Dunia Masih Lecehkan Jurnalis

Aksi Jurnalis di Hari Buruh
Sumber :
  • ANTARA/Agus Bebeng

VIVA.co.id – Selasa malam, 3 Mei 2016, situasi di kantor sekretariat Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta mendadak gaduh. Malam itu, bertepatan dengan peringatan World Press Freedom Day, sekretariat AJI Yogyakarta yang berlokasi di jalan  Pakel Baru UH6/1124, Umbulharjo, Yogyakarta, berencana memutar film “Pulau Buru, Tanah Air Beta,” karya Rahung Nasution. 

Film “Pulau Buru, Tanah Air Beta” adalah film yang diangkat dari kisah nyata dan disajikan dalam bentuk dokumenter. Film ini menceritakan dua pria yang pernah menjadi tahanan politik dan merasakan kerasnya kehidupan di Pulau Buru, sebuah pulau yang terkenal sebagai penjara bagi tahanan politik.

Namun, rencana tersebut batal. Pihak kepolisian meminta acara itu dibatalkan karena ada sekelompok masyarakat yang tak setuju. Ketua AJI Yogyakarta Anang Zakaria menolak permintaan tersebut. “Ini adalah film dokumenter yang berdasarkan fakta,” ujar Anang, seperti dikutip dari siaran pers yang dikeluarkan oleh AJI Indonesia, Rabu, 4 Mei 2016.

Melihat situasi yang mulai tak kondusif, Anang meminta agar kepolisian secara resmi menutup acara tersebut. Kepala Bagian Operasional Kapolresta Yogyakarta, Kompol Sigit Hariyadi lalu membubarkan acara. Ini adalah kedua kalinya Kompol Sigit Haryadi membubarkan rencana pemutaran film. Tahun 2014, ia juga pernah melarang AJI Yogyakarta memutar film “Senyap.”

Pelarangan pemutaran film "Pulau Buru, Tanah Air Beta" yang dilakukan aparat keamanan di Sekretariat Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Yogyakarta - yang bertepatan pada peringatan Hari Kebebasan Pers se-Dunia 3 Mei 2016 - menjadi lembaran kelam atas dinamika kebebasan pers di Tanah Air. Namun, kebebasan pers yang belum sepenuhnya bebas di negeri ini memang telah menjadi sorotan masyarakat internasional. Rapor Indonesia atas kebebasan pers dan berpendapat itu masih tergolong "ponten merah."  

Pelarangan pemutaran film "Pulau Buru, Tanah Air Beta" yang dilakukan aparat keamanan di Sekretariat Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Yogyakarta pada peringatan Hari Kebebasan Pers se-Dunia 3 Mei 2016  menjadi lembaran kelam atas dinamika kebebasan pers.

Reporters Without Borders (Reporters Sans Frontiers/RSF), sebuah lembaga swadaya jurnalis yang memantau kebebasan pers dan kebebasan informasi di seluruh negara, tahun ini menempatkan Indonesia pada peringkat 130 dalam hal kebebasan pers dan kebebasan informasi. Meski naik delapan peringkat dibanding tahun lalu, namun posisi Indonesia tetap kalah jauh dibanding Afrika Selatan dan Republik Sentral Afrika.

Melalui websitenya, rsf.org, tanggal 20 April 2016, lembaga ini juga mengungkapkan kekecewaannya pada Presiden Joko Widodo. Jokowi dianggap melanjutkan berbagai kekerasan terhadap kemerdekaan media. Kasus Papua Barat jadi rujukan RSF. Jurnalis dan fixers yang berusaha melakukan liputan di Papua malah berisiko ditangkap. Kelompok ini juga menyoroti aturan memperoleh visa yang bersifat diskriminatif bagi jurnalis-jurnalis asing.

Selanjutnya...Korban Brutalisme

***

Korban Brutalisme

Menurut lembaga independen ini, kasus menghalangi kerja wartawan dan memberi kesempatan publik untuk mendapatkan informasi ternyata terjadi secara merata di seluruh dunia. Di Bangladesh, dalam empat bulan terakhir, lima blogger yang gencar menyuarakan pluralisme menjadi korban pembunuhan.

Mereka ditikam, dan pelakunya tak pernah ditangkap. Sebelum para blogger ini tewas, media Bangladesh sempat memberitakan bocornya data milik sebuah kelompok Islam militan yang menuliskan daftar blogger yang layak dibunuh.

RSF juga menyoroti kasus pelemparan granat di sebuah stasiun radio di Burundi, wartawan Turki yang dipecat karena tulisannya yang mengkritisi Presiden Erdogan di Twitter, blogger yang dipenjara dan dicambuk di depan umum di Arab Saudi, dan kamp tahanan militer khusus jurnalis di Thailand, sebagai kasus yang sangat berbahaya bagi profesi ini.

Bagi RSF, kasus-kasus itu menjadi indikasi semakin besarnya halangan bagi jurnalis, untuk mendapatkan akses informasi dan menyuarakan kepentingan publik. Itu sebabnya, menyambut World Press Freedom Day 2016, RSF mengangkat tema “Great Year for Cencorship.” Sebuah tema nyinyir menghadapi aksi pembatasan kerja jurnalis.

Dikutip dari laman RSF, 2 Mei 2016,  mereka berpendapat, independensi jurnalis saat ini sedang tergerogoti di seluruh media dan seluruh dunia. “Peningkatan mekanisme sensor dan kontrol berita, propaganda aparat, dan ideologi ekstremisme, terutama dalam masalah agama yang memusuhi jurnalisme. Selain itu, oligarki yang membeli media membuat wartawan tertekan dan tunduk pada kepentingan perusahaan terkemuka yang kadang bekerja sama dengan pemerintah,” tulis RSF.

Independensi jurnalis saat ini sedang tergerogoti di seluruh media dan seluruh dunia.FOTO: REUTERS/ Zoubeir Souissi

Merujuk pada tema “Great Year for Cencorship,” RSF secara tegas menunjuk 12 pemimpin negara yang dianggap bermasalah. Meski mengecam Jokowi karena membatasi akses ke Papua, namun Presiden RI tak menjadi salah satu dari 12 pemimpin dunia yang ditunjuk RSF sebagai pemimpin bermasalah bagi kebebasan pers dan penghalang kerja jurnalis.

Mereka menetapkan Salman bin Abdelaziz Al Saud (Saudi Arabia), Isaias Afwerki (Eritrea), Ilham Aliyev (Azerbaijan), Abdel Fattah al-Sisi (Mesir),  Prayuth Chan-ocha (Thailand), Recep Tayyip Erdogan (Turki), Kim Jong-Un (Korea Utara), Ali Khamenei (Iran), Nicolás Maduro (Venezuela), Pierre Nkurunziza (Burundi), Vladimir Putin (Rusia) , dan  Xi Jinping (China) sebagai 12 pemimpin bermasalah.

Sementara itu, The International Federation Journalist (IFJ) yang bekerja sama dengan South Asia Media Solidarity Network (SAMSN) menyoroti meningkatnya kasus jurnalis yang tewas karena menjadi korban kekerasan di Asia Selatan. Menurut IFJ dan SAMSN, sepanjang Mei 2015 hingga Mei 2016, terdapat 31 jurnalis, blogger, dan pekerja media tewas terbunuh. Kasus terbesar adalah di India, sedangkan Bangladesh terus bergerak menyusul India.

“Menangani catatan buruk di Asia Selatan mengenai kekebalan atas kejahatan yang dilakukan pada jurnalis, membutuhkan lebih dari sekadar kata-kata. Bagi mereka yang memperjuangkannya, harga yang harus dibayar sangat tinggi,” ujar IFJ melalui pernyataannya di ifj.org, 3 Mei 2016.

Angkhana Neelapaijit dari Komnas HAM Thailand mengakui bahwa negaranya masih perlu memperoleh informasi dan pembelajaran dari negara sekitarnya dalam hal kebebasan berekspresi. Ia mengakui, masih banyak hal yang menjadi batasan bagi jurnalis di Thailand untuk menyuarakan informasi.

"Banyak tantangan yang terjadi saat ini di Thailand. Saya sangat berharap Thailand menerima banyak rekomendasi dari masyarakat internasional. Tidak hanya kebebasan berinstitusi tetapi juga membantu kami mempertahankan independensi informasi dan jurnalis bagi lembaga dan seluruh lapisan masyarakat," ujar Neelapaijit, dalam seminar Forum World Press Freedom Day di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Selasa, 3 Mei 2016.

Selanjutnya...Sarat Kepentingan

***

Sarat Kepentingan

Ketatnya pembatasan pemberitaan juga menjadi keluhan Dandhi Dwi Laksono, mantan jurnalis televisi di Indonesia. Dandhi bahkan memilih banting stir menjadi jurnalis warga.

Melalui Watchdoc, media independen yang ia bangun, Dandhi memilih agar profesi jurnalis yang ia jalani bisa maksimal tanpa memikirkan pembatasan.

“Media hanya memikirkan mencari uang dan memperjuangkan kepentingan pemilik. Kami memilih concern pada keadilan,” ujarnya saat diwawancara VIVA.co.id, Sabtu, 30 Mei 2016. Dandhi mengaku tak khawatir dianggap menjadi musuh pemerintah dan pengusaha.

“Kami memprovokasi pikiran yang tadinya apatis, jadi berani bersuara, yang tadinya diam menjadi sadar, kalau itu dianggap memprovokatif kami anggap pujian dan tidak keberatan,” ujarnya.

Dandhi memilih akan terus berjuang menyuarakan keadilan melalui Watchdoc, meski berhadapan dengan aparat, pemerintah, dan pengusaha.

Sekjen RSF, Christophe Deloire, mengakui saat ini kondisi ketatnya pembatasan informasi di seluruh negara berubah menjadi ketakutan dan keengganan untuk mengembangkan perdebatan sehat  dan pluralisme.

“Penutupan media terjadi oleh pemerintah yang semakin otoriter dan menindas, juga terjadi pada media swasta yang dibentuk oleh kepentingan pribadi,” ujarnya.  Deloire menyayangkan, karena ketakutan terhadap legitimasi jurnalis yang dibangun pemimpin dunia.

Bagi Deloire, saat ini “jurnalisme” sangat layak diperjuangkan. Ini Seiring meningkatnya media propaganda dan media konten yang sarat pesan atau disponsori oleh kepentingan pribadi, maka menjamin hak publik untuk mendapatkan informasi yang independen dan terpercaya sangat penting.

Dan Deloire menyesalkan, karena banyak pemimpin dunia membangun ketakutan terhadap legitimasi jurnalis. “Dan alasannya sangat tidak jelas,” ujarnya.

Ketidakjelasan alasan dari ketakutan yang dibangun penguasa, membuat publik tak lagi leluasa mendapat berita. Namun, seperti yang disampaikan Deloire,  menjamin hak publik untuk mendapatkan informasi yang independen dan terpercaya sangat penting. Jadi, meski tertekan, jurnalis yang memilih berjuang pada keadilan tak akan pernah padam.

Laporan: Dinia Adrianjara

(ren)