Ketika Layar Film Indonesia Kembali Terkembang
- VIVA.co.id/Muhamad Solihin
VIVA.co.id –
Baru sekali ini aku melihat karya surga dari mata seorang hawa
Ada apa dengan cinta?
Tapi aku akan kembali dalam satu purnama
Untuk mempertanyakan kembali cintanya
Bukan untuknya, bukan untuk siapa
Tapi untukku
Karena aku ingin kamu
Itu saja
Sepenggal puisi di atas mungkin tak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia, khususnya muda-mudi generasi 1980-an dan 1990-an. Ya, itu adalah puisi Rangga, tokoh utama pria dalam film layar lebar Ada Apa Dengan Cinta (AADC) yang dirilis 8 Februari 2002.
AADC mengisahkan Cinta (Dian Sastrowardoyo), seorang siswi SMA yang sering juara lomba puisi. Romansa dimulai, ketika Cinta dikalahkan siswa pendiam dan antisosial bernama Rangga (Nicholas Saputra). Keduanya pun lantas saling mengenal dan jatuh cinta.
Film besutan Rudy Soedjarwo itu tak bisa disebut berujung bahagia. Kisah cinta keduanya diakhiri dengan kepergian Rangga ke New York, AS, meninggalkan Cinta sepotong puisi dan janji. "Aku akan kembali dalam satu purnama." Begitu katanya.
Kini, setelah ratusan purnama berlalu, sekuel AADC dirilis dengan judul Ada Apa Dengan Cinta 2 (AADC 2). Film tersebut menjual nostalgia 14 tahun silam antara Rangga dan Cinta yang dahulu kisah cintanya dianggap menggantung.
Promosi yang gencar dan kerinduan masyarakat akan kisah si cantik Dian dan Nicholas terbukti mampu mengangkat pamor film AADC 2. Masyarakat ramai-ramai ke bioskop untuk mencari jawaban tentang akhir perjalanan Cinta dan Rangga.
Alhasil, tiket AADC 2 selalu ludes terjual selama lebih dari seminggu setelah pertama kali film tersebut diluncurkan. Ia bahkan mampu melampaui 2 juta penonton dalam kurun delapan hari.
Animo penonton di kota-kota besar seperti Yogyakarta, Malang, dan Medan pun tak kalah tinggi. Hal ini menjadikan film yang disutradarai oleh Riri Riza itu masuk dalam kategori blockbuster.
Hari demi hari, penonton kian membeludak. Sejak dirilis pada 28 April 2016, AADC 2 telah ditonton lebih dari 3 juta penonton di seluruh Indonesia.
"Jadi, memang ini hasil yang sangat membanggakan, dan berkat kerja keras semua pemain dan kru," kata produser AADC 2, Mira Lesmana, saat melakukan jumpa pers di Surabaya, beberapa waktu lalu.
Sejak dirilis pada 28 April 2016, AADC 2 telah ditonton lebih dari 3 juta penonton di seluruh Indonesia. FOTO: Twitter
Yang lebih membanggakan, AADC 2 juga turut ditayangkan di dua negara lain, yaitu Malaysia dan Singapura. Bahkan, menurut Mira, di Malaysia, film itu juga sukses meraup pendapatan yang besar.
"Kalau estimasinya satu tiketnya harganya 10 ringgit, berarti penontonnya ada sekitar 200.000, dan itu diputar di 100 layar," ucap Mira.
Namun bukan itu saja performa apik AADC2. Film ini rupanya berhasil menciptakan multiplier effect atau efek ganda. Sejumlah lokasi di Yogyakarta yang dijadikan tempat syuting film tersebut sukses membuai mata penonton.
Pantai Parangkusumo, Sellie Kopi, Klinik Kopi, Papermoon Puppet Theatre, Rumah Doa Bukit Rhema, Warung Sate Klathak Pak Bari, hingga Padepokan Bagong Kussudiardja kini tak pernah sepi pengunjung yang ingin merasakan napak tilas AADC 2.
AADC 2 bukan satu-satunya film Tanah Air yang membetot khalayak luas. My Stupid Boss (MSB) termasuk salah satu film yang paling dinanti di tahun 2016.
Film yang diangkat dari kisah nyata yang tertuang dalam novel seri laris karya Chaos@work berjudul sama itu diprediksi banyak pihak akan laris manis. Film ini bahkan dirilis secara serentak di empat negara, yakni Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam, Kamis, 19 Mei 2016.
Film komedi produksi Falcon Pictures tersebut bercerita mengenai Diana (Bunga Citra Lestari), karyawan swasta yang memiliki atasan aneh yang dipanggil Bossman (Reza Rahadian). Pria setengah botak dan bertubuh gemuk ini dikisahkan seorang pengusaha asal Indonesia yang memiliki perusahaan di Negeri Jiran.
Film mengisahkan hubungan Bossman dan Diana yang selalu diwarnai pertentangan, pertengkaran, dan permusuhan. Produser MSB Frederica mengaku memilih Malaysia untuk mempromosikan film karena merupakan negara Asia yang terdekat dengan Indonesia.
Secara kultur, masyarakat Malaysia tidak terlalu jauh dengan Indonesia. Baginya, penetrasi pasar harus dimulai dari yang dekat dahulu.
Selanjutnya...Film Indonesia Bangkit?
Baca juga:
Sorot Bagian 2:
Sorot Bagian 3:
Film Indonesia Bangkit?
Kesuksesan AADC 2 seolah menjadi angin segar bagi industri film Tanah Air setelah sempat lesu dalam tiga tahun terakhir. Film nasional terakhir yang berhasil menembus hingga 4,5 juta penonton adalah Habibie & Ainun di tahun 2012.
Bisa dikatakan bahwa ADDC 2 membangkitkan kembali gairah perfilman Indonesia. "Sudah bangkit dari kemarin-kemarin. Cuma dengan adanya ini, terjadi kebangkitan kepercayaan penonton kepada film Indonesia," ucap Dennis Adhiswara, salah satu aktor di film AADC 2 saat dihubungi VIVA.co.id.
Senada dengan Dennis, sutradara MSB, Upi Avianto mengatakan bahwa kurang tepat rasanya jika film Indonesia disebut bangkit kembali. Sebab, kata dia, industri film Indonesia pada dasarnya sudah bangkit.
"Memang fluktuatif ya. Kadang ada tahun baik, kadang ada tahun-tahun yang di bulan-bulan awalnya buruk penontonnya," ujar Upi kepada VIVA.co.id, saat ditemui beberapa waktu lalu di penayangan perdana MSB di Kuala Lumpur, Malaysia.
Upi mengatakan, yang perlu dilakukan para sineas Tanah Air untuk memperbaiki kualitas film Indonesia adalah dengan membuat cerita sebaik-baiknya. Menurut dia, aspek yang dinilai paling kurang dalam film Indonesia adalah cerita yang baik.
Sementara itu, pengamat film, Daniel Irawan punya pendapat yang cukup berbeda mengenai kebangkitan film nasional. Banyak faktor yang dinilai memengaruhi hal tersebut.
"Dibilang bangkit secara keseluruhan perlu waktu. Melihat minat penonton kita. Tergantung faktor tren, produk punya brand dan faktor x. Juga tentunya bintang dan promosi. Banyak faktor x yang menentukan," ujar Daniel.
Meski begitu, ia mengatakan bahwa film Indonesia sudah bisa disebut sebagai tuan di tanahnya sendiri. Paling tidak itu terjadi dari tahun 2007, di mana film Indonesia terakhir, yaitu Ayat-ayat Cinta dan Habibie & Ainun mendulang sukses besar.
Namun, ia menilai sejak tiga hingga empat tahun lalu, sebelum AADC 2 dirilis, Indonesia tidak punya film yang bisa tembus di angka 3 juta penonton, seperti rekor kini yang telah dipecahkan AADC 2.
Tentu saja, fenomena sekuel AADC pun mau tidak mau turut berdampak pada film lokal lainnya. "Seperti trailer yang diputar. Kalau bagus seperti My Stupid Boss, ikut mendorong (penonton)," kata Daniel.
Selanjutnya...Meramu Formula yang Tepat
Meramu Formula yang Tepat
Larisnya film AADC 2 tidak lain dan tidak bukan dikarenakan kesuksesan AADC pertama dan nostalgia yang dijual. Hal itu pula yang diungkapkan salah satu penonton AADC 2 asal Madiun, Kustin Ayuwuragil Desmuflihah.
Wanita berusia 24 tahun ini mengatakan bahwa film AADC 2 sudah begitu diantisipasi penggemarnya yang ingin bernostalgia sekaligus menanti kelanjutan asmara Rangga-Cinta. Tapi, bukan cuma itu. Ada keunggulan lain yang dimiliki film satu ini.
"AADC khas dengan puisi dan sastra yang nemuin kisah cinta sederhana antara Rangga dan Cinta. Persahabatan geng Cinta yang positif dan realistis, tidak seperti persahabatan yang ditampilkan di sinetron," ujar Kustin.
Film Indonesia juga kian digemari di Negeri Jiran. Jalan ceritanya dianggap tidak kelewat norak, berbeda dengan film-film lokal. Meski begitu, ternyata ada hal lain yang membuat masyarakat Malaysia sangat tergila-gila pada film Indonesia.
"I like the way they talk, how they speak Indonesian," kata Laila, salah seorang penonton saat ditemui VIVA.co.id beberapa waktu lalu di penayangan perdana MSB di Kuala Lumpur, Malaysia.
Film-film Indonesia yang laku di luar negeri juga tak terlepas dari pesona aktor dan aktrisnya. Sebut saja BCL yang memiliki basis penggemar yang sangat kuat di Malaysia.
"Mungkin kalau Reza dari Habibie & Ainun dan kebetulan kan mereka dipertemukan kembali lagi di sini dengan genre komedi. Jadi sesuatu yang menarik banget," kata produser MSB, Frederica.
Film-film Indonesia yang laku di luar negeri juga tak terlepas dari pesona aktor dan aktrisnya. FOTO: VIVA.co.id/Tasya Paramitha
Saat ditanya, apa formula yang tepat agar film Tanah Air bisa laku keras, Frederica tak banyak berkata. Ia hanya menyatakan bahwa segala sesuatunya harus dilakukan semaksimal mungkin jika ingin sebuah film sukses.
“Kita percaya diri bahwa film ini adalah film bagus yang harus dipromosikan dengan benar. Kalau masalah nanti box office atau enggak ya kita harus serahkan ke Tuhan,” ucapnya.
Menjawab Tantangan
Tak cukup hanya diputar di dalam negeri, AADC 2 dan MSB juga merambah ke layar bioskop di negeri tetangga. AADC 2 misalnya. Ia diputar di 100 layar bioskop di Malaysia. Sementara itu, MSB mendapat 85 layar bioskop di negara tetangga Indonesia tersebut.
Jumlah ini terbilang bagus. Sebab, ujar Frederica, film lokal Malaysia pun kadang-kadang tidak mendapat jumlah layar seperti yang ia dapat.
Namun, semuanya bukan tanpa upaya dan biaya. Ada harga yang harus dibayar demi membawa film Indonesia ke luar negeri.
“Biayanya juga besar banget dengan kita expand ke sini juga besar sekali. But we have to try. Film Indonesia harus ada yang berani mengekspansi ke luar negeri," kata Frederica.
Di Indonesia, kabarnya AADC 2 diputar di 448 layar bioskop. Sedangkan MSB belum bisa memberi tahu berapa jumlah layar bioskop yang mereka dapatkan karena belum ada pengumuman resmi dari pihak 21.
Meledaknya film AADC 2 juga turut disambut hangat Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Keberhasilan film ini dinilai bakal menghidupkan kembali semangat menciptakan film-film nasional yang box office.
“Sukses AADC 2 memberi semangat tambahan untuk semua upaya memajukan perfilman nasional,” ujar Wakil Kepala Bekraf Ricky Pesik kepada VIVA.co.id.
Ricky mengakui bahwa AADC 2 mengantongi sejumlah hal yang menjadikannya laris manis ditonton. Pertama, film ini telah memiliki basis penonton AADC 1 yang cukup besar dan penasaran dengan kelanjutan kisahnya.
“AADC 2 juga adalah film yang promosi dan pemasarannya disiapkan dengan sangat matang dan baik,” ucapnya.
Sementara itu, secara umum, Ricky melihat perkembangan film nasional mengalami peningkatan. Baik secara kuantitas dan teknik produksi. Namun di sisi lain, masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki.
“Dalam hal cerita atau storytelling. Saya pikir perlu peningkatan,” kata dia.
Tantangan lainnya yang harus dihadapi film nasional adalah persentase penguasaan layar. Film nasional, kata Ricky, masih kekurangan layar.
Di beberapa kota besar memang jumlah layar sudah cukup banyak. Namun, standar box office film nasional masih sangat rendah jika dilihat dari rasio jumlah penduduk versus jumlah layar yang masih rendah.
“Belum lagi rasio nilai tiket versus jam kerja yang diperlukan orang Indonesia untuk menonton sebuah film,” ujar pria berkacamata ini.
Soal persentase penguasaan layar ini, Ketua Umum Gabungan Perusahaan Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Syafruddin angkat bicara. Menurut dia, perusahaan bioskop tidak pernah mempersulit penayangan film Indonesia. Hanya saja, terdapat seleksi untuk menentukan apakah film tersebut layak diputar di bioskop.
“Bisa pakai HP, bikin kayak FTV. Itu enggak benar. Rusak pasar di bioskop,” ucapnya.
Ia juga tak setuju jika film nasional kerap dianaktirikan dibanding film asing. Menurut dia, dalam bisnis tentu saja semua pihak ingin hidup.
Rata-rata penonton film nasional 30 hingga 50 ribu orang per judul film di seluruh bioskop Indonesia. Kalau penonton 10 sampai 20 orang maka bisnis tentu saja akan bangkrut.
Pengamat film, Daniel Irawan mengatakan bahwa layar yang tersedia untuk film Indonesia tidak sepenuhnya kekurangan. Terbukti pada saat AADC 2, jumlah layarnya hampir seimbang dan bahkan mengalahkan film Captain America: Civil War.
"Selain itu ya belum. Film itu kalau laku akan buka layar. Lihat lagi ke depan, bisa enggak bioskop buka layar (untuk film yang laku) seperti AADC2," ujar Daniel.
Sutradara MSB, Upi Avianto juga menuturkan pendapat yang tak jauh berbeda. Kuncinya, kata dia, ada pada penonton sendiri.
"Kalau film ada penontonnya pasti jumlah layarnya bisa bertambah atau filmnya bisa terus bertahan. Jadi sekarang, ya bagaimana penontonnya untuk mau menonton film Indonesia," kata Upi.
Bicara tentang industri film nasional juga mau tak mau turut melibatkan peran Lembaga Sensor Film (LSF). Sayangnya, lembaga ini dianggap mengganjal pertumbuhan film Tanah Air dengan perannya yang kerap disebut sebagai “polisi moral”. Terkait hal ini, Ketua LSF Ahmad Yani menyangkalnya.
Tak bisa dimungkiri, LSF memang berdiri di atas dua kaki. Pertama di tengah masyarakat dan yang kedua di tengah para sineas. FOTO: VIVA.co.id/Anwar Sadath
Menurut dia, komitmen LSF justru mendorong pertumbuhan film-film nasional agar bisa menjadi tuan di tanahnya sendiri. Namun tak bisa dimungkiri, LSF memang berdiri di atas dua kaki. Pertama di tengah masyarakat dan yang kedua di tengah para sineas.
"Keduanya menjerat kami, harus sama-sama kami dorong. Kami juga melakukan sosialisasi masyarakat sensor mandiri," kata Ahmad.
Sedangkan soal LSF yang kerap dituding sering melakukan pungli dalam proses sensor film, Ahmad mempersilakan berbagai pihak untuk memberikan penilaian masing-masing. Yang pasti, pihaknya sudah memiliki ketentuan dan tim sensor pun selalu ditetapkan melalui proses pemilihan.
"Kami terbuka kok, kalau ada film yang kami koreksi, kemudian ingin dialog kita terbuka sekali," kata dia.
Selanjutnya...Bisnis yang Menjanjikan
Bisnis yang Menjanjikan
Terlepas dari itu semua, bisnis dalam industri perfilman sebetulnya selalu menjanjikan. Hanya saja, bila dilihat dari rata-rata jumlah penonton yang dicapai saat ini, jelas belum jadi sumber profit yang pasti bagi investor.
“Namun nilai monetizing film selalu memiliki peluang yang besar. Itu yang menyebabkan film sebagai bisnis tetap selalu menjanjikan,” tuturnya.
Guna mendorong pertumbuhan film nasional, Bekraf pun melakukan beberapa langkah. Salah satunya adalah mendesak dicabutnya film dari Daftar Negatif Investasi (DNI). Upaya ini untuk mendorong hadirnya investasi yang lebih signifikan di sektor produksi, distribusi, dan ekshibisi perfilman.
“Bekraf juga akan mendorong hadirnya regulasi-regulasi yang memberi peluang lebih besar bagi film nasional untuk bisa tumbuh lebih cepat,” katanya.