Mendunia Berkat Tempaan Asing
- facebook.com/chikita.fawzi
VIVA.co.id – "Upin dan Ipin selamanya, betul, betul, betul. Pisang goreng ngap-ngap, bahagian satu". Begitu ucap kedua bocah lucu berkepala plontos dalam salah satu episode serial animasi Upin dan Ipin.
Cerita berawal dari seorang kakek yang berkendara motor memasuki pekarangan rumah Upin dan Ipin. Di jok belakang motornya teronggok dua keranjang yang penuh dengan tumpukan pisang.
Si kakek pun bergegas menurunkan setandan pisang. Diletakkannya dengan susah payah di sebuah balai-balai. Upin dan Ipin sempat mengagetkannya.
Lalu, kakek pun meminta keduanya membantu untuk mengangkat pisang-pisang yang masih berada di keranjang motornya. Upin dan Ipin menyanggupi, meski juga dengan bersusah payah mengangkatnya.
Sekelumit adegan serial animasi Upin dan Ipin asal negeri jiran, Malaysia, itu, memang terkesan sederhana. Bagi anak-anak, mungkin tidak ada yang istimewa. Mereka hanya terhibur dengan tingkah polah dua bocah lucu itu.
Adegan bermain, berlari, hingga bercakap-cakap, kadang juga sering mereka temui dalam kehidupan sehari-hari. "Betul, betul, betul." Ucapan khas Upin dan Ipin yang sering ditirukan anak-anak.
Ya, terlepas dari menghiburnya serial animasi televisi itu bagi sebagian anak-anak di Tanah Air, di balik itu ada "tokoh-tokoh" yang sangat berjasa. Mereka adalah para animator.
Peran pelaku di industri kreatif itu yang membuat Upin dan Ipin masih digemari hingga saat ini. Melalui tangan dingin mereka, alur cerita serial animasi itu dapat dengan mudah dicerna anak-anak.
Dari sekian banyak industri kreatif, yang cukup kentara dan terlihat hasilnya memang industri desain kreatif atau konsep desain yang bisa terdiri atas ilustrator, animator, hingga komikus. Banyak juga desainer konsep asal Indonesia yang sudah unjuk gigi di kancah internasional.
Sebut saja Marsha Chikita atau Chikita Fawzi yang terlibat dalam pembuatan animasi Upin dan Ipin itu.
Serial animasi Upin dan Ipin asal Malaysia juga digemari anak-anak di Tanah Air. FOTO: Peni Widarti
Christiawan Lie juga merupakan pembuat konsep karakter mainan untuk GI Joe, Transformers, Marvel Ultimate Alliance 2, Amazing Spider-man, dan Iron Man 3. Ada juga Andre Surya, satu-satunya digital artist asal Indonesia di Industrial Light and Magic (ILM) Lucas Film, yang didirikan tahun 1971 oleh George Lucas, sutradara Star Wars. Lainnya seperti Rini Sugianto yang pernah terlibat The Hunger Games.
Di industri desain grafis, Melissa Sunjaya pernah menggarap proyek branding Fox 20th Century, atau Henri Kusbiantoro yang menjadi salah satu art director di Landor, konsultan merek dan logo yang berpusat di San Francisco, AS. Ada juga nama Yolanda Santosa yang pernah masuk nominasi Emmy Award selama tiga tahun berturut-turut dengan karya desainnya untuk Desperate Housewives (2005), Ugly Betty (2006), dan Zack Snyder’s 300 (2007).
Di Indonesia tidak banyak anak muda yang memiliki kemampuan tersebut. Tidak heran jika bagi Chris, bisnis ini tidak memiliki banyak pesaing.
Dia pun dipercaya selama bertahun-tahun mengerjakan ratusan proyek klien dari luar negeri seperti Sony Online Entertainment, Mattel, Marvel Studio, hingga Lego.
“Kalau ilustrator, ada perkumpulannya di Indonesia. Sedangkan konsep desain tidak ada. Enggak banyak juga yang mengerti soal ini karena memang tidak ada (institusi) pendidikannya di Indonesia,” ujar Chris Lie, kepada VIVA.co.id.
Pernyataan senada juga diungkapkan Chikita Fawzi atau Kiki. Anak dari Ikang Fawzi dan Marissa Haque ini mengatakan, meski semakin lama industri animasi semakin membaik, tetap saja belum sejalan dengan apa yang telah terjadi di luar negeri.
Selanjutnya...Tempaan Perusahaan Asing
***
Tempaan Perusahaan Asing
Tidak heran, dari banyak anak muda ahli konsep desain kreatif, kebanyakan mereka merupakan lulusan luar negeri. Misalnya Chris Lie. Meski pernah mengenyam pendidikan S1 arsitektur di Institut Teknologi Bandung (ITB), pria yang pernah dipekerjakan oleh Hasbro ini melanjutkan S2 bidang komik di Amerika, tepatnya Sequential Art di Savannah College of Arts and Design, Georgia.
Banyak anak muda ahli konsep desain kreatif, kebanyakan mereka merupakan lulusan luar negeri. FOTO: VIVA.co.id/www.scad.edu
Atau Rini Sugianto, yang pernah terlibat dalam penggarapan film The Hunger Games dan The Hobbit: The Desolation of Smaug, memang lulusan arsitektur Universitas Parahyangan, namun dia melanjutkan S2-nya di Academy of Art University, San Francisco.
Henri Kusbiantoro, selain ITB, juga lulusan Pratt Institute, Brooklyn, New York pada 2000. Kiki sendiri merupakan lulusan Multimedia University di Malaysia. Dari sekian banyak ahli konsep desain, hampir semua juga memulai kariernya di luar negeri.
“Itu sih tergantung pilihan masing-masing, ya. Mau bangun di Indonesia atau berkarier di luar. Kalau saran aku, jika sudah berkarier di luar negeri, sebelum balik, kumpulkan networking dulu dan pengalaman yang banyak," ujar Kiki kepada VIVA.co.id.
"Kalau memang benar-benar suka dunia animasi, konsisten saja. Karena animasi itu bukan hal yang mudah, apalagi merintis karier, pasti akan banyak rintangan. Tetap konsisten” tuturnya.
Menurut dia, sangat sulit membangun bisnis animasi di Indonesia. Selain masih dikuasai pemain besar, seperti MNC Animation dan MD Animation yang kebanyakan dibiayai oleh hasil produksi sinetron, sulit juga memasarkan produk animasi di Indonesia.
Utamanya karena bayaran untuk sebuah slot tayangan televisi sangat mahal, apalagi jika ingin membeli slot di prime time.
“Sekarang mulai ada Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif), itu bagus. Kalau dulu didorong untuk mandiri. Ujung-ujungnya bukan salah pemerintah tapi dari kita harus belajar. Industri animasi harus bergerak serentak untuk support animasi, termasuk TV,” katanya.
Berbeda dengan Kiki, Chris Lie benar-benar menegaskan betapa pentingnya pendidikan konsep desain atau ilustrasi. Menurut Chris, sekolah ilustrasi bisa dibuat untuk mendukung pertumbuhan industri. Dosennya bisa diambil dari orang yang memang sudah eksis di industri, yang sayangnya, kata dia, kebanyakan saat ini sudah berkarier di luar negeri.
“Kalau enggak ada pendidikannya, enggak maju-maju. Cuma orang yang sekolah di luar negeri yang punya ilmunya,” ujar Chris.
Selanjutnya...Kembali ke Indonesia
***
Kembali ke Indonesia
Berkat pendidikan luar negeri itu pula, tidak salah jika konsep desainer Indonesia banyak yang memulai kariernya di sana. Bahkan, ada sebagian yang kembali, tidak sedikit juga yang memilih untuk tinggal di negeri orang.
Mengenai banyaknya konsep desainer yang bekerja di luar negeri, Kiki mengatakan jika lingkungan kerja di luar memang sangat menghargai hasil karya seseorang. Hal yang sama juga dikatakan Andre Surya.
“Nomor satu, mereka menghargai seni. Kami dipandang seperti dokter, walaupun baru masuk. Waktu di Lucas Film, kalau lembur dimanja, meskipun lembur jarang. Uang taksi dibayarin, bonus banyak, entertainment diberikan rutin,” kata Andre.
Sayangnya, baik Kiki, Chris maupun Andre enggan membocorkan bayaran atas hasil karya mereka selama ini. Namun, dalam situs Glassdoor disebutkan jika seorang Computer Graphis (CG) Animator dibayar sekitar US$31 per jam, atau Character Technical Director yang dibayar US$60 per jam.
Total penghasilan? Jika dikalikan 8 jam per hari sama dengan US$248 per hari atau sekira US$6.000 per bulan atau setara Rp78 juta (kurs Rp13.000). Namun bagi Chris, bukan hanya persoalan gaji yang membuatnya tertarik menerima job dari asing.
Sepanjang mengerjakan proyek klien perusahaan luar negeri, permintaannya sangat spesifik sehingga dia sudah tahu fokus pengerjaannya.
“Kalau perusahaan asing nge-brief-nya jelas, spesifik, karena sudah tahu arahnya mau ke mana. Kalau di sini, belum tahu arahnya mau ke mana mereka. Dalam proses desain, jadinya kami meraba-raba karena brief-nya kurang fokus,” ujar Chris.
Namun begitu, tetap saja Chris, Kiki, dan Andre merupakan sekian ahli yang memutuskan untuk pulang ke Indonesia. Chris saat ini sedang membuat penerbitan komik dengan nama Re On Komik.
Sementara itu, Kiki, meski sempat membuat perusahaan Monso House dengan hasil yang tidak diharapkan, dia mengaku sedang menyiapkan album musik dan fokus pada seni mural. Lain lagi dengan Andre yang membuat sekolah animasi ESDA, Enspire School of Digital Art, yang berlokasi di Jakarta Barat dan sudah menghasilkan ribuan alumni yang bekerja di bidang desain 3D.
“Saya balik ke sini untuk memajukan visual efek (VE) di Indonesia. Kemarin sempat mengerjakan VE di film 'Juara', sekitar satu menit, menampilkan adegan motor yang tertabrak. Tidak ada yang percaya jika itu adalah editan. Saya mengejar agar film-film bioskop Indonesia kualitasnya naik,” papar Andre.
Tapi yang jelas, kata Chris maupun Andre, meski telah di Indonesia, keduanya tetap dilibatkan dalam banyak proyek animasi dan komik. Menurut Chris, dengan banyak digunakannya hasil karya anak bangsa, membuktikan jika mereka telah mengakui kualitas sumber daya manusia (SDM) negara ini.
Dari kualitas tersebut kemudian timbul kepercayaan untuk menggunakan jasa mereka lagi dan lagi. Jika Chris maupun Andre enggan memaparkan proyek yang saat ini sedang dijalankan. Hal ini semata karena salah satu poin dalam kontrak kerja melarang mereka untuk mempublikasikannya sampai dua tahun ke depan.
Untuk proyek lokal, Chris sedang menggarap komik lokal berjudul "Bagas Tentara Pelajar" yang sekarang sudah masuk buku ke-5.
Sementara itu, Andre mengaku sedang menggarap game cinematic yang pasti akan disukai di Indonesia. Dia pun berharap, dengan tekadnya yang ingin membangun animasi Indonesia, pemerintah bisa turut campur, baik secara aktif maupun pro aktif.
“Sebenarnya kami nggak minta dana, hanya support. Datangkan saja perusahaan luar negeri, seperti Disney, Nickelodeon atau apalah, ke Indonesia. Pertemukan dengan studio animasi Indonesia. Atau sebaliknya. Malaysia sudah lakukan itu, dua tahun sekali," kata dia.
"Bayangkan jika kami bisa kerjakan serial televisi, animasi dan lainnya milik studio luar negeri di Indonesia, potensinya US$100 miliar, dari luar negeri masuk ke dalam negeri,” ujar Andre.
“Bayangkan jika kami bisa kerjakan serial televisi, animasi dan lainnya milik studio luar negeri di Indonesia, potensinya US$100 miliar”. FOTO: REUTERS/Tyrone Siu
Wakil Kepala Bekraf, Ricky Pesik, mengatakan, untuk mengembangkan potensi di industri kreatif, pemerintah akan memperbaiki ekosistem, dari hulu hingga hilir. Bekraf akan menjadikan industri kreatif nasional seatraktif industri kreatif dunia yang telah mapan.
"Bagus, kalau ada sumber daya manusia kita yang sudah memiliki kemampuan kerja tingkat dunia," ujarnya kepada VIVA.co.id.
Dia menjelaskan, desain grafis memang banyak hadir dan berperan penting di sektor kreatif. Industri kreatif tidak bisa lepas dari desain.
Desain adalah bagian melekat yang memberi nilai tambah bagi industri kreatif. Desain juga, dalam hal ini adalah pokok pangkal sebuah hal dikategorikan kreatif. (art)