya mengklaim, apa yang mereka lakukan murni untuk mengedukasi publik. Laiknya penjaga benteng, tim ini 'berperang' di jejaring sosial demi menjaga nama baik perusahaan.

Menurut Ignatius, ragam percakapan di media social tak bisa dibendung dan ditangkal. Untuk itu, mereka memilih membangun aset digital lewat kredibilitas. Yakni, tak melibatkan diri dalam perang opini atau isu politik di media sosial.

"Kita tidak reaktif, lebih positif, proaktif bangun digital aset. Tugas utama hanya membangun edukasi, bukan meng-counter isu," katanya menjelaskan.

Ia menegaskan, tim newsroom 'mengharamkan' penggunaan pasukan siber atau akun robot. Pasalnya, komitmen kredibilitas dan integritas ini yang hendak ditanamkan ke publik.

"Kalau buat akun palsu, akun robot itu pada akhirnya akan backfire. (Prinsipnya) Bagaimana kita bikin website dengan trafik tinggi dan konten yang diminati publik. Menarik follower secara generik dan bukan yang palsu," ujarnya menambahkan.

Ignatius mencontohkan bagaimana tantangan menanamkan persepsi publik soal perkebunan sawit. Isu sensitif tersebut memang kontroversial terutama di kalangan aktivis dan pemerhati lingkungan. Pasalnya, selama ini perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan sawit, jarang menyentuh konsumen seperti yang dilakukan oleh perusahaan yang bergerak di bidang lain.

"Karena targetnya bukan end user. Perusahaan ini (sawit) tak seagresif perusahaan produk konsumen. Ada gap informasi," ujarnya.

Untuk itu, lewat tim newsroom peluang edukasi kepada publik menjadi penting. Sehingga, perspektif publik soal perusahaan sawit dan sejenisnya bisa berimbang. Hal itu dimulai dari bagaimana kontribusi perusahaan sawit dari sisi ekonomi hingga komitmen perusahaan terhadap keberlanjutan lingkungan.

"Seringkali publik belum begitu tahu praktik ketat yang dilakukan perusahaan perkebunan. Contoh lahan konsensi HTI (Hutan Tanaman Industri), tak semuanya dipakai. Ada aturannya. Publik tahunya yang jelek. Maka kembali ke digital sosial untuk kembali mengedukasi publik soal kontribusi industri sawit," katanya menerangkan.

Ignatius yakin, keberadaan newsroom telah membuat perubahan, tak hanya bagi PT RGE dan seluruh unit grup bisnisnya namun juga bisa mengedukasi publik. "Dunia digital makin membuat kita transparan. Dengan demikian makin terbuka apa yang kita lakukan. Kami menangkapnya makin positif, terjadi dialog yang semakin bagus."  
(mus)