Kebebasan Setengah Hati
- ANTARA/Jojon
VIVA.co.id – Selasa pagi, 3 Mei 2016, sejumlah orang terlihat memadati halaman belakang Balai Kota Malang, Jawa Timur. Pria dan wanita beragam usia ini duduk menggerombol. Sementara itu, yang lain memilih berdiri sambil berdiskusi.
Sebagian dari mereka menenteng poster dengan berbagai seruan. Beberapa orang tampak sedang berusaha membentangkan spanduk.
Di sisi lain, seseorang tengah sibuk mengumpukan ID card atau kartu pers. Puluhan kartu pers itu kemudian dimasukkan ke sangkar burung yang sudah disiapkan.
Mereka juga terlihat menyiapkan “bola besi” lengkap dengan rantainya. Tak berselang lama, kerumunan tersebut membentuk barisan.
Usai mendengar aba-aba, mereka langsung bergerak menuju depan Balai Kota Malang. Sepanjang jalan, mereka meneriakkan yel yel, juga berorasi secara bergantian.
Pagi itu, seratusan jurnalis dan aktivis pers mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa, memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia (World Press Freedom Day). Mereka menuntut kebebasan berekspresi, berpendapat, menolak intimidasi, dan ancaman yang dilakukan berbagai pihak terhadap jurnalis.
Mereka membawa sangkar burung yang di dalamnya berisi kartu pers serta bola besi lengkap dengan rantai yang membelenggu kaki jurnalis. “Kurungan burung dan bola besi ini menggambarkan kebebasan pers dan kebebasan informasi publik yang masih terbelenggu dan terkekang,” kata juru bicara aksi, Hari Istiawan, Selasa, 3 Mei 2016.
Kurungan burung dan bola besi ini menggambarkan kebebasan pers dan kebebasan informasi publik yang masih terbelenggu dan terkekang. FOTO: VIVA.co.id/Dyah Ayu Pitaloka
Menurut dia, jurnalis mengalami banyak kendala saat meliput di Malang. Instansi pemerintah kerap tak memberikan informasi tentang data publik. Warga juga belum bisa mengakses informasi publik milik Pemkot Malang. Intimidasi dan kekerasan juga dialami jurnalis saat meliput.
“Akses terhadap APBD dan berbagai sarana publik sangat terbatas. Dua jurnalis Radar Malang diangkut ke markas TNI AU Abdulrachman Saleh dan dirampas drone, kartu pers, dan kartu memorinya saat meliput tragedi Super Tucano Februari lalu,” ujar Hari.
Selanjutnya...Zona Merah
Zona Merah
Mereka tak sendiri. Ratusan jurnalis di kota lain juga melakukan aksi yang sama. Mereka turun ke jalan, menggelar unjuk rasa guna memperingati Hari Kemerdekaan Pers Dunia. Tuntutannya nyaris sama, yakni meminta pemerintah melindungi jurnalis, menuntaskan kasus kekerasan yang menimpa jurnalis, menjaga kebebasan berekspresi serta merawat keberagaman dan kebhinekaan.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), salah satu asosiasi jurnalis di Indonesia menyatakan, hingga saat ini indeks kemerdekaan pers di Indonesia berada di “zona merah”. Ketua AJI Indonesia, Suwarjono mengatakan, dari 180 negara, Indonesia menempati urutan 130.
Menurut dia, hal itu menunjukkan Indonesia masih berada di zona merah. “Kenaikan 8 peringkat dari 138 ke 130 itu belum banyak artinya. Karena itu masih zona merah atau zona bahaya,” Suwarjono kepada VIVA,co.id, Senin, 2 Mei 2016.
Ia mengatakan, banyak faktor yang membuat Indonesia masih berada di zona merah. Pertama, sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang masih setengah hati membuka akses informasi untuk jurnalis di Papua. Selain itu, peran negara dalam menjaga keberagaman dan pluralisme juga dipertanyakan.
“Isu pluralisme terkait kebebasan berekspresi di Indonesia menjadi ancaman serius. Karena semakin banyak kelompok yang intoleran, anti keberagaman, dan meningkatnya diskriminasi,” ujar pria yang akrab disapa Jono ini.
AJI mencatat berbagai pelarangan yang datang bertubi-tubi. “Sekarang ini ada pengekangan terhadap kebebasan berekspresi, berdiskusi, nonton film, melakukan aktivitas-aktivitas yang legal,” ujarnya.
Ia mengkritik negara yang absen dan tak memberikan perlindungan terhadap warganya. “Negara tidak hadir untuk mengamankan. Bahkan, cenderung ikut menjadi bagian dari kelompok mayoritas yang melakukan ‘penyerangan’. Itu yang saya kira memperburuk citra kita di era kebebasan pers saat ini,” dia menambahkan.
Ada sejumlah hal yang menjadi tolak ukur dari penilaian kebebasan. Di antaranya terkait dengan pluralisme, independensi media, kekerasan terhadap jurnalis dan transparansi. “Dari seluruh isu itu, sebagian besar kita masih dalam masalah yang besar atau serius,” ujarnya.
Sekarang ini ada pengekangan terhadap kebebasan berekspresi, berdiskusi, nonton film, dan melakukan aktivitas-aktivitas yang legal. FOTO:
ANTARA/Darwin Fatir
Ia mencontohkan kasus kekerasan terhadap jurnalis dan pelarangan peliputan sepanjang 2015 justru menjadi yang tertinggi dari 4-5 tahun terakhir. Pada 2014, ada 41 kasus kekerasan, 2015 meningkat menjadi 46 kasus. “Nah, yang kami sayangkan, dari 46 kasus tersebut, pelaku terbanyak ternyata dilakukan oleh kepolisian dengan 14 kasus. Ini meningkat dua kali lipat dari 2014,” ujar petinggi di salah satu media online ini.
Pendapat Jono diamini Yadi Hendriana. Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) ini mengatakan, komitmen pemerintah terkait kemerdekaan pers perlu dipertanyakan. Ia mencontohkan keberadaan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang tak kunjung direvisi.
Padahal, beleid itu jelas membelenggu kebebasan berekspresi. Ia juga menyoroti sikap pemerintah Indonesia yang terkesan tak bersahabat dengan jurnalis asing.
“Kasus-kasus kekerasan oleh aparat terhadap pers juga terus terjadi di berbagai daerah. Bayangkan dengan Finlandia. Indeks kemerdekaan pers nomor satu, kebebasan berpendapat juga dijamin pemerintah. Dan pers bisa membantu pemerintah untuk membangun bangsa.” ujarnya kepada VIVA.co.id, Selasa, 3 Mei 2016.
Pendapat senada disampaikan Ignatius Haryanto. Pengamat media ini mengatakan, peringkat kebebasan pers di Indonesia tidak terlalu bagus. Menurut dia, kalau yang tergolong menengah itu kisaran angka 30-50an. Tapi kalau di atas 100 masih bebas sebagian.
Istana membantah. Juru Bicara Kepresidenan, Johan Budi mengatakan, Jokowi sangat menjamin kebebasan pers, tidak ada intervensi dan tidak ada tekanan terhadap media.
“Tentu Presiden melihat kebebasan pers sekarang tetap pada rambu-rambu yang ada sesuai UU Pers Nomor 40 Tahun 1999,’ ujarnya kepada VIVA.co.id, Selasa, 3 Mei 2016.
Johan mengklaim, hingga saat ini ia tak mendengar pelarangan media untuk meliput di Papua, sepanjang sesuai aturan. Menurut dia, semua negara punya aturan. Ia mengatakan, pemerintah tak mempersulit masuknya jurnalis asing sepanjang media yang masuk ke Indonesia bersikap sebagai media, sebagai jurnalis.
“Sepanjang itu dilakukan tidak ada larangan meliput di wilayah Indonesia. Tapi, jangan sampai jurnalis asing ada titipan-titipan. Itu yang dijaga pemerintah Indonesia,” ujarnya berdalih.
Presiden melihat kebebasan pers sekarang tetap pada rambu-rambu yang ada sesuai UU Pers Nomor 40 tahun 1999. FOTO: ANTARA/Widodo S. Jusuf
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) mendukung Johan Budi. Ketua Umum PWI, Margiono mengatakan, saat ini pers di Indonesia sangat bebas dan merdeka. Menurut dia, tidak ada hambatan yang membuat pekerja pers tidak bebas.
“Walaupun harus diakui masih ada yang bicara mengenai regulasi yang mengancam kebebasan pers, namun menurut saya secara riil tidak terasa.” ujarnya kepada VIVA.co.id, Selasa, 3 Mei 2016.
Menurut dia, saat ini pers di Indonesia bisa bernapas lega. Sebab, sensor sudah tidak ada. Kontrol penguasa juga tak ada.
Kekerasan masyarakat atau lembaga terhadap pers makin sedikit. Sementara itu, akses menembus sumber informasi juga makin bagus.
“Indikasi secara umum makin baik,” dia menambahkan. Dia menilai, kasus sulitnya jurnalis asing masuk Papua hanya soal teknis. “Pelarangan jurnalis asing itu teknis terkait keamanan,” ujarnya.
Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Sidiq mengatakan, secara umum kondisi pers di Indonesia sudah baik. Ia menilai, di era Presiden Jokowi memang tidak tampak ada upaya pembatasan, atau pengekangan terhadap pers atau media massa.
Sebaliknya, Jokowi sadar akan kekuatan media massa, sehingga pemerintah melakukan konsolidasi sebagian media massa untuk mendukung kebijakannya.
“Menurut saya ini yang harus dievaluasi secara kritis,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Selasa, 3 Mei 2016.
Selanjutnya...Kekerasan Masih Terjadi
Kekerasan Masih Terjadi
AJI menyatakan, potret kebebasan pers di Indonesia masih buruk, salah satunya karena masih tingginya angka kekerasan terhadap jurnalis dan media. “Kami, masih mencatat, dari 12 kasus kematian wartawan karena menjalankan tugas, masih ada 8 kasus yang hingga kini belum tuntas,” ujar Jono.
Menurut dia, organisasinya sudah berkali-kali mendesak pemerintah untuk menuntaskan sejumlah kasus tersebut. Sebab, ada kecenderungan kalau kasus itu tidak tuntas akan menimbulkan kesan bahwa negara telah memberikan impunitas terhadap kasus kekerasan itu.
Selain itu, hal itu bisa menimbulkan kesan bahwa pelaku sengaja dibiarkan oleh negara dan mengancam kebebasan pers di Indonesia ke depan. “Ada pelaku yang tidak diusut dengan tuntas dan dibiarkan. Kasus Udin menjadi simbol karena sudah hampir 18 tahun sejak 1996, sudah banyak bukti juga tidak pernah diselesaikan dengan serius,” dia menerangkan.
Menurut dia, Pemerintahan Jokowi tidak serius terkait kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Sebab, antara yang disampaikan dengan apa yang terjadi di lapangan tidak konsisten.
“Masih banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi di daerah,” ujarnya.
PWI juga mengakui, hingga saat ini masih terjadi kekerasan terhadap jurnalis yang sedang bekerja. Menurut Margiono, kekerasan itu tak mungkin hilang seratus persen.
Namun, menurut dia, kekerasan itu harus dilihat dari dua sisi. Pertama, kekerasan terjadi karena masyarakat tidak paham terhadap kerja jurnalis hingga bereaksi dengan melakukan kekerasan.
Namun, kekerasan bisa terjadi karena kesalahan jurnalis. “Tidak selamanya kekerasan terhadap jurnalis karena ada niat buruk orang terhadap pekerja pers, tapi bisa terjadi karena ketidaksiapan jurnalis dan kecerobohan jurnalis saat menjalankan tugas,” kata dia.
Anggota Dewan Pers, Jimmy Silalahi mengatakan, meski masih ada sejumlah kasus kekerasan terhadap pers, tapi dalam konteks kebebasan pers Indonesia tergolong hebat dibandingkan dengan negara lain.
“Coba kita lihat dinamika yang terjadi di sejumlah negara. Saat ini di belahan dunia mana pun tidak bisa menerima kritik dari media. Kayak kemarin di Turki di beberapa negara Arab dan Eropa. Ternyata masih ada kontrol yang kuat,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 4 Mei 2016.
Selanjutnya...Kasus Mangkrak
Kasus Mangkrak
IJTI menyatakan, pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah terkait sejumlah kasus kekerasan terhadap wartawan. “Kita masih punya tunggakan kasus, seperti Udin dan yang lain. Itu harus segera diselesaikan oleh pemerintah,” ujar Yadi.
Menurut dia, banyak kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terus terjadi, namun tidak diselesaikan dengan tuntas. “Ini buruk bagi pers Indonesia. Sebelum 2017 pemerintah harus menyelesaikan. Karena kita akan jadi tuan rumah WPFD di Jakarta. Bukan hanya Udin, tapi semua kasus,” dia menegaskan.
“Semua ini ada di tangan kepolisian. Bagaimana penegakan hukum diselesaikan. Saya kira sudah sepantasnya kasus-kasus itu diselesaikan supaya kita tidak punya catatan yang buruk,” ujar Ignatius Haryanto.
Menurut peneliti senior di Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) ini, kasus–kasus tersebut harus diselesaikan agar negara tidak terus terbebani masa lalu.
Mabes Polri berjanji, pihaknya akan mengevaluasi catatan sejumlah organisasi terkait kekerasan yang menimpa jurnalis. Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Boy Rafli Amar mengatakan, kadang-kadang kepentingan media dalam mencari fakta bertentangan dengan protokol.
Kadang-kadang kepentingan media dalam mencari fakta bertentangan dengan protokol. FOTO: VIVA.co.id/Muhamad Solihin
Jadi dianggap sebagai suatu penghambat. “Tapi itu perlu dikaji lagi. Jadi, laporkan saja. Satu per satu dievaluasi oleh kita per kasus dilaporkan kepada kami, sehingga menjadi bahan evaluasi,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 4 Mei 2016.
Boy mengatakan, kekerasan merupakan musuh bersama, hanya kadang beda perspektif. Bahkan, menurut dia, kepolisian melakukan proses hukum.
“Wartawan dilandaskan masalah kebebasan. Di satu pihak ada pertimbangan lain. Misalkan pemutaran film PKI. Kata wartawan bebas dong. Tapi ada kepentingan lain yang harus kita perhatikan,” ujarnya berdalih.
Salah seorang warga, Aldy (26) mengatakan, masih ada intimidasi yang dialami wartawan. Menurut dia, kadang ada hal-hal penting yang harus diberitakan jadi susah gara-gara intimidasi tersebut.
“Saya pernah baca berita terkait reklamasi. Saat pulau-pulau yang hampir jadi mau diambil gambar tidak boleh. Dan banyak yang lain-lain pernah saya tonton dan baca,” ujarnya.
Ia mendesak pemerintah menuntaskan kasus-kasus kekerasan yang menimpa jurnalis. “Setiap kasus yang merenggut nyawa orang harus diselesaikan. Terlebih orang yang menyampaikan kebenaran.” Selain itu, ia meminta agar ada tindakan tegas kepada pelaku yang melakukan intimidasi maupun kekerasan terhadap pers.
Pendapat senada disampaikan Andi (29). Warga Jakarta ini mengatakan, masih ada wartawan yang mengalami intimidasi dan kekerasan.
Menurut dia, hal Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah. Menurut dia, kekerasan yang menimpa jurnalis karena masih ada orang yang tidak memahami kebebasan pers dan demokrasi. “Pemerintah harus hadir. Harus melindungi kemerdekaan pers.”