Menuding Alkohol

Pemusnahan Puluhan Ribu Botol Miras
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin

VIVA.co.id – Hampir seribu perempuan dan laki-laki berkumpul di pelataran Tugu Proklamasi, Jakarta. Tanpa harus diinstruksikan, massa bergerombol dengan tertib. Pelataran yang temaram menjadi terang setelah lilin-lilin dinyalakan. Mereka yang hadir lalu duduk melingkar, mendengarkan puisi berisi simpati dan seruan perjuangan. Inilah aksi #NyalaUntukYuyun.

Aksi solidaritas 1.000 lilin tersebut bertepatan dengan 40 hari kematian Yuyun, remaja perempuan yang diperkosa dan lalu dibunuh oleh 14 pria dewasa dan remaja di sebuah kebun di Rejang Lebong, Bengkulu. Sebelum kejadian nahas itu, Yuyun hendak kembali ke rumah sepulang sekolah.

Di tengah pelataran tugu, dibentangkan pula spanduk memanjang. Setiap simpatisan bergantian membubuhkan tandatangan sebagai simbol petisi agar pelaku kekerasan seksual dihukum seberat-beratnya.

Seribu lilin menyala untuk Yuyun. FOTO: VIVA.co.id/Agus Tri Haryanto

Kasus Yuyun seperti membuka kotak pandora maraknya kasus kekerasan seksual. Macam-macam teori dilontarkan, dituduh sebagai penyebab perilaku agresif ini. Salah satunya, maraknya minuman keras atau beralkohol. Pada kasus Yuyun misalnya, para pelaku mengaku menenggak minuman keras sebelum mereka melakukan tindakan biadabnya. Berita Acara Perkara (BAP) yang disusun polisi menunjukkan adanya pengakuan para pelaku soal minuman keras tersebut. 

Dalam wawancara dengan VIVA.co.id, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Polisi, Awi Setiyono, tak menampik alkohol kerap jadi biang kerok kasus-kasus kriminalitas. “Itu juga termasuk (alkohol). Yang selama ini kami ketahui karena miras itu kebanyakan pemicu perkelahian termasuk juga pemerkosaan. Itu kan tidak sadar, mabuk dan di bawah alam bawah sadar,” kata Awi Setiyono.

Namun dia juga menuding media dan perkembangan teknologi informasi sebagai pemicu para kriminal melakukan kejahatan. Awi memaparkan, dari keterangan yang dikorek aparat dari pelaku kejahatan seksual, beberapa di antaranya memang diketahui kerap menonton pornografi yang terakomodasi melalui situs internet maupun kepingan DVD ilegal yang dijual secara luas.

“Bisa jadi minuman keras (faktor). Kalau dari ponsel bisa download (pornografi),” kata Kepala Biro Penerangan Umum Mabes Polri, Komisaris Besar Suharsono di Mabes Polri, Jakarta.

Suharsono dalam kesempatan itu sempat pula menanggapi angka kekerasan seksual yang disebut-sebut meningkat. Menurutnya, angka tersebut naik turun. Hanya dia tak menyebut rincian dengan alasan bahwa data harus disiapkan dahulu sebelum dipublikasikan.

Selanjutnya...Hasil Riset

***

Riset

Institute of Alcohol Studies (IAS) di Inggris pernah mengeluarkan laporan dan rekomendasi mengenai hubungan miras dengan perilaku kriminal termasuk kekerasan seksual. Inggris dicap IAS termasuk negara yang kasus kekerasan seksualnya patut menjadi perhatian.

Laporan yang dirilis pada tahun 2014 tersebut mengkritik Undang Undang Kejahatan Seksual tahun 2003 yang dianggap kurang komprehensif mengatur soal kasus-kasus kekerasan seksual di negara tersebut. Pemerintah Inggris dianggap kurang jeli melihat bahwa alkohol yang cukup bebas dijual meski dengan aturan umur, bisa menjadi pemicu kekerasan seksual baik terhadap orang yang dikenal maupun tidak.

Dalam survei yang dilakukan tahun 2011 hingga 2012, ditemukan bahwa kasus kekerasan termasuk kekerasan seksual dilakukan oleh pelaku yang menenggak alkohol. Hal tersebut tergambar dari jawaban para responden. IAS lantas menegaskan bahwa dampak alkohol terhadap perilaku ini patut disikapi untuk menekan angka kejahatan seksual di negara tersebut.

Namun, survei IAS ini tak bisa diterima begitu saja. IAS sendiri mengakui bahwa memang hingga tahun 2014 belum ada penelitian ilmiah berupa angka statistik resmi dari lembaga berwenang yang menunjukkan hubungan penyalahgunaan alkohol dengan kekerasan seksual yang terjadi di Inggris. Analisis survei 2011-2012 lalu dianggap kurang mumpuni menjadi dasar argumen pengambilan kebijakan. 

Hipotesis peredaran minuman keras berbanding lurus dengan tingkat pemerkosaan tak berlaku di Amerika Serikat. Negara ini lumayan bebas dalam hal peredaran minuman keras namun angka statistik menunjukkan, masih berada di luar 10 besar negara dengan tindak pidana pemerkosaan tertinggi. Negara ini masih berada di bawah posisi India dan sejumlah negara di Eropa. 

Kasus menarik di Swedia. September 2012, BBC menurunkan laporan bahwa angka kekerasan seksual di Swedia yang paling tinggi di Eropa. Namun Klara Selin, sosiolog dari Komisi Nasional Pencegahan Tindak Pidana Kejahatan dari Stockholm, Swedia, menyebutkan, Swedia punya kultur yang terbuka soal melaporkan dugaan kekerasan seksual.

Negara di Skandinavia itu juga mengatur dengan rapi definisi hal-hal yang masuk dalam kekerasan seksual. Dengan perspektif yang lebih terbuka dan rinci, maka sekecil apa pun anggapan adanya kekerasan seksual, korban tak sungkan melaporkan ke pihak berwajib. Kepolisian Swedia di sisi lain juga menerima dan mendokumentasi pengaduan secara baik. 

Sementara menurutnya di negara lain, definisi kekerasan seksual bahkan belum dirumuskan dengan jelas sehingga ada dua fenomena yang mungkin terjadi. Pertama, fenomena gunung es dan kedua hanya kasus-kasus perkosaan berat yang muncul ke publik karena cenderung ditutupi. 

Selanjutnya...Relasi Kekuasaan

***

Relasi Kekuasaan

Ditemui secara terpisah, para aktivis perempuan dan perlindungan anak mencoba memberi argumen atas penyebab masih banyaknya kasus kekerasan seksual di Indonesia. Dalam bahasa yang lebih filosofis para aktivis cenderung memaknai persoalan kultur patriarkis yang terlanggengkan ditambah dengan penegakan hukum yang kurang berpihak pada korban.

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Apik, Ratna Bantara Murti, mengatakan, persoalan adanya kasus pemerkosaan ini tak lain karena dalam konteks sosial budaya di Indonesia, perempuan masih cenderung diposisikan sebagai objek. Nahasnya, perlindungan terhadap perempuan pula tak memadai.

Aksi menolak pornografi di Bundaran Hotel Indonesia. FOTO: VIVA.co.id/Tri Saputro

“Pemicu umumnya pornografi terutama pada pelaku anak-anak. Namun akar masalahnya ada pada ketimpangan pola relasi gender yang timpang dan menempatkan perempuan menjadi objek seksual dan rentan sebagai korban,” kata Ratna Bantara Murti.

Dia menjelaskan, pornografi menjadi pemicu karena melalui tontonan tersebut, perempuan kerap dijadikan sebagai objek. Tanpa pendidikan seks yang memadai, pornografi kemudian membawa pengaruh buruk. Dibandingkan minuman keras, pornografi menjadi pemicu yang lebih besar kasus-kasus pemerkosaan selama ini.

“Anak-anak dibiarkan terpapar dengan pornografi. Mereka mempelajari hal-hal yang keliru dan tidak mendidik. Penghormatan terhadap perempuan tidak mungkin didapat dari pornografi,” kata Ratna. 

Sementara Ketua Komnas Perempuan, Azriana, berharap kejahatan seksual tak disikapi dengan persoalan faktor penyebaran minuman beralkohol saja. Menurutnya, kasus kekerasan seksual yang melibatkan minuman keras juga kasuistik.

“Mungkin satu dua kasus ada yang seperti itu (dipicu alkohol). Tapi secara keseluruhan tidak bisa dilihat seperti itu karena khawatirnya kalau melihatnya seperti itu yang kita bereskan mirasnya bukan pemerkosaannya,” kata Azriana.

Azriana kembali mengingatkan bahwa dalam kultur Indonesia, perempuan cenderung ditempatkan sebagai pihak yang bisa menjadi objek pelampiasan termasuk soal seksual. Dalam kerangka berpikir demikian maka dimungkinkan adanya niat-niat yang ingin mengeksploitasi para calon korban.

Selanjutnya...Sisi Medis

***

Sisi Medis

Psikolog dari Universitas Indonesia (UI), Vera Itabiliana Hadiwidjojo, menjelaskan  banyak faktor yang menyebabkan adanya kasus-kasus kekerasan seksual. Alkohol benar bisa menjadi faktor meskipun perlu dicatat, bukan yang utama. Yang utama, anak dan remaja tidak dibekali dengan pendidikan seks yang seharusnya bisa membuat mereka paham dan meletakkan seksualitas pada porsinya. 

Dengan kondisi tak siap, remaja dan anak lalu terpapar dengan informasi yang belum layak untuk usia mereka seperti pornografi dan tontonan bernuansa kekerasan. Kondisi psikologis anak pun terganggu. 

“Dengan minimnya pendidikan seksualitas tadi, apa yang mereka lihat ini dapat ditanggapi secara salah sehingga dapat memicu perilaku yang salah pula,” kata Vera Itabiliana.

Ditemui dalam kesempatan berbeda, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza, Kementerian Kesehatan, dr. Fidiansyah SpKJ, mengatakan, untuk mengetahui pasti hubungan alkohol dengan kekerasan seksual maka harus melalui riset yang ilmiah. Sayangnya hal tersebut diakuinya masih kurang di Indonesia.

Fidiansyah melanjutkan, minuman keras dan obat-obatan memang bisa memicu perilaku, perasaan dan pikiran manusia namun harus pada dosis tertentu. Di sisi lain, alkohol pada dosis yang sama, pengaruhnya bisa berbeda kepada setiap orang.

“Miras hanya segelintir saja, bisa dibilang pemicu, bagian dari faktor yang ikut memengaruhi. Tapi bukan satu-satunya faktor,” kata Fidiansyah. [aba]