Ritual atau Salah Urus?

Pasar Murah di Kediri
Sumber :
  • ANTARA/Prasetia Fauzani

VIVA.co.id – Pagi itu, Pasar Inpres Cipete, Jakarta Selatan, sudah ramai pengunjung. Kios pedagang daging juga sesak pembeli. Sejumlah ibu terdengar menawar harga. Tak sedikit yang kaget, harga-harga sudah melambung tinggi.

Tak terkecuali Yati (46). Ibu rumah tangga itu berniat membeli daging sapi guna berbuka dan santap sahur keluarganya. Namun, ia tak menyangka, harga daging sudah mencapai Rp120 ribu per kilogram.

"Agak kecewa ya." Ucapan spontan itu terlontar dari mulutnya. Raut mukanya berubah. Potongan daging sapi segar di hadapannya sibuk dibolak-balik. Dipilihnya dengan teliti.

Sementara itu, sang buah hati yang digandengnya terlihat sedikit lelah. Menunggu sang ibu selesai bertransaksi dengan pedagang.

Butuh waktu hampir satu jam bagi Yati memilih daging yang akan dibelinya. Hingga akhirnya, dia memutuskan hanya membeli kurang dari satu kilogram. Jatah uang belanjanya tak lagi cukup untuk membeli daging dengan harga gila-gilaan.

Memang, daging yang dibeli Yati bukan daging beku yang diimpor pemerintah. Tapi, daging sapi lokal segar dengan kualitas bagus.

Setidaknya, ia tak sia-sia. Meskipun tidak bisa membeli daging sapi dengan berat yang diinginkan, Yati mendapatkan daging berkualitas baik.

Kekecewaan Yati karena harapannya agar pemerintah bisa memenuhi kebutuhan daging sapi dengan harga wajar saat Ramadan kandas.

Pemerintah diharapkan bisa memenuhi kebutuhan daging sapi dengan harga wajar saat Ramadan.

"Kami berharap harga murah, mutu atau kualitas juga bagus. Jangan daging dibekukan yang kebanyakan juga dijual di supermarket. Rata-rata itu kan daging sudah lama," ujar Yati saat berbincang dengan VIVA.co.id, Jumat 10 Juni 2016.

Selama ini, daging impor guna stabilisasi harga diperoleh dari Australia dalam bentuk kemasan yang dibekukan. Daging tersebut dibanderol dengan harga Rp70-80 ribu per kilogram.
 
Meski demikian, dia mengaku tetap mengapresiasi upaya pemerintah menekan harga dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang meningkat pada masa Ramadan. "Katanya Pak Jokowi mau menurunkan harga agar stabil, kita berdoa saja deh, mudah-mudahan," tuturnya.

Baca:

Seperti sudah menjadi tradisi, daging sapi hanya satu dari sekian banyak komoditas pokok yang harganya melambung saat Ramadan. Lihat Infografik:

Di saat kebutuhan masyarakat meningkat dibanding hari biasanya, harga-harga justru menggila. Kondisi yang selalu membuat resah masyarakat.

Seperti juga dirasakan Valentina Buaq (50). Ibu rumah tangga ini mengeluhkan lonjakan harga daging dan bawang. Ditemui di Pasar Permai, Koja, Jakarta Utara, dia mengatakan, harga-harga sudah naik sejak dua pekan sebelum Ramadan.

"Repot jadinya ibu ibu, daging dan bawang paling kerasa naiknya," ujar Valentina kepada VIVA.co.id.

Dia menjelaskan, kenaikan harga paling cepat terjadi sepekan sebelum Ramadan. Kenaikannya bahkan diperkirakan hampir tiap hari.

Meski demikian, dia mengakui kenaikan harga sejumlah barang komoditas itu tidak sampai dua kali lipat. Ibu satu anak itu pun sebenarnya tidak kaget, karena tiap tahun, setiap jelang dan selama Ramadan hingga Lebaran harga selalu naik.

Muklis (48), pedagang ayam potong, di Pasar Johar Baru, pun mengakui kenaikan harga dagangannya. "Naik seperti sekarang mah sudah biasa. Tiap tahun sama saja," tuturnya kepada VIVA.co.id.

Dia menambahkan, daging ayam fillet satu kilogram dihargai Rp60 ribu, dari sebelumnya Rp40 ribu untuk bagian dada. Sementara itu, daging ayam per ekor kini menjadi Rp45 ribu, dari sebelumnya Rp32 ribu.

Ia pun mengaku, banyak pembeli yang tidak terima dengan lonjakan harga itu. Masih banyak pembeli yang menawar, meski dia mengaku tidak menaikkan harga.

"Makanya, kalau harga naik gini, meski masih ada yang beli, tapi porsi belinya enggak sebanyak biasanya," ujarnya.

Muklis menolak, pedagang banyak diuntungkan dengan kenaikan harga itu. Meski diakuinya, keuntungan yang diperolehnya relatif kecil. "Ibu-ibu pikir kami jual mahal dapet untung gede, itu salah. Kan kami belinya juga mahal," katanya.

Dia menjelaskan, terbatasnya pasokan memicu harga tidak terkendali. Sementara itu, permintaan masih cukup besar. Kondisi itu yang membuat harga kebutuhan pokok naik menggila.

Sementara itu, konsumen lain, Supatmi (52), mengaku, selain daging, harga sayuran juga naik. Sejak sepekan sebelum Ramadan, harga sayuran sudah naik Rp500-1.000.

Selanjutnya...Ritual Tahunan

***

Ritual Tahunan

Secara teoritis, apabila terjadi peningkatan permintaan akan diikuti oleh kenaikan harga. Situasi ini sebenarnya sangat mungkin dikelola dan diantisipasi dengan bijak, apabila suplai dipenuhi oleh otoritas terkait, khususnya pemerintah.

Fenomena lonjakan harga yang terjadi bertahun-tahun di Indonesia itu, menurut Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, merupakan anomali. Sebab, saat ini, di tengah penurunan harga komoditas internasional termasuk pangan, di Indonesia justru naik.

"Artinya pemerintah salah urus," ujar Enny saat berbincang dengan VIVA.co.id.

Dia menjelaskan, kenaikan harga pangan semestinya diikuti dengan meningkatnya produktivitas di sektor tersebut. Untuk kasus daging sapi misalnya. Pada 2013, daging sapi lokal masih bisa ditemukan dengan harga Rp70 ribu per kilogram.

Saat ini, harganya semakin tidak terkendali, bahkan ada yang mencapai Rp140 ribu per kilogram. Artinya, lanjut Enny, pemerintah tidak mampu mendorong produktivitas sektor pertanian yang notabene dulu menjadi komoditas andalan Indonesia. Sebab, jika produksi dalam negeri melimpah, permasalahan kenaikan harga di saat permintaan meningkat seharusnya tidak terjadi.

"Populasi sapinya itu turun jadi 14 juta ekor per tahun jadi 12 juta. Kan aneh. Ini kan sudah tidak cocok dengan hukum ekonomi. Itu yang kami simpulkan dari salah kelola atau salah urus," tuturnya.

Jarak antara petani dan konsumen diharapkan bisa lebih dekat, sehingga akan memotong mata rantai harga di tingkat konsumen.

Kenapa produktivitas sektor pertanian menurun, dia menjelaskan, karena pemerintah dinilai salah memberikan insentif bagi sektor pertanian. Saat ini, pelaku sektor tersebut diperlakukan sebagai objek, bukan subjek ekonomi.

Artinya, pemerintah seharusnya dapat membuat tata niaga yang sehat untuk sektor ini. Upaya itu diharapkan agar jarak antara petani dan konsumen bisa lebih dekat sehingga akan memotong mata rantai harga di tingkat konsumen.

"Harus ada rekayasa kelembagaan untuk melindungi harga petani. Itu baru menyelesaikan dari sisi hulu untuk meningkatkan produktivitas komoditas pangan," ungkapnya.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengungkapkan hal yang sama. Tata niaga komoditas pertanian merupakan hal yang mendesak harus dibenahi pemerintah. Sebab, kondisi ini sejak lama telah menjadi momok mengerikan bagi masyarakat.

Tulus menjelaskan, buruknya tata niaga sektor ini seakan menjadi celah yang seolah tidak bisa ditutup, dan membuat pohon kartel dagang di sektor ini tetap tumbuh subur berkembang.

"Kalau itu tidak dibongkar ya susah, jadinya terus-terusan begini. Kalau permintaan tinggi, mereka menaikkan harga semaunya," ujarnya kepada VIVA.co.id.

Tulus mengungkapkan, praktik kartel dagang di sektor tersebut, hingga kini semakin mengkhawatirkan. Praktik monopoli dagang tersebut sudah menguasai seluruh komoditas pangan yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

"Ya, (kartel) terutama daging, dan kebutuhan utama ya, seperti minyak goreng, telur, daging ayam. Tapi, terutama daging sapi yang agak banyak kartelnya," ujarnya.

Pemerintah seharusnya mampu menjamin pasokan daging sapi lokal yang berkualitas untuk pedagang.

Adanya operasi pasar jelas dikeluhkan oleh para pedagang. Sebab, pemerintah sama saja memposisikan diri sebagai kartel di pasar. Bagaimana tidak, pemerintah masuk ke pasar dengan memaksakan harga sesuai dengan yang diinginkan.

"Kalau kami diminta untuk jual dengan harga operasi pasar, ya enggak berani mas. Kami dapet suplai misal Rp100 ribu per kilogram, kami disuruh jual Rp80 ribu per kilogram, kan repot jadinya," tutur Mardianto (43), pedagang daging dan ayam potong di Pasar Permai, Koja, Jakarta Utara.

Efektivitas operasi pasar pun dipertanyakan. Di satu sisi pemerintah ingin memenuhi kebutuhan konsumen dengan harga terjangkau, namun merugikan pedagang. Prinsip keadilan untuk semua dikesampingkan.

"Orang pada ngumpul di operasi pasar, artinya kami sepi dong? Bingung juga mas," ujarnya.

Pemerintah seharusnya mampu menjamin pasokan daging sapi lokal yang berkualitas untuk pedagang. Bukannya terkesan menjadi tandingan pedagang dengan melakukan operasi pasar komoditas dengan harga murah.

Sebab, akar permasalahan dari kenaikan harga saat ini adalah minimnya pasokan yang masuk ke pedagang.

"Selain operasi pasar, seharusnya pemerintah juga nindak suplier atau pemasok mas. Makanya, kalau operasi pasar terus menerus, malah kami yang tidak laku. Jadi, jangan sampai matiin pedagang deh," katanya.

Selanjutnya...Risiko Inflasi Tinggi

***

Risiko Inflasi Tinggi

Gejolak harga yang terjadi berisiko mengakibatkan inflasi tinggi dan berujung pada berlanjutnya kenaikan harga barang hingga akhir tahun.

Deputi Bidang Statistik, Distribusi, dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS), Sasmito Hadi Wibowo, mengakui hal tersebut, inflasi pada momentum Ramadan memang lebih tinggi dibandingkan bulan-bulan lainnya. Kewaspadaan pemerintah memang perlu lebih ditingkatkan.

Apalagi, momentum ini dibarengi adanya tahun ajaran baru dan juga akan berkontribusi untuk memicu inflasi tinggi. Namun, dia mengatakan, pemerintah saat ini sudah bisa mengantisipasi hal tersebut.

"Presiden sudah mencuri start dibandingkan periode-periode sebelumnya. Misalnya seperti intervensi penghapusan subsidi BBM dan tarif listrik," ungkapnya kepada VIVA.co.id.

Kedua indikator yang "diturunkan" itu memiliki banyak dampak berganda terhadap harga barang-barang, sehingga relatif rendah. Terbukti, dia melanjutkan, beberapa bulan terakhir terjadi deflasi berturut-turut, dan bulan lalu terjadi inflasi, tetapi kecil yaitu 0,24 persen.
 
Ke depan, menurut Sasmito, pemerintah harus bisa memastikan produksi barang pokok dapat dijaga dengan baik. Upaya itu agar ritual kenaikan harga tahunan seperti saat ini bisa dihindari.

"Karena, kadang ada musim paceklik yang membuat musim tanam terganggu. Imbasnya bisa ke harga beras naik, dan yang lainnya. Ini yang memang tetap harus menjadi perhatian dan diantisipasi," tuturnya.

Inflasi pada momentum Ramadan memang lebih tinggi dibandingkan bulan-bulan lainnya.

Kepala Pusat Data dan Analisis Kementerian Pertanian, Suwandi menambahkan, saat ini segala upaya yang telah dilakukan pemerintah untuk stabilisasi harga sudah mulai membuahkan hasil. Namun, dia mengakui ada satu komoditas yang sulit dikendalikan.

Dia menjabarkan, berdasarkan survei Badan Pusat Statistik yang telah diolah Kementerian Pertanian, harga beras saat ini sudah turun 14 persen pada periode Mei hingga Juni. Jauh lebih baik dari capaian periode yang sama tahun lalu.

Begitu pula minyak goreng turun 18 persen, gula turun 0,9 persen, daging ayam turun 0,5 persen, kedelai turun 1,3 persen, cabai rawit dan cabai merah turun 18 persen serta bawang merah turun 3,8 persen.

"Tinggal satu komoditas saja yang belum turun, yaitu daging sapi. Secara nasional, harga sudah bergerak turun. Jadi, jangan selalu dianggap harga pangan selalu naik," ungkapnya kepada VIVA.co.id.

Selain operasi pasar, kata dia, Kementan telah berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk memantau sentra-sentra produksi pangan yang masuk musim panen. Agar dapat dipastikan distribusinya lancar dan bisa memutus mata rantai perdagangan hingga ke masyarakat. (art)